Identitas Buku
Judul buku: Sang Pangeran dan Janissary Terakhir
Penulis: Salim A. Fillah
Tebal buku: 632 halaman
Penerbit: Pro-U Media
Tahun terbit: 2019
Menyimak kisah sang pemimpin perang Jawa membuat saya takjub dengan prinsip dan keteguhan hati beliau. Beliau adalah salah satu tokoh yang keberadaannya sangat ditakuti oleh penjajah sehingga penjajah pun sangat berkeinginan untuk menangkap beliau. Saya pun jadi belajar tentang pentingnya posisi seorang pemimpin. Bagaimana kondisi para prajurit sangat tergantung dengan bagaimana pemimpinnya. Pemimpin memiliki posisi yang sangat krusial terhadap sebuah kelompok terutama dalam pengambilan keputusan. Tanpa Diponegoro, bisa jadi tidak ada perang Jawa yang disebut-sebut sebagai perang yang banyak menguras kas penjajah hingga mereka nyaris bangkrut.
Ini adalah sebuah novel fiksi sejarah yang–bagi saya yang dulu waktu SMA langganan remidi pelajaran sejarah–cukup berat untuk dicerna. Oleh karenanya, butuh waktu sekitar tiga tahun hingga akhirnya saya menyelesaikannya, terdistraksi banyak bacaan lain yang lebih ‘menarik’ untuk diselesaikan. Apalagi dengan banyaknya tokoh di dalam cerita membuat kening ini sering berkerut berusaha mencerna jalan cerita.
Namun, alhamdulilah akhirnya bulan lalu saya mampu menyelesaikannya. Setelah saya paksa menyelesaikannya, ternyata saya pun banyak melupakan detail cerita karena saking lamanya jeda baca dari halaman pertama ke akhir. Meski demikian, saya mendapat banyak sekali insight dan ibrah setelah membaca novel ini.
Kisah ini dimulai dengan lebih banyak menceritakan janissary terakhir yang dikirim ke Nusantara. Siapakah janissary itu? Janissary adalah nama pasukan dari Turki Usmani yang pada masa itu telah banyak melenceng dari tujuan awal hingga akhirnya punah. Maka mereka adalah sisa janissary yang masih lurus secara pemahaman dan akidah sehingga mereka dikirim ke Nusantara untuk membantu muslim di Nusantara melawan penjajah.
Belanda sendiri awal mulanya hingga sampai ke Nusantara karena Turki memboikot negara-negara Eropa dari jual beli sehingga orang Eropa yang membutuhkan rempah-rempah akhirnya sampai ke Nusantara, penghasil rempah itu sendiri. Dari sana, pemimpin Turki merasa bersalah dan mengirim janissary-nya untuk membantu muslim di Nusantara melawan penjajah kafir.
Sejujurnya cerita ini terasa sangat baru di pemahaman saya dalam sejarah bangsa Indonesia. Nama Turki jarang disebut dalam sejarah yang diajarkan di bangku sekolah. Meski di dalam novel ini sendiri Turki disebut dengan bangsa Ngerum, pusat kekhalifahan Islam yang saat itu belum runtuh.
Dalam novel ini bahkan disebutkan bahwa istilah-istilah dalam kerajaan Mataram Islam banyak diadaptasi dari istilah yang ada di Turki Usmani. Saya yang tidak terlalu paham sejarah pun menjadi banyak takjub dengan kisah yang tertulis di novel ini.
Sekilas pernah mendengar Ustaz Salim A. Fillah saat menuliskan novel ini banyak juga mengambil referensi dari autobiografi Babad Diponegoro yang beliau tulis saat diasingkan di Manado. Novel ini pun diakhiri dengan kisah Sang Pangeran yang dijebak kemudian diasingkan ke Manado tersebut.
Beragam emosi keluar saat membaca novel ini, ada kalanya ingin marah, sedih, atau bahkan berbunga-bunga saat bumbu-bumbu kisah asmara sang janissary dikisahkan. Novel ini memberi gambaran bagaimana kondisi Nusantara yang terpecah-belah kala itu. Ada yang gigih melawan penjajah, ada pula yang memilih menjadi penjilat asal selamat. Sayang, di antara yang gigih melawan pun satu per satu memilih menyerah dengan dalih kasian rakyat yang terkena imbas perang tak berkesudahan.
Seusai membaca novel ini, sesungguhnya diri ini jadi haus ingin membaca novel-novel sejarah yang lain.