Home Artikel Dongkrak Warisan Leluhur yang Hampir Luntur

Dongkrak Warisan Leluhur yang Hampir Luntur

ilustrasi: pinterest

Oleh: Nurul Komariyah, S.Pd., M.Pd. (NurKom)

“Wong Jawa Aja Lali Jawane” tulisan singkat bermakna hebat, tapi benarkah kini hanya slogan saja?. Generasi milenial, anak zaman now, generasi Alpha, Beta, generasi ABCD, sampai Z mungkin sampai balik Z lagi, dan segudang istilah lain untuk penerus bangsa. Sudah maksimalkah bekal untuk melestarikan budaya daerah, khususnya budaya Jawa? Merasa keren dan elegan jika mulai usia dini mampu berbahasa Indonesia, apalagi berbahasa asing. Merasa istimewa jika daftar kursus bahasa asing, membuka bimbingan belajar bahasa Inggris dan Mandarin pasti akan diserbu peminat, apalagi terpajang lowongan pekerjaan, menjanjikan finansial, beasiswa, dll. Sebaliknya, jika membuka kursus belajar bahasa Jawa, apa banyak peminatnya? Masih banyakkah orang tua dan guru yang mengajarkan anak “nggih”, “mboten”, “sampun”, “dereng”, di era gadget ini? Masih banyakkah mulai anak-anak sampai dewasa yang mampu menuliskan aksara Jawa dengan benar? Masih banyak lagi fakta di sekitar yang mampu melunturkan adat budaya Jawa.

Pudar atau berkibar, tenar atau buyar, ada pada generasi penerus bangsa. Bekal penguasaan teknologi modern, bahasa, dan budaya asing harus dikuasai sebagai alat genggam dunia, tapi budaya asli kita, bahasa ibu kita, khususnya dari Pulau Jawa jangan sampai hilang tergerus kemajuan zaman.

Penggunaan bahasa Jawa dalam keseharian hanya digunakan oleh orang-orang usia lanjut. Sementara anak muda lebih senang menggunakan bahasa Indonesia, utamanya dalam komunikasi melalui media sosial, bahkan dikolaborasikandengan bahasa asing agar terkesan lebih gaul. Kebiasaan ini akan terbawa ketika berkomunikasi dengan tatap muka secara langsung, baik terhadap teman sebaya maupun pada yang lebih tua. Mereka menganggap menggunakan bahasa Jawa terkesan kuno dan tidak sesuai dengan masa kini, sehingga lambat laun bahasa Jawa yang merupakan bahasa pertama suku atau orang Jawa mulai dilupakan. Di sekolah dasar, misalnya, pelajaran Bahasa Jawa hanya masuk muatan lokal dengan alokasi waktu yang minim, kurangnya pelatihan-pelatihan yang diadakan, minimnya peminat, dan buku penunjang mengajar minim misal LKS, Buku Sapala, Pepak Bahasa seputar itu saja.

Pertama, kita ulas tentang bahasa Jawa yang merupakan bahasa populer dengan jumlah penutur yang cukup banyak di Indonesia. Bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat di suatu daerah dengan daerah yang lain tentu tidak selalu sama. Masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya mengenal yang namanya unggah-ungguh. Dalam bahasa Indonesia, unggah-ungguh dapat diartikan sebagai tingkatan bahasa berdasarkan penggunaannya. Jadi, penggunanan bahasa tersebut disesuaikan dengan siapa lawan bicara kita.

Ngoko lugu merupakan tingkatan pertama dan paling dasar dalam bahasa Jawa. Bahasa ini hanya diterapkan untuk komunikasi dengan orang yang lebih muda atau orang yang kedudukannya sejajar dengan kita.

Tingkatan kedua ialah ngoko alus. Setingkat lebih tinggi daripada ngoko lugu, bahasa ini digunakan untuk komunikasi dengan orang yang sudah akrab tapi masih menjunjung tinggi kesopanan dan rasa saling menghormati. Tingkatan yang lebih tinggi dari ngoko, ialah bahasa krama. Bahasa krama dibagi lagi menjadi dua, yakni krama lugu dan krama inggil. Krama lugu inilah yang merupakan tingkatan paling dasar dari bahasa krama. Krama lugu digunakan untuk komunikasi dengan orang yang secara usia lebih tua, atau lebih tinggi kedudukannya, serta sesama teman yang belum dekat dan akrab. Krama inggil merupakan tingkatan tertinggi dalam bahasa Jawa. Tidak jauh berbeda dari krama lugu, bahasa ini digunakan untuk komunikasi dengan orang yang lebih tinggi, baik secara usia maupun kedudukannya.

Kedua, kita ulas keterampilan menulis aksara Jawa yang merupakan kompetensi harus dikuasai siswa, mulai dari sekolah dasar dalam pelajaran Bahasa Jawa. Pembelajaran menulis aksara Jawa mengajak siswa untuk berpikir konkretdan berkesinambungan. Konkret artinya pembelajaran menulis Aksara Jawa mengajarkan bentuk-bentuk aksara Jawa, sedangkan berkesinambungan karena pengenalan bentuk aksara Jawa diajarkan sejak dari dasar sampai bentuk huruf yang tersulit dalam penulisan teks aksara Jawa. Sebagian besar siswa kesulitan pada saat menghafalkan aksara Jawa yang mirip dalam hal penulisan maupun pembacaan. Kendala yang sering dialami siswa bahkan pendidik dalam pembelajaran menulis aksara Jawa terutama penulisan carakan, sandhangan, dan aksara murdha, butuh pemahaman labih dan ketelatenan dalam belajar sedang alokasi waktu terbatas sekali.

Sekilas uraian di atas mengenai kompleksitas akan pelajaran Bahasa Jawa, mengenai tutur bahasa dan aksara Jawa, padahal dalam warisan leluhur Jawa masih sangat banyak jenisnya. Tentunya perlu perhatian khusus oleh dinas terkait dalam melestarikan budaya Jawa, inovasi dari pendidik, pelengkap sarana prasarana untamanya alat peraga, buku referensi yang cukup, sering adanya diklat-diklat, membuat peraturan wajib berbahasa Jawa setiap hari tertentu, sering mengadakan event bernuansa Jawa, dan lain sebagainya. 

Nguri-uri budaya adalah tanggung jawab kita, salah satu contoh di Kabupaten  Lamongan sudah ada Pawiyatan Panatacara Tuwin Pamedharsabda PERMADANI (Persaudaraan Masyarakat Budaya Nasional Indonesia) yang di dalamnya memuat pelajaran kapanatacaraan, adat tata Jawi, sekar setaman, renggeping wicara, medhar sabda, basa tuwin sastra Jawi, sekar gendhing, padhuwungan, sikep tata krama/ budi pekerti/etika, ngadi sarira-ngedi busana, kapermadanen, muatan lokal dan PKL (Praktik Kerja Lapangan). Masih banyak lagi sejenis komunitas, sanggar-sanggar yang bertujuan nguri-uri budaya Jawa, yang sangat perlu dikenalkan dan dikembangkan terutama kepada pemuda generasi penerus bangsa. Warisan leluhur jangan sampai luntur atau hilang berangsur-angsur, warisan leluhur harus lebih termasyhur. Kalau tidak kita siapa lagi, kalau tidak mulai sekarang kapan lagi, harus mampu bergerak dan menggerakkan secara kontinu.

Nurul Komariyah,S.Pd., M.Pd. /Nurkom (nama pena) lahir prematur, asli di Lamongan 22 September 1985, seorang guru desa yang sehari-hari mengajar di sekolah dasar, melatih ekstra pramuka di berbagai sekolah dan menjadi MC kedinasan, resepsi adat Jawa dan modern, serta MC berbagai event. Memiliki hobi menulis dan camping. Aktif di berbagai komunitas menulis seperti GU, FLP, FP2L, Literacy Institute Lamongan, Lomba Cipta Puisi, Lomba Menulis Pantun, Komunitas Pentigraf, PERRUAS (Perkumpulan Rumah Seni Asnur), dll. Memiliki 3 buku karya solo dan 40 karya antologi.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version