Abu Bakar Ash-Shiddiq, begitu ia disapa. Orang yang paling utama setelah Rasulullah wafat. Sahabat termulia yang senantiasa mendampingi Nabi-Nya, yang paling tegar ketika menghadapi berita kematian Nabi Muhammad, ketika sahabat lainnya terguncang seolah tak percaya.
Sosok ini pulalah yang menjadi pemimpin pertama umat Islam sepeninggal Nabi Muhammad. Terpilih dalam musyawarah di saqifah Bani Sa’idah, ia kemudian mengawali kepemimpinannya dengan khutbah yang fenomenal.
Khutbah tersebut singkat, tapi memiliki makna yang begitu dalam. Dalam khazanah ilmu balaghah, khutbahnya disebut bergaya ijaz. Maksudnya, susunan kata dalam khutbah tersebut ringkas, tetapi maknanya luas. Pilihan katanya pun mampu menggetarkan jiwa yang mendengarkan.
“Wahai semua yang hadir, aku ditunjuk untuk memimpin kalian, padahal aku bukanlah yang terbaik di antara kalian,” Abu Bakar mengawali pidatonya tersebut dengan ciri khas spesial dari dirinya, yaitu senantiasa merunduk dalam tawadunya.
Kata-katanya memberikan pemahaman bahwa ia tak ingin dianggap sebagai yang paling baik atau paling istimewa hanya karena menyandang jabatan pemimpin umat. Ia ingin menanamkan di hati rakyatnya, bahwa kekuasaan bukanlah keutamaan maupun keistimewaan.
“Jika aku berlaku baik, bantulah aku. Dan jika aku berlaku buruk, luruskanlah aku,” lanjutnya.
Berapa banyak pemimpin masa kini yang tersinggung dengan kritikan? Mengaku mengemban amanah untuk rakyat, tetapi ketika rakyat mengingatkan, mereka angkuh mempertahankan kebijakan. Berbeda dengan Abu Bakar yang di hari pertamanya menggenggam kekuasaan, justru meminta rakyat terang-terangan menasihatinya bila ia berbuat salah.
Inilah tugas pemimpin sesungguhnya; menjadi pelayan rakyat dan mendengarkan rakyat. Kekuasaan adalah tugas, bukan dominasi.
“Ketahuilah, orang lemah di tengah-tengah kalian adalah orang kuat bagiku, hingga aku ambilkan haknya. Ketahuilah, orang kuat di antara kalian adalah orang lemah bagiku, hingga aku ambilkan hak orang lain darinya.”
Maksudnya, khalifah Abu Bakar tidak akan memandang pangkat atau jabatan orang dalam masyarakat untuk menuntaskan hak dan kewajiban atau menetapkan hukum di antara mereka. Jika orang kaya yang berbuat salah, tetap akan kena hukum. Begitu pun jika orang miskin yang dianiaya, akan tetap mendapatkan haknya. Bukan seperti hukum yang berlaku saat ini, yang terkadang tumpul ke atas tapi tajam ke bawah.
“Taatilah aku selama aku taat pada Allah dan rasul-Nya. Dan jika aku durhaka, kalian tidak wajib taat padaku!” serunya di akhir khutbah.
Kalimatnya ini mencerminkan betapa paham Khalifah dengan firman Allah, “Athii’ullaha wa athii’ur Rasula wa ulil amri minkum…” (QS. An-Nisa: 59). Ketaatan pada Allah dan Rasul adalah mutlak, sementara ketaatan pada ulil amri (pemerintah/penguasa) dinisbatkan pada ketaatan pada hukum syariat. Jika seorang pemimpin tidak lagi memegang syariat, apalagi bermaksiat pada Allah dan mengajak rakyatnya turut bermaksiat, maka tidak perlu lagi ditaati. Tentu kalimatnya ini juga memiliki kaitan dengan kalimat sebelumnya, bahwa rakyat berhak memberi nasihat dan meluruskan apabila seorang pemimpin terindikasi bermaksiat dan tidak teguh menjalankan syariat Allah dan Rasul-Nya.
Khutbah singkat itu adalah komitmen yang dipegang Abu Bakar. Kepemimpinan yang bahkan tidak pernah ia idamkan maupun angankan, kini harus dipegangnya. Komitmen lurus itulah yang nantinya akan membuahkan keputusan-keputusan yang bijak dan kokoh. Bahkan ia menjadi lebih tegas daripada Umar dalam menyikapi beberapa kejadian dalam era kepemimpinannya.
Insyaallah kita sambung di seri berikutnya mengenai kejadian-kejadian yang bersambung dengan komitmen dalam khutbah ini. []
Referensi:
Terjemah Al-Qur’anul Karim.
Biografi Khalifah Rasulullah, karya Khalid Muhammad Khalid.