Penulis: Ninda Rizqi Fortuna*
Siapapun kita, sejatinya sebagai warga negara pasti mampu untuk berperan dalam membentuk serta mengembangkan kualitas bangsa dan negara. Sekecil membuang bungkus permen ke tempat sampah, kesadaran mematikan lampu saat tidak dipergunakan, atau hal-hal kecil lain yang seyogyanya anak kecil pun mampu melakukannya. Namun sayang, sebagian besar orang hanya fokus pada hal-hal besar. Padahal, semua hal besar bermula dari satu langkah kecil. Literasi, misalnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), literasi diartikan sebagai kemampuan menulis dan membaca; kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan kecakapan hidup. Secara sederhana literasi dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan membaca dan menulis. Menurut KBBI, membaca adalah (1) melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis, bisa dengan melisankan atau hanya dalam hati, (2) mengeja atau melafalkan apa yang tertulis, (3) mengucapkan sesuatu yang tertulis, (4) memperhitungkan/memahami isi sebuah tulisan/simbol/gambar, dll.
Kualitas suatu bangsa dapat ditentukan oleh karakter dan pengetahuan. Karakter diperoleh dari pemahaman dan nilai-nilai yang diyakini seseorang. Sedangkan pengetahuan diperoleh melalui penginderaan atau informasi berdasarkan pengalaman dan pengamatan. Pengetahuan memiliki peran besar dalam kemajuan suatu bangsa. Salah satu motivasi kuat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan adalah melalui membaca.
Membaca merupakan hal kecil jika dilihat dari sisi kegiatan, mudah. Membaca bisa dilakukan dengan duduk, berdiri, bahkan sambil berbaring. Membaca juga bisa dilakukan dimana saja, di dalam kamar, kendaraan, tempat ibadah, halte, bahkan toilet. Namun tidak semua orang mampu melakukannya. Membaca lingkungan, membaca keadaan, membaca peluang, dan terutama membaca ‘buku’.
Seiring kemajuan teknologi, bentuk buku saat ini ada dalam berbagai macam. Ironisnya, luasnya akses pengetahuan atau bahan bacaan yang ada belum mampu membuat banyak orang untuk tertarik pada kegiatan literasi sehat. Padahal, kemampuan literasi menjadi pijakan dasar untuk melahirkan manusia yang unggul dalam ranah sosial, politik, ekonomi, pengetahuan dan budaya. Anak-anak kini lebih asik bermain game dan ibu-ibu lebih aktif di dunia media sosial melalui gawai mereka. Berbagai akun gosip dan berita hoaks memiliki banyak pengunjung dan pembaca setiap harinya. Anak-anak pun banyak yang sudah fasih mengumpat saat bermain game. Kehidupan di depan dan di dalam gawai memiliki pengaruh kuat dengan cara orang bersosial dalam kehidupan nyata. Banyak orang yang menulis dan membaca melalui gawai mereka, namun sedikit yang memiliki manfaat bagi dirinya sendiri, terlebih manfaat bagi orang di sekitarnya.
Sebagai penerus bangsa yang peduli pada kemajuan negara, tentu tidak ingin generasi berikutnya lemah literasi sehingga menjadi apatis pada kualitas bangsa. Apalagi jika melihat soal rendahnya minat baca atau sedikitnya jumlah buku yang terbit di Indonesia. Lantas, apa yang bisa dilakukan untuk sedikit memperbaiki keadaan tersebut? Mungkin sebagai presiden, menteri, pejabat, persatuan guru, bisa membuat gebrakan besar untuk memperbaiki keadaan dengan membuat kebijakan cemerlang yang memihak pada perbaikan literasi di Indonesia. Bagaimana jika kita hanya orang biasa yang harus meminjam buku teman jika ingin membaca, atau perlu numpang wifi untuk mengakses bacaan online? Minimal lakukan dua hal. Pertama, tentu saja, cintailah literasi. Segala sesuatu dimulai dari diri sendiri. Luangkan waktu untuk membaca dan menulis setiap hari. Cari bacaan menarik sebanyak-banyaknya. Belajar menulis berbagai macam tulisan. Kedua, pamer. Ya, pamerkan betapa menariknya buku yang Anda baca agar siapapun iri dan ingin mencobanya. Tulis di media sosial, bicarakan dengan teman dan forum keluarga, sampaikan manfaat yang diperoleh setelah membaca buku tersebut. Ceritakan ke keponakan, tetangga, siapapun tentang bagaimana awal mula menyukai buku. Bacalah buku dengan asik dan khusyuk di depan banyak orang! Sering-seringlah pamer positif dengan kontinu dan penuh perjuangan agar meningkatkan semarak semangat berliterasi!
Pamer tentang asiknya membaca tersebut jika dilakukan berulang-ulang akan membentuk efek ilusi kebenaran. Efek ilusi kebenaran adalah fenomena timbulnya kecenderungan untuk mempercayai informasi yang salah sebagai suatu kebenaran, setelah adanya repetisi (wikipedia). Barangkali, orang-orang di sekitar kita berpikir bahwa membaca merupakan sesuatu yang menjenuhkan dan melelahkan. Namun, dengan repetisi yang kita sampaikan bahwa membaca buku itu asik, bahwa buku itu menarik serta penuh manfaat akan menimbulkan pemahaman dan keyakinan baru. Para peneliti menyatakan fenomena efek ilusi kebenaran timbul karena perasaan familier. Pada saat mendengar informasi berulang-ulang, secara otomatis informasi itu familier dengan kita. Dan otak manusia menerjemahkan perasaan familier ini sebagai kebenaran, karena otak cenderung lebih mudah memproses sesuatu yang sudah dikenali sebelumnya.
Mari membaca dan menulis hal bermanfaat sebanyak-banyaknya. Lalu ceritakan pada dunia. Pamerkan! Semoga orang di sekitar kita berubah pikiran dan beralih menyukai literasi, yang sudah suka pun semakin menyukainya. Meski dimulai dari hal kecil, dimulai dari diri sendiri, semoga akan ada momen bagi kita untuk mendatangkan perubahan besar. Setiap kita pasti bisa memiliki hal baik untuk dilakukan setiap hari. Maka, temukan peranmu dalam membangun bangsa. Jangan pernah ciut untuk melakukan sebuah kebaikan kecil untuk kemudan membesar suatu saat nanti. Salam literasi!
Yuk, Pamerkan Asiknya Berliterasi!
Siapapun kita, sejatinya sebagai warga negara pasti mampu untuk berperan dalam membentuk serta mengembangkan kualitas bangsa dan negara. Sekecil membuang bungkus permen ke tempat sampah, kesadaran mematikan lampu saat tidak dipergunakan, atau hal-hal kecil lain yang seyogyanya anak kecil pun mampu melakukannya. Namun sayang, sebagian besar orang hanya fokus pada hal-hal besar. Padahal, semua hal besar bermula dari satu langkah kecil. Literasi, misalnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), literasi diartikan sebagai kemampuan menulis dan membaca; kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan kecakapan hidup. Secara sederhana literasi dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan membaca dan menulis. Menurut KBBI, membaca adalah (1) melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis, bisa dengan melisankan atau hanya dalam hati, (2) mengeja atau melafalkan apa yang tertulis, (3) mengucapkan sesuatu yang tertulis, (4) memperhitungkan/memahami isi sebuah tulisan/simbol/gambar, dll.
Kualitas suatu bangsa dapat ditentukan oleh karakter dan pengetahuan. Karakter diperoleh dari pemahaman dan nilai-nilai yang diyakini seseorang. Sedangkan pengetahuan diperoleh melalui penginderaan atau informasi berdasarkan pengalaman dan pengamatan. Pengetahuan memiliki peran besar dalam kemajuan suatu bangsa. Salah satu motivasi kuat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan adalah melalui membaca.
Membaca merupakan hal kecil jika dilihat dari sisi kegiatan, mudah. Membaca bisa dilakukan dengan duduk, berdiri, bahkan sambil berbaring. Membaca juga bisa dilakukan dimana saja, di dalam kamar, kendaraan, tempat ibadah, halte, bahkan toilet. Namun tidak semua orang mampu melakukannya. Membaca lingkungan, membaca keadaan, membaca peluang, dan terutama membaca ‘buku’.
Seiring kemajuan teknologi, bentuk buku saat ini ada dalam berbagai macam. Ironisnya, luasnya akses pengetahuan atau bahan bacaan yang ada belum mampu membuat banyak orang untuk tertarik pada kegiatan literasi sehat. Padahal, kemampuan literasi menjadi pijakan dasar untuk melahirkan manusia yang unggul dalam ranah sosial, politik, ekonomi, pengetahuan dan budaya. Anak-anak kini lebih asik bermain game dan ibu-ibu lebih aktif di dunia media sosial melalui gawai mereka. Berbagai akun gosip dan berita hoaks memiliki banyak pengunjung dan pembaca setiap harinya. Anak-anak pun banyak yang sudah fasih mengumpat saat bermain game. Kehidupan di depan dan di dalam gawai memiliki pengaruh kuat dengan cara orang bersosial dalam kehidupan nyata. Banyak orang yang menulis dan membaca melalui gawai mereka, namun sedikit yang memiliki manfaat bagi dirinya sendiri, terlebih manfaat bagi orang di sekitarnya.
Sebagai penerus bangsa yang peduli pada kemajuan negara, tentu tidak ingin generasi berikutnya lemah literasi sehingga menjadi apatis pada kualitas bangsa. Apalagi jika melihat soal rendahnya minat baca atau sedikitnya jumlah buku yang terbit di Indonesia. Lantas, apa yang bisa dilakukan untuk sedikit memperbaiki keadaan tersebut? Mungkin sebagai presiden, menteri, pejabat, persatuan guru, bisa membuat gebrakan besar untuk memperbaiki keadaan dengan membuat kebijakan cemerlang yang memihak pada perbaikan literasi di Indonesia. Bagaimana jika kita hanya orang biasa yang harus meminjam buku teman jika ingin membaca, atau perlu numpang wifi untuk mengakses bacaan online? Minimal lakukan dua hal. Pertama, tentu saja, cintailah literasi. Segala sesuatu dimulai dari diri sendiri. Luangkan waktu untuk membaca dan menulis setiap hari. Cari bacaan menarik sebanyak-banyaknya. Belajar menulis berbagai macam tulisan. Kedua, pamer. Ya, pamerkan betapa menariknya buku yang Anda baca agar siapapun iri dan ingin mencobanya. Tulis di media sosial, bicarakan dengan teman dan forum keluarga, sampaikan manfaat yang diperoleh setelah membaca buku tersebut. Ceritakan ke keponakan, tetangga, siapapun tentang bagaimana awal mula menyukai buku. Bacalah buku dengan asik dan khusyuk di depan banyak orang! Sering-seringlah pamer positif dengan kontinu dan penuh perjuangan agar meningkatkan semarak semangat berliterasi!
Pamer tentang asiknya membaca tersebut jika dilakukan berulang-ulang akan membentuk efek ilusi kebenaran. Efek ilusi kebenaran adalah fenomena timbulnya kecenderungan untuk mempercayai informasi yang salah sebagai suatu kebenaran, setelah adanya repetisi (wikipedia). Barangkali, orang-orang di sekitar kita berpikir bahwa membaca merupakan sesuatu yang menjenuhkan dan melelahkan. Namun, dengan repetisi yang kita sampaikan bahwa membaca buku itu asik, bahwa buku itu menarik serta penuh manfaat akan menimbulkan pemahaman dan keyakinan baru. Para peneliti menyatakan fenomena efek ilusi kebenaran timbul karena perasaan familier. Pada saat mendengar informasi berulang-ulang, secara otomatis informasi itu familier dengan kita. Dan otak manusia menerjemahkan perasaan familier ini sebagai kebenaran, karena otak cenderung lebih mudah memproses sesuatu yang sudah dikenali sebelumnya.
Mari membaca dan menulis hal bermanfaat sebanyak-banyaknya. Lalu ceritakan pada dunia. Pamerkan! Semoga orang di sekitar kita berubah pikiran dan beralih menyukai literasi, yang sudah suka pun semakin menyukainya. Meski dimulai dari hal kecil, dimulai dari diri sendiri, semoga akan ada momen bagi kita untuk mendatangkan perubahan besar. Setiap kita pasti bisa memiliki hal baik untuk dilakukan setiap hari. Maka, temukan peranmu dalam membangun bangsa. Jangan pernah ciut untuk melakukan sebuah kebaikan kecil untuk kemudan membesar suatu saat nanti. Salam literasi!
*Penulis berasal dari FLP Malang. Tulisan ini termasuk dalam tulisan terpilih dalam Lomba Bulan Bahasa FLP Jatim 2022.