Home Cerpen MALAIKAT DI SEBUAH RUMAH TUA

MALAIKAT DI SEBUAH RUMAH TUA

Sebuah rumah kecil yang berdiri seperti kenangan tua di tengah hiruk pikuk kota yang terus bergerak. Rumah itu hanya berdinding kayu, dengan cat putih yang mulai mengelupas, menyisakan warna cokelat kayu asli. Atapnya dari seng tua yang bocor saat hujan deras, dan ada pohon mangga tua di halaman kecilnya, yang dahan-dahannya sering digunakan anak-anak tetangga untuk bermain.

Bagian dalam rumah itu sederhana. Hanya ada dua ruangan utama: satu ruang tamu yang juga berfungsi sebagai tempat menjahit dan dapur kecil, serta kamar tidur mungil yang diisi satu ranjang kayu beralaskan kasur tipis. Dindingnya dihiasi beberapa bingkai foto keluarga. Salah satu fotonya adalah foto Yoga, anak semata wayangnya, tersenyum lebar dengan seragam sekolah. Di bawah foto itu, ada meja kecil dengan vas bunga plastik yang tak pernah berubah posisinya.

Tubuhnya kecil dan ringkih, tetapi ada sesuatu yang memancar dari sosoknya: kekuatan yang tak terlihat. Wajahnya terlihat lebih tua dari usianya, dengan garis-garis kerutan yang dalam di sekitar matanya—bekas dari tawa dan tangis yang pernah ia lalui. Rambutnya yang mulai memutih digulung rapi di belakang kepala, dan wajahnya dihiasi senyum hangat yang tak pernah hilang, meski matanya sering menyiratkan kepedihan yang dalam.

Setiap pagi, ia membawa tas tua berisi kotak nasi dan berjalan menyusuri jalanan kota. Ia menemui mereka yang dilupakan: anak jalanan, penjual tua, pengamen, pengemis, atau orang-orang yang tidur di bawah jembatan. Senyumnya adalah jendela kecil menuju harapan, meski di dalam hatinya, ia memikul luka yang tak pernah ia bagi.
**
Sepuluh tahun lalu, hidupnya runtuh. Dunianya mendadak gelap. Anak semata wayangnya, meninggal dunia dalam kecelakaan tragis. Anaknya mengorbankan nyawa untuk menyelamatkan seorang anak kecil yang hampir tertabrak truk dan anak kecil itu selamat. Yoga meregang nyawa.

Sejak saat itu, hatinya selalu dirundung tanya. “Apakah hidupku berarti tanpa Yoga? Apakah kehilangan ini punya arti?” Pertanyaan itu terus menggerogotinya, hingga suatu malam, ia bermimpi melihat Yoga tersenyum dengan wajah berseri, di tengah padang rumput yang luas.

“Ibu, hidupku memang singkat, tapi pengorbananku tidak sia-sia. Ibu masih punya cinta untuk dibagikan. Jangan biarkan rasa kehilangan mengalahkan cinta itu. Jangan lagi terpenjara oleh kesedihan masa lalu.”
Sejak hari itu, ia memutuskan untuk menjadi terang bagi orang lain. Penebar harapan di tengah keputusasaan. Lilin kecil yang akan terus menyala di tengah segala keterbatasan. Namun di balik keputusannya, ia menyimpan rahasia yang lebih menyakitkan: ia menderita penyakit jantung bawaan yang kian melemahkan tubuhnya. Meskipun tubuhnya kian rapuh, ia tetap berusaha terus berjalan.
**
Suatu hari, ia bertemu seorang remaja yang tidur di kolong jembatan. Tubuh anak itu kurus, wajahnya penuh luka, dan matanya seolah menyimpan kemarahan terhadap dunia.
“Ibu nggak usah peduli sama saya,” kata anak itu dingin saat tangannya mengulurkan kotak nasi pertama kali.
“Namaku Sita. Siapa namamu, Nak?” Ucap sang ibu lembut. Anak itu hanya diam. Wajahnya melengos, acuh.
Sang ibu tersenyum lembut. “Kalau Ibu nggak peduli, siapa lagi yang peduli, Nak?”

Hari demi hari, ia mulai membuka dirinya. Namanya Tegar. Matanya hitam dan tajam, tetapi sering menyiratkan ketakutan dan kegelisahan. Seolah ia selalu berjaga-jaga dari ancaman. Ia menyimpan kebencian terhadap dunia, seringkali ia menganggap dunia ini busuk dan tidak adil.

“Saya nggak pernah punya orang yang benar-benar peduli,” katanya suatu malam di rumah Ibu Sita. Matanya menerawang jauh. “Ibu saya minggat dan tak pernah kembali sampai sekarang. Sedangkan Ayah saya sering memukuli saya di rumah ketika mabuk. Nggak tahu kenapa, saya yang dijadikan sasaran kemarahan. Badan saya sudah seperti samsak tinju. Karena nggak betah, akhirnya saya kabur dari rumah.” Tangan Tegar tiba-tiba meraba pelipis kanannya, bekas luka kecil itu masih ada. Luka ketika dulu kepalanya dibenturkan ke tembok.

Perempuan itu menggenggam tangannya. “Nak, dunia ini memang penuh luka, tapi luka itu bisa sembuh kalau kita mau berbagi cinta. Kamu masih muda. Kamu bisa menemukan alasan untuk terus hidup. Seperti namamu: Tegar. Ibu yakin kamu akan kuat menghadapi semua masalah dan nggak akan menyerah. Kamu akan baik-baik saja.”

Tegar merasa canggung pada awalnya. Sudah hampir tiga bulan ia tinggal di rumah tua itu. Meskipun kecil, memiliki suasana yang membuatnya bingung. Tidak ada kekerasan, tidak ada teriakan, hanya keheningan yang penuh kehangatan. Ia merasa betah.

“Kenapa rumah ini nggak pernah terasa sepi, Bu?” tanya Tegar suatu malam.
Perempuan itu sedang menjahit kain perca di ruang tamu. Ia tersenyum tanpa mengalihkan pandangannya dari benang dan jarum di tangannya. “Karena di rumah ini, selalu ada doa untuk orang-orang yang pernah Ibu temui. Bahkan udara di sini penuh dengan harapan.”

Tegar terdiam. Ia merasa asing dengan kata-kata seperti itu. Baginya, rumah adalah tempat yang penuh luka dan ketakutan. Sebuah kotak sempit yang penuh rasa sakit dan penderitaan.

“Saya boleh terus tinggal di sini, Bu?” Ucap Tegar pelan dengan wajah tertunduk. Malu.
“TEGAAAR…! Keluar kamu. Dasar anak bangsat sialan!” Terdengar teriakan dan makian di luar.
Percakapan itu tiba-tiba terputus. Kedamaian di rumah itu terusik. Keduanya saling menatap dengan wajah kaget, kemudian menoleh ke arah pintu. Tegar sangat mengenal suara itu. Suara kasar orang yang sering memukul dan mengutuknya. Seorang lelaki yang dulunya lemah lembut dan penyayang yang tiba-tiba berubah bengis dan pemarah semenjak ditinggal pergi oleh sang istri.

Lelaki itu berjalan ke depan pintu dengan langkah sempoyongan, mulutnya berbau alkohol. Tangan kirinya memegang sebuah botol. Ia kemudian mengancam akan membawa anaknya kembali. Dengan tubuh yang lemah, Ibu Sita berdiri di hadapan pria itu. “Tegar bukan barang milik siapa pun. Kalau kamu mau bawa dia pulang, pastikan kamu bisa memberinya rumah, bukan neraka.”

Lelaki itu makin melotot. Urat-urat merah di bola matanya makin terlihat. Ia menghardik dan berusaha mendorong perempuan di depannya, tapi Tegar menghadang, berdiri di depan tubuh lemah itu. Melindunginya.
Saat para tetangga mulai berdatangan, pria itu akhirnya memilih pergi, tetapi kemudian perempuan itu ambruk. Ia dilarikan ke rumah sakit oleh Tegar dan beberapa tetangga. Di ranjang rumah sakit, Ibu Sita menggenggam tangan Tegar.

“Tegar… kalau waktuku habis, ingatlah, kamu harus terus berjalan. Jangan biarkan dunia yang kejam mematikan cahaya di hatimu.”

Beberapa hari kemudian, perempuan itu akhirnya meninggal dunia. Anak itu sangat terpukul. Ia duduk di samping makam lama sekali. Padahal para pelayat sudah lama pulang. Tak lama berselang, rintik hujan mulai membasahi pakaiannya, hingga air hujan yang turun semakin deras. Ia basah kuyup. Namun ia tetap bersimpuh di sebelah gundukan tanah bertabur bunga itu. Ia sudah tidak menangis, hanya duduk diam di situ. Menjelang matahari terbenam, Pak RT datang, membujuk Tegar dan mengajaknya pulang.

Sesampainya di rumah, hanya ada beberapa tetangga. tidak ada sanak keluarga. Ia kemudian melihat sebuah buku bersampul cokelat tergeletak di atas meja jahit. Mulanya ia ragu, tetapi kemudian ia putuskan untuk membuka buku itu. Ia melihat tulisan tangan yang rapi dan bagus. Setiap catatan, tertera hari dan tanggal di pojok kanan atas halaman. Air matanya kembali menetes saat membaca salah satu catatan:

Rabu, 15 Juli 2015
“Yoga, maafkan Ibu yang sering merasa kehilanganmu. Hari ini, Ibu menemukanmu lagi dalam diri Tegar. Hidupnya adalah cahaya yang kau nyalakan di dunia ini. Ibu percaya, kau selalu bersamaku, dan sekarang, bersamanya juga.”

Tegar membaca kalimat itu berulang kali. Ia merasa ada sesuatu yang belum ia mengerti. Ada semacam kegelisahan baru yang tiba-tiba merasuki dirinya. Kepingan puzzle yang masih harus ia lengkapi.
**

Setahun setelah kepergian sang ibu. Ia mulai membagikan kotak nasi kepada mereka yang membutuhkan. Melanjutkan kebiasaan ibunya. Suatu hari, ia mengunjungi sebuah panti asuhan untuk membagikan makanan. Di sana, seorang anak kecil berlari menghampirinya, saat itu ia memegang sebuah buku catatan yang lusuh.

“Om, ini buku punya ibu tua itu, kan? Aku pernah lihat dia tulis sesuatu di sini,” kata anak itu sambil menunjuk buku catatan milik Ibunya yang selalu ia bawa.

Tegar hanya tersenyum kecil. Ia membuka halaman-halaman lama yang penuh doa dan nama orang-orang yang pernah ditemui Ibunya. Ia belum pernah membuka halaman lain. Namun, hari itu jarinya bergerak membuka lembar demi lembar hingga sampai pada halaman terakhir, ada sesuatu yang membuatnya tertegun.

Minggu, 19 Juli 2015
“Tegar, Ibu tidak pernah memberitahumu ini karena takut kau terluka. Tetapi aku harus mencatatnya di sini. Aku tahu siapa anak yang diselamatkan Yoga dulu—dia adalah dirimu. Hidup Yoga berakhir untuk melindungimu, dan sejak saat itu, aku merasa kau adalah bagian dari Yoga yang dikembalikan Tuhan kepadaku. Terima kasih telah datang ke dalam hidup Ibu. Denganmu, Ibu merasa hidup Yoga tidak sia-sia.”

Ia merasakan dunia di sekitarnya seolah berhenti. Tubuhnya gemetar. Air matanya mengalir deras, bercampur dengan rasa haru, syukur, dan penyesalan. Ia menatap langit malam sambil memeluk buku catatan itu. “Bu… aku akan melanjutkan apa yang telah kau mulai. Aku berjanji.”

Penulis; Eka Madyasta (mas Tama), Koordinator Divisi Karya FLP Jatim

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version