Oleh: Sri Wahyuni
Ramadan tiba, Ramadan tiba
Marhaban yaa Ramadan
Subhanallah, walhamdulillaah! Syukur tak terkira, Allah mengabulkan doa kita untuk bertemu dengan bulan yang penuh berkah ini. Rindu kita pada suasana Ramadan akhirnya terobati. Suasana makan bersama keluarga yang biasanya jarang kita nikmati, akan kita temukan pada saat berbuka dan santap sahur. Dan, itu hanya ada di momen Ramadan. Kolak yang gurih dan sedap, rasanya sudah membayang di pelupuk mata. Lantunan Al-Qur’an yang tiada putus di hampir seluruh hari, akan kita nikmati lagi. Dan, itu hanya ada setahun sekali, pada bulan Ramadan. Harapan kita akan ampunan pada bulan yang mulia ini dijawab Allah.
Sebagaimana saya, pada tiga atau dua hari sebelum Ramadan berakhir, pasti merasa menyesal, karena merasa belum maksimal dalam beribadah. Sedangkan diri ini tak bisa menjamin, akankah disampaikan pada Ramadan berikutnya. Maka, dengan penuh harap dan kecemasan, berurai air mata, memohon agar kelak bisa berjumpa lagi dengannya agar bisa beribadah lebih baik. Dan, saatnya janji itu saya tepati.
Ramadan saya dan keluarga tahun ini beda. Mungkin juga Ramadan teman-teman. Alhamdulillah, sudah kembali seperti sebelum tahun 2020. Namun, harus tetap patuhi protokol kesehatan. Tidak hanya beda situasi dan kondisi, tapi juga awal memulai puasa; tanggal 2 dan 3 April.
Terlepas kapan pun kita memulai puasa, semoga kita tetap bergembira dan bersemangat dalam menyambut dan melaksanakan ibadah Ramadan. Gembira, karena Allah bermurah kasih memberi pahala yang berlipat pada segala amal terpuji pada bulan ini. Semoga kita tidak menyia-nyiakan, bahkan harus semangat berlomba; fastabiqul khoirot, berlomba-lomba dalam kebaikan. Merenungi, andai ini adalah Ramadan kita yang terakhir. Syukur kalau tiap hari mampu menyediakan santapan berbuka bagi saudara-saudara kita yang berpuasa, karena pahalanya sama dengan pahala orang yang menjalankan puasa tadi.
Apalagi pada sepuluh hari terakhir Ramadan nanti, Allah akan memberikan malam yang agung, lailatul qodar, malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Subhanallah! Begitu beruntungnya apabila kita diberi kesempatan untuk meraihnya. Seribu bulan, yang berarti setara dengan ibadah 83 tahun lebih empat bulan. Usia ibadah yang sangat panjang. Jika di usia saya saat ini, 48 tahun, diridai untuk meraihnya (allahumma aamiin) maka sampai Allah memisahkan roh dari raga ini, insyaallah, kemuliaan tersebut masih bersama saya. Allahu Akbar.
Untuk mencapai sukses ibadah Ramadan, tentunya kita sudah mempersiapkan sejak awal penyambutannya. Hal yang lazim biasanya membersihkan masjid atau musala agar terasa nyaman saat ibadah. Selain itu, merangkai berbagai kegiatan dalam rangka targhib dan tarhib Ramadanbersama para santri TPA saya. Antara lain, pemberian reward bagi enam pengunjung paling rajin di Rumah Baca, pemberian suvenir bagi semua pengunjung, lomba mewarnai, pembagian buku kegiatan, dan tasyakuran kecil.
Tentunya berbenah dengan rumah tak boleh kalah. Kalau biasanya keasrian rumah kami siapkan menjelang lebaran, maka kali ini kami justru menyiapkan untuk sang tamu agung ini. Biar ceria dan bermakna, sehingga anak-anak pun bersemangat. Harapan kami adalah baiti jannati walau agak berat bisa diwujudkan.
Yang tak kalah penting, tentunya kualitas ibadah kita. Menurut almarhum Bapak Habibie, Ramadan adalah sarana untuk menggembleng diri, mengisi baterai, yang sinarnya akan menyala pada hari-hari setelah Ramadan. Jadi, seberapa sukses kita pada bulan Ramadan, bisa kita rasakan setelahnya.
Dimulai dari niat hati yang bersih, semoga puasa kita tidak hanya menahan lapar dan dahaga. Justru hawa nafsu itulah yang harus kita takhlukan. Ya Allah, kali ini kita akan merasakan bagaimana saudara kita yang duafa menahan lapar, sehingga banyak dari kita yang berlomba-lomba untuk bersedekah. Berniat yang kuat, jangan sampai tidak khatam Al-Qur’an. Bermotto, tiada hari tanpa salat Duha. Saya sendiri menyiapkan buku metrix target Ramadan seperti anak-anak sekolah itu. Hehehe. Biar tidak kecolongan.
Semoga Ramadan yang dimulai dengan hati yang tulus, maka Allah meridai kita untuk menjadi hamba-Nya yang lebih bertakwa, dikarunia surga Ar-Rayyan yang penuh kenikmatan. Amin.
Sri Wahyuni adalah penulis dari Kota Reog. Sejak menjadi anggota FLP Ponorogo tahun 2019, mimpi wanita kelahiran 10 April 47 tahun silam tersebut bisa menjadi nyata. Selain 9 buah buku antologi, ibu dari empat anak yang hobi berkebun ini berhasil menyelesaikan naskah novel solonya, *Pintu Surga di Gerbang Maut* lewat gemblengan Rafif Amir Ahnaf, Sang Mentor Muda Owner dari Sekolah Menulis On Line JaTim. Komunitas literasi lain yang telah mengantarnya membuahkan karya antara Penerbit Dio Media, KRM (Komunitas Rumah Menulis), dan Edwriter. Beberapa tulisan dari pengagum tokoh dan karya HAMKA ini bisa dicolek lewat FB dan IG @sriwahyunibasuri. Oh ya, untuk menyapa lebih dekat dengan Bu Guru esde yang akrab disapa Bu Sri ini bisa kontak melalui WA nomor 0852 3545 0629.
editor: Niswahikmah