Home Opini Kasus Pak Guru Ribut Santoso: Antara Edukasi dan Defamasi

Kasus Pak Guru Ribut Santoso: Antara Edukasi dan Defamasi

sumber: Tribun Manado

Cuplikan video seorang guru di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, mendadak viral di media sosial pada Kamis, 24 Maret 2022. Tak lain karena isi video yang membahas tentang edukasi seksual pada siswa Sekolah Dasar (SD). Berbagai komentar pun mendarat dalam akun media sosial milik Ribut Santoso, baik komentar positif maupun negatif. Tak hanya menyampaikan ketidaksukaannya, tetapi juga mengandung hujatan yang kasar dan ditujukan pada sosok guru SD ini.

Meski kini kasusnya telah dijembatani oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Lumajang melalui klarifikasi dari yang bersangkutan, nama Pak Guru Ribut—sapaannya—sudah terlanjur menjadi buah bibir netizen. Bahkan, para pengamat pendidikan pun tak lepas dari sorotan media yang meminta pendapat mereka terhadap cara mengajar guru satu ini. Hal ini yang cukup membuat sosok Ribut Santoso menjadi terbebani pikirannya dan lebih berhati-hati dalam mengunggah konten media sosialnya.

Sejatinya, diperlukan edukasi seksual yang tepat untuk mencegah kekerasan seksual terutama pada anak. Pesona Gema Media menuliskan pada 30 November 2020, membicarakan edukasi seksual pada anak bukan hal yang tabu apabila diberikan sesuai dengan tahapan usia anak. Berdasarkan klarifikasi yang diberikan oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Lumajang, apa yang disampaikan Pak Guru Ribut sudah sesuai dengan yang seharusnya diajarkan dalam buku pelajaran agama Islamnya. Pertanyaannya adalah, apakah sebelum menjelaskan materi itu, Pak Guru Ribut melakukan apersepsi dulu?

Tips melakukan apersepsi dalam upaya menjaga fitrah seksual anak adalah dengan mengenalkan jati diri dan identitas sesuai dengan jenis kelamin anak, membatasi penggunaan gadget/internet, dan mendampingi anak saat menonton televisi. Menurut mommiesharing.com pada 25 Februari 2020, mengawasi lingkungan pertemanan anak serta membekali anak dengan ilmu agama juga dapat menjadi pelengkap guru dan orang tua dalam melakukan edukasi seksual pada anak. Ini semua perlu disosialisasikan oleh pihak sekolah agar pembelajaran seksual ini tidak hanya ada dalam buku pelajaran, bukan merupakan tanggung jawab guru saja, tetapi juga diimbangi dengan pendampingan orang tua di rumah.

Anak-anak perlu berkenalan dengan tubuhnya sendiri. Dikutip  dari Ronaa Nisa’us dalam pucukmera.id tanggal 17 Mei 2021 bahwa seringkali, memang, anak-anak belum memahami hak atas tubuhnya sendiri. Maka, yang perlu dipertanyakan dalam kasus ini sebenarnya bukan hanya Pak Guru Ribut yang melakukan edukasi, tetapi juga netizen dan pengamat pendidikan yang berpendapat bahwa belum waktunya anak mendapat edukasi seksual seperti itu. Pemikiran masyarakat seperti inilah yang menjadi salah satu penyebab masih banyaknya anak yang menjadi korban kekerasan seksual karena ketidaktahuannya terhadap siapa saja yang boleh menyentuh tubuhnya.

Berbicara tentang netizen dengan segala kemahabenarannya, membawa kita pada istilah defamasi, suatu bentuk perundungan digital atau cyberbullying yang telah terjadi pada Pak Guru Ribut. Munculnya kasus-kasus pencemaran nama baik atau defamasi (defamation) seakan bukan merupakan kejahatan. Padahal, netizen bisa jadi balik diperkarakan akibat perbuatannya sendiri yaitu tak mampu mengendalikan jari tangannya dalammengetik komentar di media sosial. Kasus seperti ini masih minim pelaporan serta kurangnya penanganan sehingga belum bisa membuat jera para netizen yang sok maha bijak.

Terdapat beberapa contoh kasus defamasi. Indonesia Feminis pada 5 Februari 2019 mencatat, penghinaan di internet, penyebaran informasi yang salah, publikasi penghinaan terhadap seseorang atau penyebaran fitnah untuk mencemarkan reputasi adalah yang sering ditemukan. Bentuk defamasi online ini dapat dijerat dengan UU ITE Pasal 45 (3) tentang pencemaran nama baik dengan hukuman pidana maupun denda. Nah, bagaimana para netizen? Siapkah Anda jika Pak Guru Ribut balik melaporkan Anda? Telah terbukti bahwa cuplikan video yang viral itu bukan video seutuhnya. Mari menjadi pribadi pegiat media sosial yang cerdas dengan tidak mudah percaya pada video-video pendek hasil potongan dan editan.

Apresiasi terhadap sikap Pak Guru Ribut yang mengaku akan lebih berhati-hati dalam mengungggah konten media sosial menjadi pertanda bahwa internet tidak selamanya menjadi ruang aman bagi penggunanya. Perentanan terjadi pada pengguna ketika defamasi membentuk citra buruk untuknya—dianggap pribadi amoral dan pelanggar norma. Defamasi menghancurkan nilai-nilai pada diri, terlebih jika defamasi terjadi di ranah seksual. Kondisi tersebut berujung kelam dan berdampak pada psikis korban.

Sangat disayangkan ketika ada pengamat pendidikan yang berpendapat bahwa tak seharusnya Pak Guru Ribut mengajarkan hal itu pada anak usia SD dengan alasan masih terlalu dini. Faktanya, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DKI Jakarta pada 21 Mei 2020 berpendapat pendidikan seks pada anak sangat dibutuhkan. Mengutip tulisan Windasari, sebagai orang tua, membangun komunikasi yang nyaman dan erat dengan anak serta belajar menjadi orang tua yang tahu tentang kesehatan reproduksi (kespro) pada anak menjadi bekal utama. Hal ini bisa menjadikan pendidikan kespro sebagai “science”, bukan sesuatu yang erotis.

Ria Eka Lestari merupakan Koordinator Divisi Karya Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Gresik Periode 2022—2024. Perempuan kelahiran Kota Pudak ini sehari-hari beraktivitas sebagai Penanggung Jawab Bimbingan Konseling di SD Muhammadiyah Manyar Gresik. Sebagai pegiat perempuan dan anak, Tari—panggilan akrabnya—kerap membersamai Dinas Perlindungan Anak di Kabupaten dan Provinsi dalam menyuarakan edukasi hak-hak perempuan dan anak.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version