Kekuatan Pahlawan Tanpa Tanda Jasa Optimalkan Peran ‘Orang Biasa’ dan ‘Orang Kecil’

74

Oleh: Sayyidah Nuriyah*

Anna Eleanor Roosevelt–mantan Ibu Negara Amerika Serikat–mengatakan, “Orang besar bicara tentang ide, orang biasa bicara tentang kejadian sekitar, dan orang kecil bicara tentang orang lain.” Merujuk nukilan tersebut, kiranya perlu refleksi sejenak untuk menentukan termasuk yang manakah pahlawan tanpa tanda jasa pada umumnya di era digital ini. Haruskah guru bisa dibilang sukses menggenapkan perannya sebagai sosok literat hanya ketika menjadi ‘orang besar’ saja?

‘Orang besar’ ialah mereka yang amat menjaga lisannya pun rajin mengolah akalnya hingga merangkum gagasan berharga dalam sebuah karya tulis. Dengan begitulah terbit satu per satu inovasi karya dan metode pembelajaran yang bikin siswa terhipnotis di kelas si ‘guru besar’ ini. Tahu-tahu sudah jam istirahat dan mereka memohon bonus waktu untuk menyelami inovasi pembelajaran asyik itu lebih lama.

Dalam kenyataannya, seorang guru bisa mengoptimalkan peran dirinya saat secara sadar menjelma dalam ketiga sosok itu. Tak melulu jadi ‘orang besar’ yang bergelimang ide untuk jadi guru dengan kemanfaatan luar biasa. Asalkan khusyuk menjalankan peran ‘orang kecil’ dan ‘orang biasa’ yang melek literasi digital.  

‘Orang Kecil

Saat menjadi ‘orang kecil’, guru bisa menghabiskan waktunya bermenit-menit untuk membahas siapa saja para siswa di kelasnya yang bertingkah. Mulai dari anak-anak dengan ulah yang unik bikin geleng-geleng kepala, sampai yang manis bikin hati meleleh terpesona.

Di sinilah momen yang pas untuk mengecek konsistensi perilaku nyeleneh siswa. Apakah muncul di semua mata pelajaran atau hanya pada pelajaran tertentu saja yang gurunya dianggap terlalu baik (baca: sabar). Tentunya bukan membicarakan anak didik dalam konotasi negatif seperti halnya akun gosip mengulas kasus selebritas viral. Hanya semangat melakukan konferensi kasus di antara pendidik ini bisa terhitung menjadi tandingannya.

Momen ini juga menjadi langkah awal memetakan potensi sumber daya peserta didik yang sekolah miliki. Misalnya, dari obrolan itu tersusunlah daftar siapa sosok saja yang bisa diikutkan lomba pada bidang bahasa, sains, matematika, dan lain sebagainya. Sebaliknya, justru menjadi evaluasi bagaimana peningkatan raihan prestasi siswa tertentu dari waktu ke waktu.

Masalah dimulai saat masih ada waktu luang, meski sangat jarang. Ada oknum yang melanjutkan sasaran obrolan mengenai rekan kerja. Entah menyangkut hal pribadi ataupun profesionalisme. Tak dapat saya pungkiri, satu-dua kali sosok semacam ini masih saya temui di tengah padatnya keseharian menjadi guru. Nyatanya, obrolan nirfaedah tetap menjadi alternatif hiburan yang bercokol di tengah maraknya imbauan menjaga lisan agar tak berujung makan bangkai saudaranya sendiri.

Di era digital yang serba mudah ini, hanya begitu sajakah yang bisa guru lakukan setelah keluar dari kelas? Tentu semestinya tidak. Sayangnya, bercermin pada hasil penelitian, mayoritas guru lebih fokus menjalankan misi pendidikan dan pengajaran di kelas sehingga mengabaikan penulisan dan publikasi (Caswita, 2020).

Guru sebenarnya punya pilihan mengoptimalkan perannya sebagai orang kecil jika dari obrolan dengan rekannya itu berbuah tulisan yang bermanfaat. Misalnya menulis sosok siswa yang pada bulan itu konsisten berlatih hingga berhasil meraih banyak piala di ajang bergengsi tingkat nasional. Bisa pula menulis sosok karyawan sekolah yang selalu nomer satu kalau datang dan semangat menjalankan tugasnya hingga sore menjelang.

Membicarakan mereka yang berlomba dalam kebaikan lalu menuliskannya bisa membawa guru pada kasta tertinggi ‘orang kecil’. Bukan hanya bisa melatih keterampilan menulis dirinya sendiri, tapi yang juga lebih penting adalah bagaimana ulasan sosok itu mampu menginspirasi pembaca. Bayangkan jika dari tulisan tentang seorang siswa yang berprestasi di bidang catur, bisa memotivasi siswa tersebut kian menunjukkan performa terbaiknya. Bahkan, lebih jauh, bisa memantik sekolah lain melatih siswanya mengolah potensi dalam bidang serupa.

Di era digital, dampak seperti ini sangat nyata adanya. Seperti hasil pengamatan Mohammad Nurfatoni, Pemimpin Redaksi salah satu media online dari Jawa Timur. Dia melihat para guru berlomba menulis sosok-sosok siswa maupun rekan gurunya yang berprestasi. Alhasil, usai ajang lomba tertentu, berita semacam ini banyak mewarnai portal berita online yang dia pimpin.

Pasalnya, cara menulis berita di era digital ini juga lebih mudah. Cukup mengetik melalui WhatsApp lalu mengirimkannya ke redaktur. Tak perlu mengetik di Microsoft Word lalu mengirim ke email seperti ketika mengirim tulisan di masa media cetak masih jadi pilihan utama. Tak berbatasan jumlah kata juga seperti halnya di media cetak yang harus menyesuaikan ukuran kertas. Intinya, menulis sosok di sekitar kita ini hanya perlu kemauan menulis.

‘Orang Biasa’

Di lain waktu, seringkali saya menemui rekan kerja yang membahas bagaimana kejadian-kejadian menarik dan viral di sekitar kami. Seperti program inovasi sekolah yang baru mendapat respon positif dari salah satu wali siswa dengan latar profesi influencer (pemengaruh). Otomatis terbayang betapa kuatnya dampak getok tular terhadap pemasaran sekolah.

Padahal kalau mau lebih mendalami perannya sebagai ‘orang biasa’, seorang guru juga bisa menjadi garda terdepan dalam memantik getok tular itu. Bagaimana tidak, gurulah yang pertama kali mengetahui ragam kejadian menarik di kelas. Jika apa yang dia ketahui ini hanya sebatas dibahas dengan rekan kerja, tentu hasilnya tak signifikan. Berbeda kalau fenomena itu ditulis rapi menjadi sebuah berita aktual, lalu ada media yang memuat. Jangkauan sasarannya tentu lebih luas.

Sebagai guru yang berdedikasi, tentu tak rela ketika informasi kejadian menarik di sekolah berlalu begitu saja. Di tengah tantangan memenuhi seluruh tugas administratif, alangkah menyenangkan jika guru beristirahat dari rutinitasnya dengan menulis peristiwa menarik nan inovatif di kelasnya.

Yang perlu digarisbawahi, menulis bukan perkara tugas utama guru bahasa saja. Selama seseorang mampu membaca yang tertulis gamblang maupun tersirat di balik fenomena, maka tentulah dia mampu menulis.

Meminjam istilah Burtonshaw-Gunn (2008), guru dalam golongan ‘orang biasa’ ini akan menduduki kasta tertinggi dalam golongannya ketika mampu merespon tantangan sebagai ‘survivor’, yaitu menerima dan memanfaatkan perubahan. Di tengah arus digitalisasi, tentu survivor inilah yang bisa menjadi ujung tombak kekuatan pemasaran sekolah.

Jika melihat kurva normal, jumlah persebaran guru pada golongan ‘orang besar’ berada di bagian ujung. Artinya, tak banyak yang melakukannya. Bisa dihitung dengan jari jumlah guru yang produktif mengemukakan gagasan lewat tulisan, apalagi ilmiah. Usai memahami peran masing-masing, tak perlu terlalu prihatin ketika yang mendominasi daerah tengah kurva ialah sisanya, guru yang termasuk golongan ‘orang biasa’ dan ‘orang kecil’. Peran kedua golongan ini bisa diperhitungkan, sekali lagi, jika memenuhi syarat melek literasi digital.

Memang prosesnya tak seperti memasak mi instan yang tiga menit langsung siap disajikan. Untuk mendukung hal ini, sudah saatnya sekolah menjalin kerja sama dengan media massa maupun komunitas literasi yang mendorong guru menulis secara berkelanjutan. Memulai gerakan menulis bersama akan membuat lakon baru ini lebih ringan.

Bagaimana dengan insentifnya? Cap pahlawan tanpa tanda jasa pada guru bisa bermakna sosok ini ikhlas mengoptimalkan perannya tanpa mengutamakan insentif semata. Bukankah langkah menginspirasi lewat tulisan di media digital itu sudah mengandung bonus pahala dari Yang Maha Kuasa dan kepuasan tersendiri?

Daftar Pustaka

Burtonshaw-Gunn, S. (2008). Essential management toolbox: Tools, models, and notes for managers and consultants. Wiley.

Caswita. (2020). Upaya peningkatan kompetensi guru dalam menulis karya ilmiah di kota Tasikmalaya. Andragogi: Jurnal Diklat Teknis Pendidikan dan Keagamaan. 8, 1.

*Penulis adalah anggota FLP Gresik. Esai ini merupakan esai pilihan dari program lomba Bulan Bahasa 2022 yang diadakan oleh FLP Jawa Timur.
Konten sebelumnyaPeran Pemuda dalam Kebangkitan Literasi
Konten berikutnyaBelajar Tak Mengenal Usia

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini