Home Esai Digitalisasi: Antara Racun Berbisa dan Peluang Emas dalam Literasi

Digitalisasi: Antara Racun Berbisa dan Peluang Emas dalam Literasi

Ditulis oleh: Siti Rokhmah*

Duta besar baca Indonesia Najwa Shihab 2016-2022 dalam sebuah kesempatan pernah menyampaikan. “Sebuah bangsa besar tanpa tradisi literasi hanya akan menjadi bangsa kelas teri. Perundung, pemaki mudah diprovokasi tanpa keluasan hati dan imajinasi”. Ungkapan yang dilontarkan oleh mantan duta baca Indonesia tersebut perlu direnungkan oleh segenap  elemen bangsa. Baik itu dari jajaran pemerintah mulai kepala negara,   menteri pendidikan, para pendidik (baca: guru) yang menjadi  stakeholder pendidikan,  maupun  setiap individu yang mengaku berdarah tanah air Indonesia.

Budaya literasi harus menjadi perhatian pertama dan utama. Melihat begitu pentingnya budaya yang multi efek positif ini. Selain menambah wawasan dan ilmu pengetahuan orang yang sudah terbiasa dengan budaya literasi daya berpikirnya juga lebih tajam dan kritis. Tentu saja  orang yang sudah terbiasa dengan kegiatan literasi otaknya bekerja lebih oftimal. Sehingga bisa menangkap dan memahami informasi lebih cepat. 

Dilansir dari wikipedia literasi adalah istilah umum yang merujuk kepada seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga literasi tidak bisa terlepas dengan kemampuan berbahasa. Terutama  pada kemampuan berbahasa membaca dan menulis.

Ketika berbicara tentang literasi beraneka ragam jenisnya. Menurut Direktorat Jenderal PAUD Dikdas dan Dikmen Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menyebutkan ada enam literasi dasar yang harus diketahui dan dimiliki oleh setiap orang yaitu literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial dan literasi budaya dan kewargaan.

 Kabar gembira pada  literasi baca-tulis dan literasi numerasi sudah dilirik oleh dunia pendidikan. Pada Asesmen Nasional kompetensi  literasi baca tulis dan numerasi sudah menjadi bahan yang diujikan. Ini sebuah  paradigma baru dalam mengevaluasi pendidikan nasional dan sebuah usaha dari pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan menuju lebih baik lagi.

Pertanyaannya apakah umpan balik dan hasil dari AN memuaskan sesuai dengan yang diharapkan. Terkait hasil evaluasi pelaksanaan Asesmen Nasional pada tahun 2021, Anindito  Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan  Asasmen Pendidikan Kemendikbudristek mengatakan  bahwa hasil AN menggambarkan potret pendidikan di tanah air secara umum masih menyedihkan.

Jika diamati hasil  AN yang masih jauh dari kata memuaskan ada korelasinya dengan budaya literasi yang belum akrab dengan pelajar Indonesia.  Terang saja bagi sebagian pelajar Indonesia buku masih menjadi sesuatu yang asing di kehidupan  keseharian mereka. Apalagi di era digital buku ini bisa dijadikan  sebagai  barang yang sangat langka. Alih-alih membaca buku untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Mereka terlena dengan suguhan di gawai pinternya yang jauh lebih menarik dari pada buku. Padahal buku merupakan gudangnya ilmu. Walaupun sudah diketahui bersama di era digital ini gudangnya ilmu tidak hanya buku. Harus diakui gawai pintar kesayangan itu selain gudang ilmu. Gudang informasi juga. Bahkan bagi sebagian orang memanfaatkan gawai cerdas itu sebagai lahan mencari uang.

Perkembangan teknologi terutama teknologi informasi banyak merubah pola pikir manusia. Dahulu manusia mencari informasi harus membeli koran. Jika tidak membaca koran harus menunggu jam tayang berita di stasiun televisi. Sekarang tinggal mengetik informasi yang diinginkan di layar  gawai pinter di  manapun dan kapanpun. Dahulu jika ingin mengabari seseorang harus via surat menyurat. Lebih maju lagi pakai telegram. Lebih modern lagi pakai telepon genggam. Pada zaman dahulu mengirim pesan juga terbatas. Sangat jauh berbeda dengan era digital   tinggal menghubungi via whatsApp atau aflikasi yang lainnya.  Semuanya  terasa mudah dan cepat-secepat kilat.

Idealnya era digital yang serba canggih ini sebenarnya bisa dimanfaatkan dengan meningkatkan kemampuan literasi. Terutama literasi membaca. Membaca dalam arti sempit erat kaitannya dengan membaca sebuah buku. Seseorang yang mempunyai hobi membaca buku  atau mendedikasikan sebagian waktunya untuk bergelut dengan buku dikenal dengan kutu buku. Bagi seorang kutu buku membeli sebuah buku adalah sebuah kewajiban. Bagi seorang kutu buku membawa sebuah buku kemanapun pergi adalah sebuah keharusan. Bagi seorang kutu buku menikmati membaca setiap kata, frasa, klausa dan kalimat adalah hal yang menyenangkan. Bagi seorang kutu buku melahap lembar demi lembar sampai memahaminya adalah sebuah hal yang sakral. Bagi seorang kutu buku mencintai sebuah buku adalah karunia terindah. Bagi seorang kutu buku membaca saja tidak cukup jika buah pikirnya tidak abadikan dengan konsisten menulis untuk menelurkan sebuah karya buku. Buku yang bisa dibaca oleh berjuta orang sehingga meningkatkan budaya literasi. Tentunya buku yang isinya daging bernilai  gizi yang tinggi sehingga bermanfaat bagi sesama.

Tetapi zaman telah berubah dahulu membaca sebuah buku merupakan kegiatan sangat istimewa. Apalagi bagi bung Hatta membaca sebuah buku harus dengan baju yang rapih dan posisi duduk yang tegak. Bahkan mengenakan sepatu. Sekarang  kegiatan membaca buku  ini mulai luntur digantikan dengan gawai yang lebih memanjakan visual seseorang. Sehingga mereka tenggelam dalam gawai pintarnya itu. Buku menjadi tidak disentuh lagi oleh sebagian para  penimba dan pemburu ilmu.  Buku menjadi barang langka. Nasib sebuah buku menjadi sangat tragis dan mengkhawatirkan. Buku menjadi koleksi yang diselimuti debu-debu. Lebih tragis lagi buku menjadi barang lapuk di rak buku yang hampir ambruk. 

Ini adalah sebuah malapetaka ketika seseorang sudah jauh dari  buku. Nasib sebuah buku menjadi termajinalkan. Bahkan sebuah tragedi dalam sejarah sebuah bangsa. Jika benar negara kita sudah menganaktirikan buku. Padahal buku adalah sumber ilmu yang merupakan warisan tertinggi peninggalan para ilmuwan, cendekiawan dan pecinta ilmu.

Bagaimana supaya yang dikhawatirkan mantan duta baca Indonesia, Najwa Shihab tidak terjadi. Bangsa Indonesia harus memikirkan solusi yang tepat dan jitu agar tidak dikatakan bangsa kelas teri.  

Menurut data Direktorat Jenderal PAUD Dikdas dan Dikmen Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi hasil survei mengebutkan 73.95 penduduk Indonesia memanfaatkan teknologi digital. Itu setara dengan 202 juta orang Indonesia dari total 270 juta penduduk Indonesia. Angka tersebut cukup bombastis. Fenomena ini bisa dijadikan potensi besar dalam pemanfaatan teknologi informasi di Indonesia. Sekarang saatnya mengambil peluang emas  dari potensi besar di era digital.

Mengacu pada hasil survei sebenarnya setiap orang berkesempatan dan berpeluang besar untuk menjadi kutu  buku di era digital. Dahulu jika membawa beberapa buku di dalam tas bisa membuat punggung pegal. Kini beratus-ratus buku bisa dikoleksi dalam smartphone. Dahulu jika membaca berbagai referensi buku harus di tempat meja belajar yang berdekatan dengan rak buku. Kini ketika duduk sambil mengantri membeli es krim saja bisa membaca berbagai buku di gawai pinter sesuai yang diinginkan. Tinggal bermodal kuota.

Peluang emas untuk menjadi kutu buku di era digital ini bukan sesuatu yang mustahil. Saatnya  mengakses perpustakaan digital dan memanfaatkan aplikasi baca buku digital atau ebook. Seperti gramedia digital, kindle, iPusnas, iJakarta, storial, google play books, kobo, aldiko, nook, libby by overdrive, wattpad, dan masih banyak lagi jika ditelusuri di playstore.

Banyak orang  merasakan nilai kebermanfaatan dengan digitalisasi.  Sungguh beruntung orang yang memanfaatkan  teknologi yang serba digital ini. Mencari informasi semakin mudah melalui internet. Biaya yang dikeluarkan relatif  lebih murah. Terlebih lagi efisiensi waktu menjadi yang utama bagi yang mereka hidupnya  sibuk dikejar waktu. Akan tetapi jangan dulu berbangga hati. Karena yang namanya digitalisasi memiliki dua mata sisi pisau. Bagi orang yang bijak bisa memanfaatkan teknologi sungguh manfaatnya bernilai besar. Berbeda dengan orang yang terlena dengan kemudahan dan kecanggihan bisa terperosok dalam menyikapi  digitalisasi.  Maka timbullah berbagai efek negatif.

Berbagai efek negatif ini yang disebut sebagai racun berbisa. Alih-alih membaca buku di gawai pintar. Mayoritas dari pengguna internet hanyut dan terperosok dalam hal yang negatif. Membaca berbagai informasi yang belum tentu benar sumbernya. Mengambil referensi yang tidak tidak shohih keakuratan datanya. Membuka situs yang semestinya tidak dibuka. Scrolling  di berbagai medsos  baik di instagram, twitter, facebook menjadi kebiasaan yang susah dihilangkan. Banyak orang yang diperbudak oleh  gawai pintarnya itu. Padahal kita itu pemilik gawainya kenapa kita yang diperbudaknya.

Satu lagi yang tidak kalah ketinggalan alih-alih di smartphone membaca buku kebanyakan dari mereka menggunkan smartphone untuk bermain games. Jika sesekali untuk mengisi waktu luang sah-sah saja. Tetapi jika sebagian besar waktu dihabiskan untuk game ini yang luar binasa. Memang gamer kelas kakap ini sulit untuk direhabilitas. Sungguh digitalisasi menjadi racun berbisa bagi para generasi milenial pemuda ibu pertiwi.

Setelah dipaparkan peluang emas menjadi kutu buku di era digital dan tantangan yang bisa saja  menjadi racun berbisa. Manusia sebagai insan kamil tentunya harus melakukan sebuah refleksi. Jika bangsa Indonesia tidak mau ketinggalan dalam khazanah keilmuan. Mari bangun  dari tidur lelap yang panjang. Saatnya bangsa  Indonesia  melek akan literasi. Membaca dan menulis harus menjadi budaya yang disenangi dan dan cintai. Sehingga tidak disebut lagi bangsa kelas teri yang mudah diprovokasi.

Penulis adalah anggota FLP Malang.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version