Home Cerbung Cerbung: Langit Masih Biru (Bagian 1)

Cerbung: Langit Masih Biru (Bagian 1)

Oleh: Ikriima Ghani (FLP Tuban)

“Semua harus ikut vaksin.”

Begitu instruksi yang aku terima dari suatu grup Whatsapp.

[Karena sebagai guru ngaji kita berhadapan dengan banyak orang dari berbagai lembaga, wali santri, juga anak-anak, Bu.]

Itu pesan yang aku terima dari salah seorang admin grup ketika aku menyampaikan keberatan hati untuk menjalani vaksin ini.

Apalagi masalah vaksin ini memang masih menjadi kontroversi. Beberapa kasus yang kurang baik marak beredar di kalangan masyarakat juga sosial media. Namun, pada akhirnya aku tetap mengikuti instruksi itu. Menerima vaksin tahap satu. Astra Zenika di sebuah puskesmas kecamatan. Guru TPQ juga mendapat prioritas awal. Harus mengikuti vaksin sebelum masyarakat luas.

Sebelum menerima suntikan vaksin, terlebih dahulu dicek tensi  darah dan petugas menanyakan beberapa hal sambil mengisi sebuah lembaran data.

“Tensi normal. 120/90. Apakah punya riwayat penyakit asma?” Salah satu petugas yang bisa kuperkirakan seumur adikku mulai bertanya.

“Tidak,” jawabku singkat sambil menggelengkan kepala.

“Diabetes?”

“Tidak.”

“Kolesterol, asam urat?”

“Normal, tapi pernah kolesterol mencapai 215.”

Pemuda itu tersenyum. Beberapa, detik kemudian seorang bidan yang sangat aku kenal datang.

“Tidak apa-apa, Bu. Insya Allah aman.” Bidan Sri Hartatik mengambil tempat di depanku,  lalu memintaku membalikkan badan dan membuka bagian lengan kanan atas dari baju yang kukenakan.

Beberapa detik kemudian aku merasakan ada yang menusuk, dingin, dan terasa desiran menjalari seluruh tubuh. 

“Alhamdulillah. Beres. Istirahat di sini selama kurang lebih lima belas menit, ya, Bu. Kartu dan jadwal vaksin tahap dua akan kami persiapkan.” Bidan Sri Hartatik berucap dengan santun.

Aku mulai bangkit dan berpindah. Kursi yang semula  kutempati segera diisi orang lain. Seseorang yang sangat kukenal juga. Kami semua yang menjalani vaksin hari ini memang berada dalam satu komunitas.

“Ibu Karimah Insiyah.” seorang petugas yang sedari tadi hanya berkutat dengan laptop memanggil namaku.

Aku pun segera menghadap.

“Apakah merasa pusing atau ada keluhan lain, Bu?”

“Alhamdulillah. Biasa saja.” Aku memberikan senyuman meski tertutup masker. Dari balik maskernya yang rangkap tiga itu aku yakin dia juga tersenyum

“Ibu tunggu sepuluh menit lagi di sini.  Jika semua baik-baik saja dan tidak ada keluhan, Ibu boleh pulang.”

Aku mengangguk.

Petugas itu menyerahkan  lembaran putih biru berisi jadwal vaksin hari ini dan di kolom lain tertera jadwal pemberian vaksin tahap dua.

“Oh ya, Bu. Kami sarankan untuk satu atau dua hari ke depan, Sebaiknya Ibu banyak beristirahat dan konsumsinya ditambah. Reaksi ingin makan itu hal yang biasa.” Kesan bercanda dan keakraban dapat aku simpulkan dari kalimat yang terlontar dari mulutnya.

***

Pagi itu aku bangun kesiangan. Suara alarm yang biasanya berdering saat jarum menunjukkan angka 03.30 tidak mampu membuatku terjaga.

Astaghfirullahal adziim. Sudah hampir jam lima, Nduk. Ayo cepat bangun.” Perlahan kutepuki punggung gadis kecilku. Dia masih bergeming, lalu kugulingkan tubuhnya. Dia masih belum juga membuka mata.

Aku merasa ada yang aneh pada tubuhku. Kakiku kaku. Otot-ototnya meregang dan terasa sakit yang luar biasa. Ini kram otot seperti yang pernah aku rasakan ketika ada pada masa kehamilan.

Masih dengan menahan rasa sakit, aku berusaha bangkit. Namun, kaki terasa luar biasa sakit. Hampir tidak bisa untuk digerakkan. Seperti ada selonjor kayu yang menempel di tulang betis dan aku harus menunggu beberapa saat sambil meringis.

“Ya Allah! Kakiku kaku. Uuuhhh!  Ssshhh!” Bibir tanpa sadar berdesis.

Putriku terjaga, “Ibu kenapa?” Air mukanya terlihat tegang. Pandangannya penuh selidik ke arahku yang terduduk dengan kaki kaku dan tegang.

Aku hanya mampu menunjuk ke arah kaki kanan yang kaku bagai batu. Gadisku lalu menekan bagian yang terlihat menonjol.

Aku terlonjak karena sakitnya seolah sampai di ubun-ubun.

Dia kaget, “Aku harus bagaimana, Bu?”

 Aku memberikan isyarat tangan untuk membiarkan saja aku tenang dan rileks. Setelah sekian menit, kaki kembali bisa digerakkan. Namun, rasa sakitnya masih tertinggal hingga waktu yang lama.

“Auw!” Saat menyentuh lantai, seperti ada setrum listrik yang mengaliri kaki. Kembali kakiku kaku. Cara berjalanku pun seperti robot.

Anakku menyeringai aneh melihat kondisiku, “Bagaimana? Apakah ibu baik-baik saja?”

Sehari itu aku masih merasakan derita yang menyiksa di bagian kaki. Terutama kaki sebelah kanan.

Seorang teman menyarankan untuk melakukan terapi pijat relaksasi.

“Kamu terlalu memforsir diri untuk bekerja. Sesekali harus bersantai.” Mahira, sahabatku datang sore itu karena aku izin tidak bisa datang ke TPQ.

“Aku merasa aneh saja. Beberapa orang sering memanggilku dukun pijat karena salah satu pekerjaanku memang memijat orang. Apakah sekarang aku yang tukang pijat ini harus mencari tukang pijat lain?” Aku bersungut sambil memijat kakiku sendiri.

“Kamu ini super aneh. Apakah  seorang dokter tidak pernah sakit? Apakah kalau sakit, dia bisa merawat dirinya sendiri?” Wajah wanita yang sudah menjadi ibu dari dua balita itu tampak garang yang dibuat-buat, “Ayo aku antarkan kw rumah Mbah Dasimah.”

Akhirnya aku menurut saja. Ternyata mendapat perhatian orang lain itu cukup menyenangkan.

Mbah Dasimah adalah seorang tukang pijat di desa sebelah. Menurut cerita beliau ahli dalam menata otot-otot yang kaku juga bisa memijat untuk gejala syaraf terjepit.

Hampir satu jam beliau memijat seluruh bagian tubuhku. Beliau banyak bercerita. Aku merasa nyaman hingga tertidur pada akhirnya.

Tiga hari sesudah peristiwa itu, aku masih belum merasakan perubahan yang baik, tapi aku bisa beraktivitas normal sambil menahan rasa sakit. Setiap bangun tidur kakiku kaku. Kram otot yang menyiksa telah menjadi bagai morning sickness bagi wanita usia separuh baya sepertiku.

“Kakiku kaku. Kakiku kaku…. ” Putri bungsuku yang masih duduk di bangku kelas enam SD itu kini sering menirukan caraku berjalan di waktu pagi.

Minggu-minggu berlalu. Beberapa tukang pijat terpaksa aku datangi. Namun,  hasilnya belum memadai. Tubuhku kian hari terasa makin tidak bertenaga. Beberapa pesanan makanan kering juga katering terpaksa aku tolak.

Pada suatu hari aku diantar oleh adikku ke salah seorang ahli pijat syaraf.

“Menurut cerita, banyak orang dengan keluhan berat berhasil selamat, Mbak. Kita coba ke sana,  ya?”

Hanya beberapa bagian kaki dan lebih pada jari-jari kaki yang dipijat dengan tekanan yang sangat menyakitkan. Setelah beberapa hari masih terlihat beberapa bercak hitam kebiruan di bagian tubuhku. Namun, masih belum terlihat ada perkembangan baik.

Malangnya lagi, beberapa hari ini cuaca tidak menentu. Kadang hari cerah dan panas terik hingga sore tiba. Kemudian mendung, angin dan hujan tiba-tiba datang.  Perubahan cuaca ini sangat berpengaruh pada kondisi tubuh yang tengah rentan ini.

 Mendadak tubuh seperti berkeringat tetapi di saat yang sama ada rasa menggigil dari dalam dada. Namun, pada saat itu suhu tubuh berkisar 38-39 derajat jika dicek dengan termometer.

Parahnya lagi, aku merasa tidak tahu ke mana dan kepada siapa mesti mengadu dan berkeluh kesah untuk sekedar mendapat saran yang baik sebagai pertimbangan. Bungsuku masih terlalu kecil untuk diajak bertukar pendapat. Sulungku berada di tempat yang jauh untuk menuntut ilmu. Sesekali dia telepon bertanya keadaan kami dan selalu kukatakan bahwa semua baik-baik saja. Aku tidak ingin menambah beban pikirannya.  Akhirnya banyak kegiatan dan pekerjaan yang dengan terpaksa harus aku  tinggalkan. Semua terasa berat saat ini.

Sore itu langit mendung dan angin berembus kencang ketika kami pulang. Hujan deras mengguyur sebelum aku dan di bungsu tiba di rumah. Kami basah kuyup sejak di perjalanan.

“Segera tutup pintu dan semua jendela,  Nduk. Hujan disertai angin,” suaraku pun disertai getar karena menggigil.

Tulang-tulang terutama paha dan betis terasa sakit yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Untuk melangkah saja kaki terasa gemetar.

Setelah mengganti pakaian, aku menambahkan jaket tebal untuk menghangatkan badan. Tak ketinggalan kaos kaki juga kaos tangan.

“Ibu kok sampai begitu tidak kuat menahan dingin. Apakah tidak cukup dengan ganti baju panjang?  Masih ditambah jaket milik Bapak pula.”

Hal yang lebih mengagetkan adalah malam itu saya tiba-tiba ‘nggeblak’ ketika berdiri saat melaksanakan salat Isya”

Bungsuku menangis. Dia akan menelepon pamannya, tapi aku melarang.

“Tidak apa-apa, Nduk. Besok ibu akan ke Puskesmas untuk periksa.”

Di luar hujan turun disertai petir dan guntur. Di dalam hatiku perang berkecamuk antara segala rasa khawatir dan praduga yang tak tentu asalnya.

Hingga malam larut,  mataku masih sulit terpejam. Bungsuku yang terbaring disisiku pun terlelap dalam resah dan gelisah. Sesekali dia miring ke kanan,  telentang, dan sejurus kemudian memeluk guling di sisi kirinya. Entah dia mengembara di dunia yang mana

Keesokan paginya aku mengambil nomor antrean pertama untuk diperiksa.

“Kami akan memberikan surat rujukan untuk ibu periksa di rumah sakit besar.”

“Apa?” Telingaku terasa berdenging mendengarnya.

Bersambung.

*****

Bionarasi

Ikriima Ghani adalah nama pena dari Siti Romlah. Berdomisili di Tuban, Bumi Wali.

Menulis adalah suatu hal yang disukai sejak lama tetapi baru berani berkarya dalam bentuk antologi ketika usia mulai senja.

Penulis bisa disapa lewat FB dan IG Asmarani Syafira

1 COMMENT

  1. Kereeen mbk Romlah…..selalu rindu tulisan-tulisannya. Sudah penasaran lanjutannya….eh bersambung 😁

    Semangat dan sehat selalu ya 😘😘😘

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version