Flpjatim.com,- Mbah Warni menghapus sudut mata tuanya itu dengan kain daster kekuningan yang tengah ia kenakan. Aku melihat sekilas, tapi cepat mendongak kembali, menekuni genteng-genteng tak beraturan yang telah menghitam karena dimamah sang waktu. Embusan napas pelan mengalir dari cuping hidung setelah aku menarik napas panjang, mencoba membuyarkan sekumpulan air yang hampir ikut meleleh dari mataku.
“Mau gimana lagi, Nak, Mbah ini sudah nggak punya uang. Musim hujan gini, rumah Mbah bocor. Masuk rumah sudah semata kaki. Mbah tanya biaya tukang, sudah seratus lima puluh ribu, belum rokoknya, belum kopi dan camilannya, belum makan siangnya. Dia juga bilang ke Mbah, butuh teman satu lagi, buat bantuin di bagian bawah. Apa itu sudah nggak habis empat ratusan, Nak? Dari mana Mbah ini dapat uang sebanyak itu untuk membenahi genteng?”
Suara parau yang gemetaran itu menyelimuti udara pagi di sekitar kami berdua, yang tengah berdiri menatap rumah kecil—bahkan teramat kecil jika dibandingkan dengan dua rumah besar berpagar yang menghimpit di kanan-kirinya—yang hanya berjarak dua meter di depan. Rumah itu dikelilingi pagar kayu seadanya, yang telah lapuk dan tua. Di bagian teras, tanah liat masih basah, bekas hujan semalam yang meresap masuk ke dalam.
Mbah Warni adalah salah satu janda di pemukiman kami. Ia merawat ketiga cucunya—setelah perceraian, anak perempuannya menikah lagi dan pergi entah ke mana. Ia bekerja sebagai tukang masak panggilan. Itu pun jika ada yang menggunakan jasanya. Hanya sebatas itu aku mengenal wanita uzur yang masih sangat giat bergerak itu. Ia perempuan yang baik, walaupun sedikit cerewet (bukankah semua yang telah berumur itu cerewet dan akan demikian pulalah kita nanti ketika tua?) dan suka bercerita. Ia pernah diam-diam meletakkan tong sampah besar di depan rumahku ketika melihat bak sampah plastikku sudah carut marut dan pecah. Ia juga pernah diam-diam mencabuti rumput yang tumbuh di bawah tiang benderaku dan di sisi-sisi pagar. Ketika aku mempertanyakan perihal itu, ia selalu menjawab, “Oalah, Nak, Mbah ini orang nggak punya. Apalagi yang bisa Mbah lakukan untuk membalas Nak Salwa karena sudah banyak memberi sembako pada Mbah?”
Ketika itu, mataku dibuat berkaca-kaca—ia pun juga berkaca-kaca—tetapi aku terlalu malu untuk menangis di hadapannya.
Perihal air mata, bukan kali ini saja aku melihatnya meleleh dari mata bayah itu. Aku pindah di rumah besar bercat hijau di samping rumahnya, tepat sembilan bulan yang lalu. Di minggu kedua aku menempati rumah itu, di suatu siang yang tenang dan panas, Mbah Warni datang mengetuk pintu dan mengucap salam. Sepiring bandeng presto yang telah digoreng dengan dibaluri telur kocok, ia sodorkan padaku. “Ini, Nak, untuk anak-anakmu,” ujarnya dengan rona pipi kemerahan. Aku mengucap terima kasih dan mempersilakan duduk, kemudian menyuguhkan teh hangat yang kebetulan baru kubuat sebagai teman pendamping menyelesaikan pesanan kue yang harus kuantar esok harinya.
“Mboten usah repot-repot, Mbah,” ucapku. Ia membalasnya dengan menyentuh punggung tanganku dan menggeleng. Senyumnya merekah, aku teringat pada Mama. Seandainya Mama masih ada, mungkin keriput wajahnya yang tersenyum kepadaku akan sama seperti itu. Hangat dan bijak.
Di hari itu, ia mengajakku berbicara untuk pertama kalinya dan bertanya banyak hal tentang diriku. Aku adalah seorang janda cerai, dengan tiga anak yang masih kecil-kecil. Mengetahui kebenaran itu, Mbah Warni melelehkan air mata, dan semakin mengeratkan gemgamannya dengan lembut. Ia teringat akan perjuangannya membesarkan empat anaknya setelah ditinggal wafat sang suami. Ia mengutarakan keprihatinannya, juga menguatkan dengan kata-kata yang menyentuh.
“Rencananya mau pakai siapa, Mbah, untuk membenahi genteng?” tanyaku setelah pikiran ini kembali mendarat di bola matanya yang menyayu.
“Pakdhe Pur, Nduk. Siapa lagi?” jawabnya, menyebutkan nama salah satu tetangga kami yang bekerja sebagai tenaga serabutan.
Aku mengangguk-angguk perlahan, lalu terdiam kembali. Kesenyapan sakral menemani untuk beberapa saat, hingga akhirnya aku berpamit pulang untuk memasak soto ayam yang bahan-bahannya baru saja kubeli.
***
Kuamati lembaran uang di atas meja komputer. Kebimbangan itu melesak-lesak. Aku teringat pada buku-buku LKS yang harus segera dibeli untuk ketiga anakku, karena semester baru telah menjejak. Kemarin, sepulang sekolah, anakku sudah merengek untuk dibelikan LKS, karena ada tugas rumah yang harus dikerjakan. Tentu saja aku tidak bisa lagi mengharapkan bantuan pada ayah mereka, mengemis-ngemis selayaknya orang berputus asa. Papaku tidak pernah mengajarkan hal itu. “Jangan pernah meminta-minta pada siapa pun, Salwa. Kepada siapa pun.” Pesan itu yang berkali-kali Papa utarakan dulu.
Bayangan di dalam kepala berganti dengan sosok Mbah Warni yang berdiri memandangi rumah kecilnya yang hampir bobrok, dengan bola mata meleleh dan riak wajah menghanyutkan. Aku trenyuh. Melarat-larat.
Kuambil sebuah amplop putih yang selalu kusiapkan di laci meja komputer, lalu memasukkan empat lembar ratusan ke dalamnya dan menempelkan perekat serapi mungkin. Kini sisa uangku hanya seratus ribu. Tidak apa-apa, masih cukup untuk makan tiga hari ke depan.
Aku memutar kursi merah yang tengah kududuki. Sulungku sedang mengaji di kamarnya. Kuhampiri lelaki kecil yang tahun ini akan berangkat mondok di sebuah pesantren di daerah Kediri itu.
“Mas, maaf, ya. Untuk LKS-nya, Bunda belum bisa beli. Doakan Bunda segera dapat pelanggan lagi,” ucapku sambil merengkuh bahu kecil yang kelak akan menjadi kepala rumah tangga yang saleh itu. Ia mengangguk. Bibirnya terkatup rapat dan tertarik ke kedua sisi. Wajah tampan khas ayahnya terukir semakin jelas di sana. Perlahan, kukecup keningnya. Aroma pomade yang ia kenakan menguar ke penciumanku.
***
Teleponku berdering ketika aku baru saja meletakkan sepanci air di atas kompor. Lesat aku ke arah meja komputer, meraih ponsel dan menerima panggilan itu. Setelah mengucapkan salam, suara seorang wanita yang sedikit nyaring menyapa dari seberang sana.
“Wa’alaikumsalam. Benar ini dengan Mbak Salwa, yang terima pesanan kue kering?”
“Iya, Mbak. Benar ini saya.”
“Alhamdulillah. Perkenalkan, nama saya Ratna, Mbak. Jadi gini, dua hari lalu saya dapat bingkisan dari kawan saya, salah satunya adalah lidah kucing dan nastar bikinan Mbak. Ketika saya makan, saya suka sekali. Saya ini punya toko cemilan yang cukup ramai di pusat kota. Dan saya berniat mengajak Mbak Salwa memasukkan kue kering di toko saya. Mungkin seminggu sekali, Mbak bisa mengirimkan kue kering ke tempat saya. Kalau bisa tujuh macam kue kering, masing-masing sepuluh kemasan ….”
Wanita itu belum menyelesaikan kata-katanya, ia masih membicarakan bagaimana konsep kerja sama yang ditawarkan, tetapi dadaku sudah bergetar, air mata ini meleleh. Kaki-kakiku terasa lemas karena ketakjuban. Tak henti-hentinya, ucapan syukur itu mengalun lirih di bibirku. Begitu khidmat. []
Profil Penulis:
Ajeng Maharani. Perempuan penikmat sastra yang lahir di Surabaya. Cerpennya dimuat di beberapa media cetak dan daring. Buku kumpulan cerpennya yang telah terbit, Ia Tengah Menanti Kereta Uap Tuhan yang Akan Membawanya ke Bulan (Basabasi, 2017), Suatu Malam Ketika Bintang-Bintang Terjatuh (Penerbit LovRinz, 2017). Saat ini sebagai Kadiv Kaderisasi di FLP Sidoarjo.