Bersabarlah dalam Syuraa (Catatan Menjelang Mukerwil 1 FLP Jatim)

132
flpjatim.com,- Pelaksanaan Mukerwil 1 FLP Jatim yang kurang sepekan memberikan dinamika tersendiri dalam dakwal bil qalam ini. Pun bagi saya yang masih terbilang baru sebulan diamanahi untuk mengemban amanah ini. 
Dinamika ini adalah bahwa kami ada hal ini dapar dilihat dari forum syuraa pra raker juga tak kalah dinamis. Meski syuraa-syuraa kami via daring, tetapi sungguh terasa luar biasa dinamisnya. Pun saat perhelatan Mukerwil 1 dilaksanakan, tak lepas dari dinamika. 
Bersabarlah dalam Syuraa (Catatan Menjelang Mukerwil 1 FLP Jatim)
Meminjam kalimat dari John C. Macwell dalam Winning the People bahwa perjalanan bersama orang lain pasti lebih lambat daripada perjalanan sendirian. Benar, bagaimana kita bisa mengelola perbedaan di antara kita yang kadang membuat kita tidak nyaman bahkan kurang setuju. Bagi mereka yang terbiasa gercep, teman-teman yang slowres akan terasa menghambat. Pun bagi mereka yang cenderung berhati-hati dan waspada, tergesa-gesa adalah hal yang membuat kening berkerut dalam. 
Saat membaca siroh tentang kisah perang uhud digambarkan di sana. Saat kebersamaan menghadapi kekalahan. Bagaimana konsep ukhuwah bekerja? 

Menyibak Hikmah Syuraa dalam Kekalahan Perang Uhud

Saat syuraa menjelang perang, para sahabat bersikeras untuk keluar menyambut musuh. Namun Rasulullah bermimpi ada lembu disembelih, mata pedang beliau tergigir, dan belaiu memasukkan tangannya ke dalam baju besi yang kokoh. Beberapa lembu yang disembelih itu beliau maknai akan ada sahabat-sahabat beliau yang terbunuh. 
Mata pedang yang rompal bermakna anggota keluarga beliau akan mendapatkan musibah. Dan baju besi yang kokoh itu adalah kota Madinah. 
Barangkali di antara kita bahkan sudah tahu kelanjutan kisahnya. Atas pendapat para sahabatnya, Rasulullah pun mengalah. Mereka akhirnya berangkat menghadang musuh di Uhud. ‘Abdullah nin Ubay, yang dalam musyawarah habis-habisan mendukung mimpi Rasulullah berkata, 
“Sungguh celaka kalian yang menentang Rasulullah!” Lalu bersama sepetiga pasukan ia pergi menyempal meninggalkan Rasulullah. Dan hari Ihud terjadilah. Kemenangan dan kekalahan dipergilirkan. Tujuh puluh lelaki mulia menjadi syuhada. Rasulullah mengalami luka-luka bahkan dikabarkan hilang nyawa.
Dari kisah ini kita coba merefleksi kandungan dari surat Asy-Syuraa: 38. Dalam ayat ini Allah memuji syuraa sebagai bagian dari urusan orang-orang yang serupa rabbNya, yang mendirikan shalat dan menafkahkan rizki di jalanNya. Sekarang, bagaimana nasib syuraa setelah kekalahan dalam perang Uhud? 
Bukankah dalam syuraa menjelang perang, mereka memenangkan pendapat mayoritas atas mimpi Rasulullah? Lalu mereka kalah. Syuraakah penyebab kekalahan itu? Bukankah ada serpihan kebenaran dalam ocehan panas ‘Abdullah bin Ubay? Katanya, “Aah…sudah ku katakan pada kalian jangan menentang mimpi Rasulullah, jangan keluar Madinah, dan jangan mengikutinya menghadang musuh!” 
Syuraa. Masihkah ia akan dilakukan jika hasilnya sebagaimana mereka rasakan; kekalahan yang memedihkan? Atau biarkanlah Rasulullah yang setiap kalimatnya suci mengatur segalanya dan mereka siap sedia bekerja tanpa kata? Subhanallah, inilah kalimat yang difirmankan oleh Allah SWT. pada Rasul-Nya: 

“…Maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan tetap bermusyawaralah dengan mereka dalam urusan itu…” (QS. Ali Imron: 159)

Dari ayat ini jelas, bahwa ternyata di saat syuraa diragukan dan dipertanyakan, justru Allah menjadikannya perintah. Di saat syuraa mereka maknai sebagai sebab kekalahan, Allah mengatakan, “Bukan! Dan tetaplah bermusyawarah!” 
Sebuah aturan tentang syuraa dalam Islam telah Allah tegakkan dengan ayat ini. Bahwa meski Rasulullah pendapatnya benar tetapi syuraa adalah jalan yang lebih dekat pada ridhaNya. 
Bahwa memang ada kekalahan, tetapi aturan harus dimenangkan; syuraa! Dan bukankah kekalahan datang justru dari ketidaktaatan para pemanah di atas bukit atas hasil syuraa? Ternyata syuraa tidak bersalah. Dia harus dimenangkan dalam pergulatan aturan yang harus ditegakkan, bahkan dilanjutkan. 

Imam Syafi’i tentang Tafsir Syuraa

Sang ‘alim seorang lelaki Quraisy menyimpulkan tafsir tentang ayat 159 dalam surar Ali Imron. Beliau mengatakan, 
“Keputusan yang salah dari sebuah musyawarah jauh lebih baik daripada pendapat pribadi, betapapun benarnya.” 
Imam Syafi’i sedang memberi kita kaidah tentang syuraa; bahwa aturan (manhaj) agama Rasulullah yang harus dimenangkan dalam pergulatan melawan syubhat dalam hati dan jiwa. Dalam berukhuwah, syuraa adalah muara penyelesaian dalam silang pendapat dan beragam perbedaan, sebab kita hendak hidup dalam lingkaran cintaNya. 

Bersabarlah dalam Syuraa

“Kunci segala sesuatu adalah kesabaran”, ujar Arnold H. Glsgow suatu kali. 
Bersabarlah dalam syuraa. Juga dalam kabinet ukhuwah…
Sebab untuk memahami tiap orang memiliki suatu anggapan yang ‘unik’ tentang beberapa hal tertentu. Pada umumnya, mereka merasa bahwa masalahnya sendirilah yang paling besar, lawakannyalah yang paling lucu, harapannyalah yang paling layak dikabulkan, kemenanganyalah yang paling mengagumkan, kesalahan yang diperbuatnyalah yang seharusnya dimaafkan, dan situasinya berbeda dengan apa yang dikemukakan orang lain. 
Bersabarlah dalam syuraa, juga dalam kabinet ukhuwah…
Kita harus belajar menerima bahwa semua hubungan memiliki hal-hal yang kadang harus kita lepaskan. Memaklumi dan menginsafi bahwa terkadang kita perlu menurunkan ego untuk mengalah. Mungkin juga kita harus mengenali wilayah-wilayah di mana orang memelurkan kesabaran kita. Dengan begitu kita akan menjadi barisan yang rapi lagi kokoh yang dicintai Allah. 

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalanNya dalam barisan yang teratur, seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (QS. Ash-Shaff:4)

Maka bersabarlah, sebab dakwah seperti lari marathon. Nafas panjang selalu diperlukan. Dan jangan sampai kehabisan napas di tengah jalan. 
Pun jalan dakwah ini, seumpama tetesan air. Ianya mampu menembus dan membelah kerasnya batu. Meski butuh waktu yang tak sebentar. Kita bayangkan, jika tetes-tetes itu disatukan, ianya bukan tidak mungkin akan menjadi sebuah arus. Dan sebenarnya itulah yang dibutuhkan oleh dakwah. Begitu tetes-tetes itu bersatu padu menjadi sebuah arus, ianya akan menghanyutkan. Dan begitulah analogi amal ukhuwah. Seumpama menggabungkan huruf yang terpisah-pisah agar menjadi satu dan bisa terbaca. Dalam kabinet ukhuwah…

Wallahu a’lam bishowab…

Diselesaikan di Lumajang, 2 April 2020 dalam jeda muhasabah untuk lebih merunduk-runduk sebagai makhluk yang selalu merasa rendah di hadapanNya sambil berucap: Laa haula walaa quwwata illah billah…

Penulis: Bunda Novi [ Ketua Wilayah Jawa Timur 2019-2021]
Konten sebelumnya[Cerpen] Ketika Asap-asap Itu Memudar
Konten berikutnyaTips Menghilangkan Bau Tidak Sedap pada Sepatu

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini