Home Cerpen Tentang Bilik Berdawai yang Menunggal

Tentang Bilik Berdawai yang Menunggal

Flpjatim.com,- Belum lama sejak kepergiannya, kota sudah menyambut virus baru. Kali ini lebih mencekam. Jika masalah pelik yang diakibatkan angka belasan terakhir itu sudah jinak, virus baru ini nampaknya akan lebih jadi pembangkang tingkat dewa. 
Kabar buruknya, ia tidak akan mengacak-acak organ tubuh dan menimbulkan gejala medis kasatmata. Dengan presisi lebih akurat, ia menyasar syaraf otak seseorang. Bertugas mengambil alih. Oposisi terburuk yang tak kentara. Sayangnya, sebagian besar masyarakat masih pulas. Tersaput oleh hiruk-pikuk harian. 
Tentang Bilik Berdawai yang Menunggal

Kabar baiknya, beberapa sudah menyiapkan diri. Makhluk mungil tak kasat mata yang menggemparkan dunia itu memberikan kenangan termanis bagi yang lulus. Bingkisan istimewa bagi mereka yang mau menepi, menggali realitas. 
Berkontemplasi dengan realitas bagi Lasat tak lagi menjemukan karena dirinya dinobatkan sebagai “subjek nol”. Tidak dari pemerintah atau organisasi, melainkan berasal dari dirinya sendiri. Lasat berani menyematkan julukan itu karena hanya dirinya saja di kotanya yang menyadari perubahan pasca hantaman pandemi itu. 
Menafahus realitas ala Lasat diawalinya dengan mendaratkan pantat di atas batang besi halte. Matanya tajam menyelidik bilik yang dahulu dibiarkan mengenaskan dilahap karat dan lumut yang meranggas. Dan, detik ini keberadaannya justru jadi dambaan. Sebagaimana orang-orang nirponsel dahulu membutuhkannya. Ialah sepetak ruang berbentuk balok tegap berdinding kaca yang menyimpan dawai di dalamnya. 
Hebatnya, seisi kota kini kompak berikrar memerlukannya! Miris. Tapi kenyataan mencengangkan adalah lawakan paling jenaka bagi Lasat. Bagaimana tidak, dahulu mulutnya berbusa mengobral peringatan, namun kota sekongkol menjulukinya majenun. Giliran virus itu sudah menancap, kota tak kenal malu menelan ludahnya sendiri. 
Sungguh, bodoh sekali mereka. Membiarkan virus itu mengelabui mereka hingga membutakan mata. Lihat, kerumunan itu mulai terbentuk di depan bilik. 
Jas, tuxedo, pantofel berkilau, rambut rapi mengilap, baju dinas warna kecoklatan, kemeja yang didesak masuk celana panjang, blus rapi, bibir merah menggoda, sepatu high heels, tas jinjing dencan cap internasional berbandrol selangit, mobil-mobil elok dengan keangkuhan yang sengaja disematkan, adalah atribut yang melekat pada mereka. Bukan main. Sudah macam panggung kompetisi unjuk gigi. 
Bilik berdawai menjanjikan perubahan bentuk fisik. Menyulap wajah-wajah malang jadi cemerlang. Akan tetapi, kenikmatan itu sekejap mata saja. Karena para pengunjungnya harus kembali lagi sebanyak lima kali sehari—dan kadang ada yang lebih. Rupanya mereka tak berat hati menyemai sabar dalam untuk antre. 
Hasil penggalian realitas Lasat berikutnya menyediakan data baru: kalut mulai membungkus kota. Meskipun demikian, gejala yang ditimbulkan bilik berdawai itu tampil secara tersirat. Sepasang mata lahiriyah tak mampu menangkapnya. Namun, memiliki kemauan bermakrifat fenomena itu akan sangat kentara terlihat. 
Tempo hari, seorang kawan Lasat mengeluh. Alih-alih basa basi, salah salah satu bos perusahaan besar di ujung sana sampai hati mencampakkannya tanpa sepeser pun. Padahal puluhan kilometer dia tempuh demi menemani si bos menuntaskan urusannya. 
Teman perempuan Lasat yang bekerja—dengan keterbatasan pilihan—menjadi penjaja di “gang” sudut sana juga menyambat. Tega sekali eksekutif berdompet tebal itu tidak mencabut dua-tiga lembar merahnya. Pergi begitu saja dia dengan kelegaan semu yang baru didapatkan. Tiga jam membersamainya seakan tidak bermakna apa pun. 
Dengan dalih bahwa seorang nenek berbaring kelelahan di trotoar, seorang wanita bergaya metropolis berani-beraninya mendaratkan sepakan di wajah nenek itu. Kata si wanita berbau parfum kelas dunia itu kaum mereka hanya menyampahi kota. 
Kesumat pun melumat sabar yang sempat memenuhi dada Lasat. 
Pagi berikutnya, di halte yang bersebrangan dengan bilik berdawai pertama, Lasat tidak sendiri. Seorang pegawai berbaju dinas kusut yang baru keluar dari warung kopi samping halte menemaninya. Mengajaknya bertukar pikiran. Selagi tidak ada sidak, dirinya aman-aman saja. 
“Aku tidak pernah melihatmu memasukinya.” Kata si pegawai berbaju dinas kusut itu menunjuk bilik yang baru menyulap seorang pria dari dalamnya. 
Lasat tidak menemukan ketertarikan dalam pembicaraan itu. 
“Caranya mudah. Tancapkan saja dawai ke salah satu bagian tubuh. Dan tunggu sejenak. Nanti akan terasa aliran lembut mengalir. Kalau sudah, rasanya badan enteng sekali. Pikiran jernih. Lega.” Kata si pegawai berbaju dinas itu mencerocos soal pengalamannya menggabungkan diri dengan bilik berdawai itu. 
Ketika pegawai berbaju dinas itu beralih mengumbar keluhan, Lasat sengaja melewatkan bagian itu. Baginya, sehebat apa pun bilik itu tidak sebanding dengan air hitam pekat nan pahit yang ada di sakunya. Ramuan yang mendiami tabung berukuran seratus mililiter itu memiliki kesamaan fungsi dengan bilik itu. 
Selain karena ramuan itu adalah titipan, Lasat menyakini bahwa ramuan itu adalah segalanya untuknya. Atas dasar itulah dia berani mempertaruhkan nyawa sekalipun demi melindunginya. Sebagaimana yang pernah dia lakukan kepada salah bingkisan terindah Langit untuknya, mendiang istrinya. Almarhumah istrinya harus pulang lebih awal akibat wabah dengan angka belasan terakhir itu. 
“Kau tidak ingin mencobanya?” Pria berbaju dinas itu mengacau nostalgia. 
Dengan tatapan yang masih melekat pada bilik di seberang, Lasat menggeleng. 
Sejak duduk bersisian dengan Lasat, mulut pria itu tak henti berdecak. Permen karet dalam mulutnya mengajak giginya berdansa. “Rugi kau tidak mencobanya.” 
“Aku tidak tertarik. Lagi pula, waktuku tidak banyak.” 
“Bah! Lima menit saja tidak ada!” Permen karet pria itu nyaris melompat. 
“Justru kau yang rugi terus melekatkan diri kepadanya, Kawan.” 
Setelah meludahkan permen karet hambarnya, pria itu menatap Lasat. Bertanya, “Bagaimana kau bisa hidup tanpanya, Bung?” 
Sebagai jawaban, Lasat hanya menyeringai. Membiarkan pria berbaju dinas itu mencerna kalima terakhirnya. “Seperti yang kau lihat. Aku baik-baik saja.” 
Lelaki itu tersenyum kecut. Lantas saat seorang temannya memanggil, dia berseloroh pamit. Menjelang tengah hari, antrean itu semakin mengular panjang. 
*** 
Bilik berdawai itu makin menggila. Ke sudut mana pun mata berpaling petak balok berkaca itu berdiri mengejek Lasat. Kurang ajar sekali mereka. Berani-beraninya menggandakan diri secepat ini. Buruknya lagi, pengunjung makin hari makin tak terhitung. Mana peduli berapa lama menunggu selama giliran itu tiba. 
Meskipun biaya penggunaannya tidak murah, pengunjung sepertinya tidak mengindahkannya, sama sekali. Tarip ditetapkan berdasarkan seberapa lama tamu mendiaminya. Uang yang masuk akan diproses sebagai upeti. Ke mana mengalirnya uang itu, Lasat tidak peduli karena bilik berdawai sialan itu sudah memusingkannya. 
Matahari beranjak tumbang. Menjelang petang, alias kesempatan keempat untuk isi daya, nuansa yang hadir dari ratusan orang itu makin pekat. Tidak ada wajah yang absen dari gurat kusut. Semua tampil dengan sisi paling muram masing-masing. Berduyun-duyun menggotong sambatnya sendiri-sendiri. 
Istri yang rajin mengeluh karena gaji kecil suami, suami yang kelimpungan membayar cicilan, anak yang merengek minta dibelikan motor, pacar yang merintih minta tanggung jawab, penantian jodoh yang tak berujung, karier yang mandek. 
Memang, fenomena itu menggelikan. Kendati dada Lasat tersayat olehnya. Lagi-lagi—dan akan selalu begitu—matanya kelilipan. Kalau sudah begitu, tiba saatnya Lasat meneguk ramuan hitamnya. Sebagaimana mereka. Jatah yang keempat kalinya hari ini. Ramuan yang rasanya seperti akan membunuhmu itu berasal dari guru Lasat. 
Dua puluh lima tahun silam, ketika Lasat sibuk mengejar-ngejar mendiang istrinya, gurunya memberi ramuan itu. Sebelum memindah tangankan ramuannya, guru Lasat terlebih dahulu membeberkan soal cenayangnya. Mimpi tentang dirinya yang hanyut dalam banjir raksasa yang melibas kota. Guru Lasat ini bukan sembarang orang. Mimpi-mimpi beliau adalah keniscayaan. Bocoran dari Langit atas rencana-Nya. 
Guru Lasat menuturkan bahwa banyak orang yang tidak selamat. Katanya, itu adalah ganjaran atas dunia yang seharusnya digenggam, tetapi justru didekap erat. Oleh karena menjadi satu-satunya yang bertahan dari bencana itu, beliau tak segan menumbalkan nyawa demi orang-orang. Hebatnya, beliau berhasil mengentaskan banyak orang. Sedikit saja yang luput. Ramuan itulah yang memberikannya mukjizat itu. 
“Berapa ton gula kau tuang, rasanya tidak akan pernah berubah.” Kata guru Lasat yang sudah mendapat banyak anugerah hebat selama tujuh puluh tiga tahun. 
Lasat menatap botol kaca itu lamat-lamat. Apa sebenarnya benda ini? 
“Gunakan itu.” Suara gurunya lembut menerobos telinga. “Kalau mau selamat.” 
“Ini harus diminum nggih, Mbah?” 
Dengan sarat kebijaksanaan guru Lasat mengangguk. “Minum itu lima kali sehari. Total tujuh belas kali. Dua kali sebelum matahari terbit. Empat kali di tiga waktu berbeda: sebelum matahari pada puncaknya, sebelum cahayanya lenyap di barat, dan saat bulan benderang bersama bintang. Tiga kali sisanya saat jingga melukis langit. Kalau lupa atau terlewat, segera tebus! Minum dua kali teguk di satu waktu.” 
Telinga Lasat menajam. Mencatutkan petuah itu di kepalanya. 
“Pagi adalah saat paling genting. Jika kau melewatkannya, kau tidak berhak menebusnya di tengah hari. Begitu pun malam hari dengan paginya. Tidak penting mengapa. Pesanku, berhati-hatilah dengan rayuan yang akan mendatangimu. Ia akan selalu mengintaimu dimana pun. Mencari celah saat kau lengah.” 
Di ujung kalimat gurunya itu, Lasat total sadar. Betapa berharga dan krusialnya benda sejengkal tangan pemuda itu. “Baik, Mbah. Demi Zat yang jiwaku berada di genggaman-Nya, aku akan menaati njenengan.” 
“Satu lagi.” Sela guru Lasat yang kumis dan jenggotnya memburai. “Itu HANYA PERANTARA SAJA. Kendalinya ada di dalam kepalamu dan di balik dadamu. Gunakan keduanya sebaik mungkin. Abaikan apa pun yang menggoyahkan. Jaga baik-baik ramuan itu. Dan, selalu sediakan waktu untuk ngiling-ngiling—mengingat-ingat.” 
Percakapan itu berakhir dengan anggukan sarat kesanggupan dari Lasat. 
*** 
Menenggak ramuan itu sehari sebanyak lima kali bukan perkara mudah. Meski sudah menetapkannya sebagai kebutuhan, Lasat selalu mengerahkan energi besar meminumnya. Walaupun, sensasi ‘menyegarkan’ itu hanya muncul saat bergesekan dengan lidah saja. 
Dampak yang diperoleh memang sama dengan sensasi mengunjungi bilik dawai itu. Badan terasa begitu ringan. Kepuasan menyesaki dada. Bedanya, ramuan ini menguatkan batas tepi yang tidak lagi harus dibobol. Sehingga, tumbuh rasa tidak dapat pun, tidak ada masalah. Ah, tiada kenikmatan dunia terbaik selain perasaan seperti itu. 
Saat berjalan menuju halte di hari kesekian, Lasat begitu benderang. Menyingkap gelap yang membungkus kota yang ditelan kelam. Dirinya tampil—dengan kaos hitam, celana training abu-abu, dan sandal japit, dan rambut bergelombangnya—di muka umum membawa serta wajah paling menyenangkan. 
Pancaran dari Lasat seakan mengolok mereka yang sakunya tak muat dijejal uang, mereka yang punya wewenang tak kurang-kurang, atau yang kaum selalu diliputi gamang. Tengoklah, tulang punggungnya jadi bengkok. Nyaris seperti berpunuk. Daging yang kian menipis. Beberapa malah ada yang merasa badannya teriris-iris. 
Lasat menempelkan punggung di sudut yang diakrabinya. Menyaksikan lagi fenomena memedihkan itu. Apa yang mau diperbuat? Orang-orang itu bebal nasihat. Beberapa waktu silam, Lasat mengoceh seperti dokter. Mengingatkan keterpurukan mereka semua—dan kota ini—karena berlama-lama dari bilik berdawai itu. Alih-alih menimbang gagasan itu, mereka malah menyembur Lasat dengan gelak kencang. 
Sudah terbalik akalnya, kata mereka. 
Satu hari lewat lagi, Lasat makin yakin bahwa hanya dirinya dan beberapa kolega jalanannya yang waras. Mereka-mereka yang memilih jalan sunyi. Melemparkan kelezatan yang melambai-lambai di belakang. 
*** 
GAWAT! CELAKA SUDAH! 
Matahari sudah mengintip ketika Lasat sadar ramuan itu nihil membasahi kerongkongannya. Jam pertama terlewat begitu saja. Kelimpungan cekatan menekan Lasat. Aduh, bagaimana? Pagi hari tidak diciptakan berpasangan dengan waktu yang lain. Celaka sudah! Bagaimana ini? 
Lasat memperhatikan baik-baik kondisi badannya. Meraba-raba. Syukurlah, tidak ada sesuatu yang terjadi. Tidak. Mungkin, belum waktunya. Sekarang sudah akan masuk tengah hari. Apa yang harus Lasat lakukan? Oh, Tuhan! Mengapa hari ini dia begitu lalai dengan apa yang seharusnya dia kerjakan? 
Buru-buru Lasat menghubungi teman-teman gurunya. Barangkali ada yang bisa memberi solusi. Telepon satu per satu diangkat. Harapan Lasat terpenuhi. Namun, tidak ada yang memuaskan. Semuanya bilang tidak apa-apa. Ah! Yang benar saja. Gurunya tidak pernah mengatakan bahwa itu tidak apa-apa. 
Dalam keadaan beringas akan penjelasan, Lasat memutuskan minggat. Kali ini, tanpa “perisai” apa pun. 
Lasat berjalan memburu. Napasnya pendek-pendek. Jelalatan matanya mencari jalan menyibak kekacauan. Akibat dari bejibunnya orang-orang yang ganas menjotos. Ketenangan yang selama ini terawat sudah sekarat. Kalut pun kompak berduet dengan maut. Izrail kini sudah mengepung setiap kawasan bilik berdawai itu. Menunggu aba-aba Langit untuk melaksanakan tugas. 
Lasat tak merasa cukup waktu menggali realitas lagi. Kemelut sedang membungkus dadanya. Dan, waktunya sempit. Dengan keadaan sepelik ini, peluang lolos dari belenggu lautan manusia yang meruah di jalanan ini membingungkan. Kendati begitu, Kaki Lasat terus melesat memburu rumah gurunya. 
Mungkin virus pandemi itu nelangsa menyaksikan ini. Sepeninggalnya, bukannya malah membaik. Justru semakin porak-poranda. Padahal, kedatangannya adalah untuk memberikan kabar baik. Meskipun mampirnya dinilai sebagai biang keladi. Hari ini kota menjelang tumpat. 
Nyaris Lasat mengempar dalam ombak manusia yang bergelung itu. Namun, takdir baik memihak dirinya. Meski sempoyongan, Lasat berhasil keluar dari lubang jarum. Udara terasa mendidih. Sempurna hilang julukan kota dingin di sini. 
Sepanjang sisa jalan, jerit tangis menjejali udara. Teriakan provokasi meraung-raung. Petugas keamanan kewalahan. Tim medis kelimpungan. Siapa orang keji yang menyebabkan virus itu menguasai orang-orang? Erangan-erangan kesakitan menyeruak kemudian. 
Ingin rasanya Lasat membabat mereka satu demi satu. Berusaha menyadarkan bahwa binatang pun akan tertawa menyaksikan mereka. Namun, dorongan niat itu tumpul. Ada yang lebih penting dari itu. Lagi pula, bicara pada dungu yang apatis hanya mendengangkan kecewa. Menguras energi. Buang-buang waktu pula. 
Hanya perlu sepuluh langkah untuk Lasat mencapai mulut gang rumah gurunya. Andai saja ada rintangan memuakkan berikutnya, hampir pasti kepala Lasat meledak. Sebab hasrat haus penjelasan sudah menggelegak. Rumah gurunya sekarang sudah sepelemparan batu. Seulas senyum puas menghias bibir Lasat. 
Namun, tepat ketika itu juga kedua kakinya mengeras. Senyum yang baru mengembang sontak hilang. Bendera putih dengan tanda plus warna hitam menyambar pandangannya. Seseorang sedang berduka. Tapi, siapa? Rasa penasaran menggiring Lasat mendekat. Ketika mendapati lantunan tahlil menggema, dengan kejam firasat menerkam dada Lasat. 
Tidak. Mungkinkah itu? 
Mendadak hatinya memburam. Kali ini, Lasat harus sudi memamah kecewa. Untuk melenyapkannya, buru-buru Lasat menyepuk gagasan itu. Tidak. Tidak mungkin. Ini pasti sebuah kekeliruan. Begitu katanya, menghibur diri. 
Kendati demikian, memang itulah yang disaksikan kedua bola mata Lasat. Gurunya, kakek yang memberinya ramuan hitam pekat yang saat diminum bisa mengundang ribuan umpatan, telentang dengan kain kafan sebagai jubah pamungkas. Matanya lekat terpejam. Bibirnya pucat memutih. Handai tolan membekuk duka. 
Amblas sudah perasaan Lasat menyaksikan pemilik wajah menenangkan, senyum menyejukkan, kata-kata membahagiakan, atau tatapan sarat kewibawaan meneduhkan hati itu pudar. Tersisa lengkungan manis di bibirnya yang tak merah. Juga tak hitam bekas tembakau. Relik nyata keindahan tutur yang pernah menghiasinya. 
Sekujur tubuh Lasat gemetar. Bukan lagi kelilipan yang menusuk matanya, melainkan panas. Perih sekali matanya terasa. Hingga waduk di matanya jebol. Menciptakan sungai yang mengalir di kedua pipinya kemudian. Carut menikam Lasat. 
“Gelombang air yang besar” sebentar lagi akan tiba. Mirip bencana air bah yang dahulu mendesak Nabi Nuh As. membangun bahtera. Mungkin, yang ini akan jauh lebih melantak otak. Memanipulasi hati. Di antara racauan semu dan gema tahlil, telinga Lasat menyambut bisikan lain. Seperti suara rayuan lembut yang menelisik. Situasi ini seakan menegaskan pilihan yang sebaiknya Lasat ambil. 
Entah mengapa, rasanya bilik berdawai itu terasa menggoda sekarang. 
Selesai di Malang, 6 April 2020 
Profile Penulis: 
Gunung Mahendra, mantan ketua umum Forum Lingkar Pena (FLP) Malang, guru bahasa Jerman dan bahasa Inggris. Alumnus Universitas Negeri Malang jurusan pendidikan Bahasa Jerman. Antologi cerpen perdananya berjudul Merayu Langit (2017).

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version