Sebagai seorang pemburu buku, jam terbang saya tak perlu diragukan. Mungkin sudah jauh melampaui angka “keramat”-nya Malcolm Gladwell. Saya tak bisa menghitung berapa persisnya. Saya bisa tahan hingga berjam-jam jika sudah berhadapan dengan tumpukan buku yang menggunung, atau buku-buku yang berjajar manis di rak, atau toko online yang memajang gambar sampul buku-buku koleksinya.
Semua tempat yang di situ ada buku, saya kunjungi. Saya tak pilih-pilih. Di toko yang nyaman ber-AC, di pameran BBW bahkan pernah hingga subuh, di lapak-lapak buku seperti Kampung Ilmu mulai pagi pukul 8 hingga sore bahkan kadang malam. Sepekan sekali saya juga rutin mengunjungi gudang barang rongsokan untuk membongkar dan mencari buku-buku bekas.
Saya pernah membawa tiga karung buku dari tempat rongsokan. Pun pernah saya membawa dua kardus besar dari pameran. Semuanya diangkut dengan sepeda motor. Kardus itu bergoyang ke kiri dan kanan, sepeda motor saya oleng dan hampir rubuh. Dua kardus ukuran besar yang menyembunyikan seluruh tubuh saya jika dilihat dari belakang.
Tapi saya melakoninya dengan senang. Menemukan buku-buku bagus diantara tumpukan buku lainnya, bagi saya seolah menemukan mutiara dalam kubangan lumpur. Itu membuat saya bahagia. Jerih payah saya membongkar bebukit buku, dengan debu-debu tebal yang membuat telapak tangan berwarna hitam, yang bahkan terkadang kotoran binatang pun ikut menempel, seakan terbayar lunas.
Ketika berburu buku saya benar-benar totalitas. Seringkali lupa dan cuek dengan keadaan sekitar. Yang saya perhatikan hanya buku. Judul-judulnya saya scanning dengan cepat. Jika ada yang menarik, saya ambil lalu dilihat sekilas cover depan dan belakang. Jika buku bekas, saya buka bagian isi dengan cepat, sebelum kemudian saya putuskan mau ambil buku itu atau tidak.
Berburu buku membutuhkan seni tersendiri. Mulai memilah dan memilih buku-buku berkualitas yang kira-kira potensial jika dijual kembali, atau sangat layak untuk dikoleksi, tawar-menawar harga dengan penjual, hingga transaksi. Seringkali saya mendapatkan buku-buku bagus dengan harga sangat murah. Apalagi jika kenal dan akrab dengan si penjual. Buku termurah yang saya dapatkan, ya tentu saja di tempat rongsokan. Karena di sana, saya membeli buku dengan harga kiloan, bukan satuan. Sementara harga termahal yang pernah saya dapat, sementara ini adalah buku karya Hamka yang langka, judulnya “Di Lembah Sungai Nil”. Saya mendapatkannya dari sebuah lelang online di FB. Belakangan ada yang menawarnya dengan harga lebih mahal, tapi belum saya lepas.
Berburu buku itu sangat mengasyikkan. Apalagi mendapatkan buku yang sudah lama diidam-idamkan. Ketika saya ingin buku Tafsir Al-Azhar lengkap 30 jilid, eh ternyata ada yang menawarkan dengan harga murah. Ketika suatu hari saya ngidam buku “Madura” karangan Prof Kuntowijoyo, besoknya tiba-tiba ada penjual yang menyodorkan buku itu pada saya dengan harga yang sangat terjangkau. Itu yang membuat saya bahagia.
Saya sering memberikan tips sederhana pada teman-teman yang mengidam-idamkan sebuah buku, namun belum ketemu alias belum berjodoh: tataplah cover buku itu kuat-kuat, lakukan berkali-kali, dan rasakan keajaibannya. Akan ada skenario gaib yang mempertemukan kita dengan buku impian itu. Terbukti, tidak hanya sekali-dua saya mengalaminya.
Berburu buku bagi saya ibarat petualangan mencari harta karun.