Ayah berusia 88 tahun. Badannya masih sehat wal afiat. Ingatannya pun tajam dan kuat. Cintanya pada istri anak menantu dan cucu tak perlu ditanyakan lagi. Setiap pagi beliau sempatkan berkeliling komplek sambil sesekali melepas alas kaki di taman. Jika akhir pekan maka Nadim yang setia menemani eyangnya. Tentu dengan iming-iming hadiah mainan siang harinya.
Menjadi anak pertama tentu bukan keinginanku sendiri. Campur tangan Tuhan tak bisa kuelak sebagai takdir. Namun di usia matang begini aku begitu menikmatinya. Terlebih karena rumahku menjadi pilihan ayah dan ibu di masa senjanya. Ketimbang tinggal berdua saja di kampung. Meski sesekali ada saja gesekan kecil terjadi, namun aku masih memegang teguh nasihat bahwa orang tua adalah jimat.
Sebagai seorang pensiunan dosen, ayah adalah orang yang sangat setia kepada ilmu. Tiada hari beliau lewatkan tanpa membaca buku. Hal ini menjadi warisan yang amat kusyukuri. Terutama pada kebiasaan sehari-hari kedua anakku. Dari ayah aku belajar bahwa memerintah tidak akan berhasil jika hanya muluk-muluk menghabiskan busa. Dari ayah juga kusadari bahwa tidak ada ruginya membaca. Apapun kapanpun dan di manapun, ilmu selalu membawa manfaat pada diri kita.
Setelah berkeliling komplek sekitar setengah jam, ayah akan duduk di teras sambil ditemani secangkir teh panas. Koran membentang dari tangan kanan ke tangan kirinya dan kacamata bertengger di hidungnya. Jika sudah dalam posisi seperti ini, Ibu akan segera menyusul dan duduk di sampingnya. Bahkan tanpa mereka berkata satu patah pun, aku sudah menyimak cinta mereka begitu dalam.
Dalam situasi tersebut, aku hanya mampu tersenyum dari dalam rumah memandangi mereka. Ibu adalah seorang wanita dengan kekuatan cinta yang begitu melimpah. Sejak aku belia tak pernah kutemui ibu tak bersama ayah dalam waktu lama. Ke manapun ayah pergi, di situ ibu selalu mendampingi. Ke manapun ibu keluar, ayah tak pernah absen mengantar. Ibu cerminan penafsiran cinta yang sesungguhnya. Dari ibu, ayah menemukan kekuatan hidupnya. Dalam hati kecilku aku berdoa, berharap mereka senantiasa diberi kesehatan dan panjang umur.
***
Pagi itu menjadi pagi paling mencekam sepanjang hidupku. Aku yang sudah berkeluarga dilengkapi dua anak ini belum pernah panik segawat ini. Clara dan Nadim lahir dengan lancar dan tenang tidak jauh dari perkiraan dokter kandungan. Papa dan mama mas Andi juga masih sehat segar bugar mendampingi kami. Tak kuduga aku menjadi satu-satunya orang yang ada di dalam rumah saat itu.
“Buuu… Indiii…” samar-samar suara ayah terdengar dari dalam rumah. Saat itu aku sedang di halaman mengecek tanaman-tanaman herbal hasil tangan ibu yang begitu telaten. Ibu yang penuh cinta, tak hanya kepada kami kesayangan dan darah dagingnya, bahkan pada tanaman dan hewan peliharaan pun, ibu menyalurkan kasih sayangnya. Ibu yang begitu teliti, disiplin dan menjunjung tinggi kebersihan. Ibu akan benar-benar tegas kepada kami tentang kesehatan. Setiap pagi ibu akan disibukkan oleh aktivitas memenuhi gizi kami seisi rumah. Segera aku berlari masuk rumah,
“Ayaaah…” Kuhampiri ayah tersungkur di kamar mandi. Kepala dan tubuhnya tertekuk meringkuk. Aku sangat panik. Segera kuangkat badan ayah dan memapahnya menuju kasur di kamar beliau. Baru terlihat dengan jelas kepala ayah memar dan bibirnya memutih pucat. Penglihatannya mulai meredup. Kugoyangkan badannya dengan histeris. Ibu baru saja datang dan tertegun di ambang pintu kamar beliau, tas dalam genggamannya terlepas. Segera ibu menghambur ke tubuh ayah, tanpa sepatah katapun keluar dari mulutnya.
“Ayah, ayah, sadar ayah… sebentar ya yah, Indi panggilkan dokter yah,” Upayaku tak membuahkan hasil. Ayah sudah tak sadarkan diri. Aku segera menelepon mas Andi dan ambulan. Ibu masih lemas di samping badan ayah. Kusodorkan segelas air putih untuk diminumnya. Ibu menggeleng, tak percaya dengan apa yang terjadi. Kami pun segera melarikan ayah ke rumah sakit setibanya ambulan di rumah.
***
Hari itu terasa sangat cepat. Seperti kilat kemudian kosong. Hampa. Semuanya terjadi sangat tak terduga dan tak masuk logika. Subuh pagi harinya kami masih salat berjamaah. Beliau yang mengimami dengan suara nyaring dan berwibawa. Tak lupa seusai salam beliau tambahkan beberapa kalimat wejangan untuk kami. Semuanya masih jelas terekam di kepala.
Pagi tadi juga, kulihat ibu masih menemani ayah membersihkan kamar. Berbincang santai di ruang keluarga sambil menyimak kami anak cucunya beraktivitas pagi. Semalam sebelum beranjak ke kamar, ibu juga dengan penuh cinta dan hormat membuatkan secangkir kopi dan duduk di samping ayah sambil saling bercerita tentang masa-masa muda mereka. Kemarin ibu masih dengan semangat menyulam syal diam-diam. Sedianya akan dipersembahkan ke ayah nanti di ulang tahun ke-86.
Namun sore ini kami sibuk memanggil tukang terop untuk mendirikannya di garasi dan halaman rumah. Jenazah ayah baru saja tiba di ruang tamu bertutupkan kain jarik milik ibu. Saat kucari kain itu di lemari beliau, tertangkap di mataku setumpuk kain putih di pangkuan ibu yang duduk lemas di tepi ranjang. Ibu masih belum mengucapkan satu kalimat pun semenjak pagi. Tetapi gerak tubuhnya masih sadar sesuai logika sehatnya.
Karena hari sudah petang, sembari menunggu adik-adikku datang dari Jakarta dan Palembang, kami memutuskan untuk memakamkan ayah esok harinya. Malam itu kami larut dalam diam. Saling memeluk dan menangis. Saling meratap sekaligus menguatkan. Ratri, adikku dari Sidoarjo begitu terpukul. Karena baru saja ia dan suaminya berencana akan mengunjungi ayah siang ini. Namun ternyata rencana Allah jauh lebih berkuasa di atas segalanya. Aku menemani ibu istirahat di dalam kamar. Sebisa mungkin kuajak ibu berbincang agar pikirannya tidak kosong. Namun hasilnya nihil. Ibu hanya menyahuti pendek-pendek saja. Menjelang jam dua dini hari akhirnya ibu terlelap meski tak sampai satu jam kemudian sudah kembali terbangun.
***
Seusai memakamkan ayah, kami kembali ke rumah untuk menerima tamu yang tak henti datang. Begitu deras mengalir ungkapan bela sungkawa kepada kami. Aku harus segera mengamankan ibu. Saat ini yang harus aku prioritaskan adalah ibu. Segala hal dalam pikiranku tentang ibu. Bagaimanapun aku harus selalu ada dan mendampinginya. Saat kucari ibu di kamar, rupanya ibu sedang melamun di pinggir jendela. Memang beliau tak kuizinkan ikut ke makam.
“Ndi, ayah ke mana…” pandangan matanya kosong. Aku meremas tanganku sendiri, berusaha mencari kekuatan.
“Ibu, ayah sudah pergi, ayah sudah tenang, ibu sekarang makan ya, dari semalam ibu belum makan loh,” aku begitu mengkhawatirkan keadaannya.
“Ibu sudah makan kok tadi Ndi, sama ayah.” mataku berkaca-kaca. Kugigit bibir bawah menahan isak. Bingung mencari topik apalagi yang bisa kualihkan.
“Ya sudah, sekarang ibu istirahat ya, yuk bu, Indi temenin,” aku beranjak merapikan kasurnya.
“Nanti aja ibu nunggu ayah,” kemudian pandangannya kembali menatap ke luar jendela. Aku mengambil napas dalam-dalam. Lalu memutuskan keluar mencari anak-anak.
***
Satu minggu berlalu. Kondisi ibu masih belum begitu stabil. Adik-adik sudah kembali ke domisili masing-masing. Anak-anak sudah mulai kembali pada aktivitas normal. Mas Andi juga tak bisa lama-lama mengambil cuti. Dan aku masih di rumah, menjalani hari, waktu demi waktu, mengimbangi psikis ibu yang naik dan turun.
Pagi hari ibu akan tampil sangat tegar, apa adanya seperti tak terjadi apa-apa. Namun menjelang petang, semua menjelma remang. Ibu akan mudah panik dan emosinya tak stabil. Mirisnya setiap kali menjelang terlelap, ibu selalu menanyakan ayah, bersikap dan beraktivitas seperti halnya ayah masih ada. Ini membuatku miris namun tak berdaya, tak tahu harus berbuat apa.
“Kita tidak bisa membiarkan Ibu begini terus sayang, kita coba tanyakan ke dokter ya?” ajak Mas Andi sangat berhati-hati, menjaga perasaanku.
“Iya mas, tapi gimana ngomongnya ke Ibu?”
“Bilang aja kita mau general check up, gimana?” Mas Andi menawarkan ide yang cukup aman untuk mengantar ibu ke dokter. Syukur-syukur bisa bertemu berkonsultasi dengan psikiater, harapku.
***
Malam itu kami mengadakan tahlil untuk 40 hari kepergian ayah. Ibu duduk bersama para tamu putri bersanding cucu-cucu kesayangannya. Dari dapur tak mampu kulepaskan pandanganku dari beliau. Semenjak periksa dari psikiater, aku benar-benar tak bisa jauh dari ibu. Ibu membutuhkanku. Ibu harus merasa tenang dan bahagia. Apapun yang ibu ingat saat ini, yang pasti ibu harus selalu merasa aman.
Ibu terlihat tersenyum kepada para tamu. Namun tatapan matanya kosong. Malam itu ibu tak terlalu banyak berbicara. Tisu yang ibu genggam sudah lusuh tak berbentuk. Selepas semua tamu habis, ia masih duduk di tempat semula. Aku segera menghampirinya.
“Ibu, ayuk kita istirahat,”
“Indi, kenapa ya ayah ndak pulang-pulang?” aku tak terkejut dengan pertanyaan ini. Setiap hari waktuku terasa pengap untuk mencari jawaban dengan penjelasan paling halus. Namun kali ini kesabaranku sedang terbatas.
“Ibu, maafin Indi ya, ayah sudah ndak akan pulang bu. Ayah sudah meninggal. Ayah sudah dimakamkan. Ayah sudah tenang. Jadi ibu sekarang juga tenang ya,” jelasku sembari mengatur napas yang beradu. Sepertinya caraku cukup berhasil, setelah beberapa detik kami terbisu dalam diam.
“Indiii, ibu juga tahu, tapi ibu itu ndak bias,Ndi. Ayah itu jiwanya ibu. Kalau ayah ndak ada, ibu gimana…” meleleh sudah genangan air di sudut mataku yang tertahan sedari tadi. Aku tak mampu menjawab apapun. Kujatuhkan kepalaku dalam pangkuannya. Dan tangan ibu membelai rambutku seperti semasa kecilku dulu. Kami terlarut dalam kebisuan panjang. Malam itu aku tidur dalam pelukan ibu. Jam tidur ibu sudah mulai kembali normal. Meski masih sering mengigau beberapa kali.
***
Keesokan harinya, aku dan Mas Andi kembali mengunjungi psikiater. Kali ini ibu sengaja tak kami ajak. Hati kecilku berbisik bahwa ibu saat ini hanya butuh ketenangan. Meski aku masih tak tenang meninggalkan ibu di rumah. Namun demi mengetahui kondisi ibu yang sebenarnya aku harus konsultasi langsung pada pakarnya. Apapun penjelasan yang kudapat, aku harus mampu menerimanya dengan tegar.
“Ibu anda mengalami demensia. Penurunan fungsional yang seringkali disebabkan oleh kelainan yang terjadi pada otak. Perubahan pada pasien dalam cara berpikir dan berinteraksi dengan orang lain. Seringkali, memori jangka pendek, pikiran, kemampuan berbicara dan kemampuan motorik terpengaruh. Penyebabnya yang utama karena usia lanjut, ditambah dengan shock yang begitu kuat.” Perlahan namun sangat jelas, kalimat demi kalimat itu masuk ke dalam otakku. Aku menggeleng-geleng tak percaya. Mas Andi menggenggam erat tanganku.
“Usianya 82 tahun. Biasanya pada pagi sampai sore ia masih cukup kuat dengan ingatannya. Namun beranjak gelap perlahan memori yang terlalu jauh atau cepat akan sedikit bergeser dari bank ingatannya.” Aku tak bergeming. Kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut ibu psikiater seperti hunjaman palu yang datang satu per satu ke rongga dadaku. Aku tak tahu harus menjawab apa.
“Kita sama sekali tidak bisa mendeteksi kapan dia akan ingat dan kapan dia kembali lupa pada apapun yang terjadi pada dirinya, cepat atau lambat sangat mungkin ia akan melupakan segalanya.” kalimat ini terdengar begitu lugas dan sangat kubutuhkan saat ini. Tapi terlalu perih kuterima kenyataan itu terjadi pada ibu. Aku tidak ingin ibu mengalami ini semua. Aku pun menanyakan kembali pada sang psikiater tentang upaya apa yang sekiranya bisa memperlambat proses demensia pada ibu.
***
Setiba di rumah, setengah berlari kuhampiri ibu di kamarnya.
“Ibuuu…”
“Indi, kamu dari mana?”
“Indi dari dokter bu. Indi mau ngomong sama ibu.” aku menggigit bibir bawah, nyaliku menciut.
“Dokter? Kenapa nak? Siapa yang sakit?” ibu masih tetap dengan kasih sayang dan kekhawatirannya. Aku merasa cepat atau lambat aku harus menceritakan perihal ini. Supaya ibu juga mengerti, siapa tahu dengan begitu ibu punya upaya untuk mempertahankan ingatannya. Meski tadi telah diperingatkan psikiater agar tidak menceritakan langsung dengan lugas, aku tak peduli. Aku ingin ibu sembuh seperti sedia kala.
“Ibu, tadi Indi menanyakan kondisi ibu ke dokter, apa ibu benar-benar sehat dan kondisi prima,…” aku menarik napas, sambil memikirkan pilihan kata yang tepat.
“Lo, ibu kan sehat ndi, siapa bilang ibu sakit? Kamu itu, tanya tentang ibu kok ke dokter, mana ibu nggak diajak lagi, harusnya yo tanya ibu dulu to,” ibu mulai tersulut emosinya. Aku mencoba menenangkan.
“Maaf bu, bukannya Indi ndak mau ngajak ibu, tapi ibu sebaiknya banyak istirahat dulu ya, kata dokter sepertinya ibu mulai terdekteksi gejala demensia, kayak pikun gitu lo bu,” kugenggam erat tangannya yang mulai gemetar.
“Ada-ada aja kamu Ndi, ibu ini masih ingat semuanya, ndak bakal lupa ibu sama kamu, sama Andi, sama Nizam, sama semuanya. Ibu masih ingat naaak…” aku tersenyum lega, kucium punggung tangannya dengan khidmat.
“Ibu juga ingat kalau ayah sudah ndak ada. Ibu harus menerima semua ini. Semoga ayah tenang ya di sana. Makanya kita di sini juga harus terus melanjutkan hidup dengan baik-baik.” Suara ibu masih parau namun pandangan matanya jernih dan meyakinkan. Membuatku tenang dan tak khawatir lagi.
***
Keesokan harinya, hingga pukul enam belum terlihat ibu keluar dari kamar. Biasanya ibu dengan rajin sudah terjaga sejak pukul tiga dini hari. Aku pun bergegas menghampirinya. Di dalam kamar, kudapati ibu masih dalam posisi duduk di sajadah yang terhampar dengan satu sajadah lagi di depannya. Sajadah yang biasa dipakai ayah. Seingatku sajadah itu sudah kupindah ke belakang supaya tidak membuat ibu sedih berlarut jika masih kutinggalkan di kamar beliau. Aku mendekat dan duduk di sampingnya,
“Ibu, ada apa bu?”
“Eh, Indi, ini jam berapa to Ndi, ayah ini di kamar mandi lama banget, ini nanti kalo mataharinya keburu keluar gimana? Ayaaah…!”
Mendengar jawaban ibu, aku tersenyum, embun memenuhi kedua mataku dan aku pun memeluknya. []
*Penulis: Ihdina Sabili, FLP Surabaya