Home Cerpen Cerpen: Perempuan dengan Jilbab Terurai

Cerpen: Perempuan dengan Jilbab Terurai

Oleh: achjalaluddin (FLP Pamekasan)

Bagi orang yang belum dan baru kukenal, aku orangnya tertutup dan hanya terbuka pas lagi mandi. Orang belum kenal mau diapain? Aku bukannya nggak peduli, kalau perempuan bulum tentu jadi jodoh, kalau laki-laki belum tentu jadi sahabat. Jadi aku biasa saja, tak berlebihan dalam segala hal, tak terlalu berharap juga.

Di samping itu, aku orangnya pelupa, dan agak parah. Contohnya begini, umpamanya aku ada perlu untuk beli sesuatu. Ngambil uang dan diletakkan di saku. Sudah mau keluar kamar, aku ngerasa bajuku kurang nyaman dan nggak cocok, maka aku ganti. Habis ganti baju, aku langsung keluar kamar, menuju toko yang mungkin ada sesuatu yang kuperlukan. Sesampainya, aku langsung ngambil uang yang telah kuletakkan di saku. Ah, dasar! Bukannya uang itu ada di saku baju yang aku ganti? Aku sering dibuat sebel dengan kejadian seperti ini. Tapi serius, aku nggak pikun!

Saat ini, aku disuruh mengisi kajian rutin setiap minggunya di asrama putri. Bagi pengabdi baru sepertiku, jelas membuatku grogi meskipun kajian itu sudah tiga bulan aku isi.

Letak asrama putri tidak terlalu jauh dari asrama putra, cuma dibatasi oleh dhalem kiyai sepuh. Aku lewet di pinggir dhalem dengan sangat hati-hati, takut Kyai atau Gus melihatku atau kebetulan lewat.

Santri putri yang ikut kajian sudah standby di dalam dengan kitabnya. Aku masuk tanpa mengucapkan salam sambil menunduk dengan irama langkah yang datar sedangkan hati bergemuruh.

Daerah sini tidak terlalu agamis, bunyi sound system terdengar lantang ketika ada acara-acara festival dengan pawaian para anggota geng berkaos hitam-merah dengan lambang besar di punggungnya. Makanya, santri di pondok ini, baik laki-laki dan perempuannya sangat mengakrabi asatidz-nya, bahkan sebagian mereka memanggil aku kakak. Kadang, dalam beberapa penyampaian, mereka banyak bertanya dan menganggapku teman ngobrol.

“Loh, kok ngak pake salam, Ustaz?” tanya seorang santriwati yang duduk di barisan depan. Minggu-minggu sebelumnya aku menggunakan salam, tapi karena di antara mereka menjawab ‘waalaikum sayang’, aku nggak jadi bilang salam.

“Saya seringnya mendoakan kalian di kamar,” jawabku ketus, disambut dengan ‘ciyeee’ yang cukup panjang oleh mereka. Saat itulah, dari mereka tidak ada yang bertanya lagi kenapa aku masuk tidak mengucapkan salam.

“Itu buku apa, Ustaz?” Santriwati yang duduk pas di depanku memang sering bertanya, apa pun yang terlintas dalam pikirannya pasti dia tanyakan. Dia menanyakan buku catatan kecilku yang biasa aku tulis di kamar dan jarang kubawa.

“Ini catatan saya.”

“Boleh saya pinjam, Ustaz?” tanya yang lain.

“Cuma orang yang tulus menerima saya apa adanya yang dapat memegang catatan ini.”

Aku sama sekali tidak ada niatan untuk bercanda, itu murni datang dari isi hatiku meski mereka menyorakiku untuk kesekian kalinya. Di dalam catatan itu tertulis isi hatiku, maka aku tanggapi sesuai dengan isi hatiku juga.

Karena mereka ramai menyorakiku, maka aku simpan catatanku di loker meja biar tidak ada yang melihatnya. Benar saja, sorakan senyap seketika, cuma satu-dua masih tersenyum, terutama santriwati dengan hijab terurai di sudut belakang. Ah, aku lupa namanya.

*

Selesai mengisi materi di putri, aku langsung menuju kamar. Hari ini aku senang. Alhamdulillah, bisa menjelaskan pada mereka dengan maksimal. Kadang aku nggak pede, bahkan pernah cuma bisanya diam mulu. Hal ini membuatku teringat pada pesan seorang kiai, bahwa guru itu niatnya harus karena Allah, bukan untuk membuat santrinya paham. Karena jika nanti santrinya tidak paham, maka dia akan marah. Kurang lebih seperti itu.

Saking senangnya, hari ini aku ingin menuliskan tentang perasaanku di catatan kecil super rahasia milikku. Mengambil bolpoin, buka lemari, dan aku mematung seketika!

“Bukankah catatan itu aku letakkan di meja, di loker, di… Putri…!” lirihku mengikuti irama ingatan. Yah, aku langsung kewalahan, ingin mengambilnya sendiri tidak mungkin. Aku memang benar-benar pelupa, kalau sudah begini, aku sering memaki diriku sendiri, memang bego aku.

Tak ada cara lain selain menunggu minggu depan. Aku akan sangat bersyukur sekali jika minggu depan masih utuh, kalau tidak ada yang mengantarkan padaku, itu aman. Tapi jika tidak ada dan ketika dilihat minggu depan hilang, itu bahaya. Tapi kesempatan untuk utuh sampai minggu depan datang sangat tipis. Aula itu sering dipakai santri putri.

Sepertinya memang tidak ada cara lain kecuali aku tawakal menerima apa adanya. Sesekali aku berdoa, mudah-mudahan meski ada yang menolong, catatanku tidak dibaca.

Namun, yang namanya santri putri, keponya minta ampun. Haruskah aku menarik ucapanku: “Cuma orang yang tulus menerima saya apa adanya yang dapat memegang catatan ini.”

Siapa yang akan memegang buku itu? Apakah santriwati dengan hijab terurai di sudut belakang? Ah, aku lupa namanya.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version