Ditulis oleh: Mustofa*
Ini adalah fenomena yang tidak dapat dipungkiri dan riil terjadi di Indonesia. Jumlah peminat baca buku hanya 0,001% dari penduduk Indonesia. Dengan kata lain, hanya ada sekitar tiga ribu jiwa yang gemar membaca dari dua ratus juta jiwa lebih. Sedangkan dalam satu tahun, geliat penulis untuk menerbitkan buku sangat tinggi. Minimal penulis mampu menerbitkan antologi bersama penulis lainnya.
Berdasarkan data yang dilansir wikipedia, jumlah buku yang terbit di Indonesia adalah 30.000 buku lebih. Tak ayal, apabila perpustakaan nasional kini cukup ketat untuk menerbitkan ISBN terhadap buku-buku yang terbit. Hal ini karena ketidakwajaran antara buku, penulis bebas plagiasi dan kondisi pembaca di Indonesia.
Menurut pantauan penulis di media sosial seperti instagram, bertaburan sayembara pena yang menjanjikan karya dibukukan. Beberapa penerbit indie mengadakan lomba dan 200 finalis berkesempatan menerbitkan antologi. Selain itu, dalam satu bulan- dilansir dari laman info lomba menulis- terdapat setidaknya 11 lomba yang berbeda setiap bulannya.
Sebagian besar masyarakat sepakat, fenomena antologi dan menulis “keroyokan” ini dianggap bangkitnya literasi. Terlebih lagi jumlah pembaca yang terdata secara empiris belum menyeluruh. Masih ada lapisan masyarakat yang tidak terdata, berapa banyak yang berminat membaca.
Tanda kebangkitan literasi di Indonesia bukan serta merta berpacu pada banyaknya buku yang terbit setiap tahunnya. Termasuk kondisi antologi yang membludak. Kondisi ini memprihatinkan bagi pegiat literasi. Di satu sisi penulis ingin meningkatkan minat baca, di sisi lain minimnya minat baca masyarakat terutama terhadap antologi.
Pada dunia pendidikan, sebetulnya Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan menggalakkan program literasi di sekolah-sekolah tujuannya untuk mendongkrak minat baca. Ini adalah upaya awal bangkitnya literasi di Indonesia. Dengan strategi tertentu, pembiasan literasi di dunia pendidikan mulai terlihat hasilnya. Sehingga tidak khawatir lagi, akan kondisi generasi kini dan mendatang perihal melek literasi. Lantas kenapa belum ada data penunjang, agar persentase minat baca di Indonesia yang ditetapkan UNESCO berubah?
Pada realitanya, strategi pemerintah memang berjalan tetapi belum berdampak secara optimal. Sebagai perbandingan, minat baca buku (termasuk antologi) dengan kondisi pembaca buku Braille menjadi cukup bukti, bahwa literasi Indonesia memang belum sepenuhnya bangkit. Pasalnya bacaan Braille hingga tahun ini masih terus diterbitkan oleh Sentra Abiyoso (sebelumnya BLBI). Sedangkan menurut penelusuran kualitatif, bacaan Braille sudah mulai ditinggalkan.
Seorang tunanetra peminat bacaan Braille, EW (44) anggota ITMI (Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia), mengaku minat baca teman-teman tunanetra cukup memprihatinkan. Teman-teman tunanetra lebih banyak terbantukan aplikasi pembaca layar di gawainya. Dengan demikian wajar apabila banyak kubu yang mendukung untuk meninggalkan huruf raba dan beralih ke dunia digital. Sedangkan ada kubu lain yang menggalakkan literasi huruf raba seperti Ibu EW termasuk Pak Didik Tarsidi, salah satu tokoh literasi di ITMI.
Masih menurut Ibu EW, namanya membaca haruslah huruf raba bukan sekadar mendengarkan. Hal ini akan berdampak pada kemampuan literasi. Terutama dalam hal mengeja dan mengenal huruf. Banyak teman-teman tunanetra yang keliru menulis kata atau kalimat, sesuai kaidah Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Ibu EW sebagai guru di sekolah luar biasa (SLB)- SDLBN Badean Bondowoso-, berusaha menekankan pelajaran menulis dan mengeja huruf raba kepada murid-muridnya. Agar generasi tunanetra berikutnya kian melek literasi.
Meskipun sudah ada peraturan penerapan literasi (dengan baca buku sekian lembar per hari) di sekolah-sekolah pada umumnya, hal ini belum efektif. Apabila gurunya juga kurang minat dalam membaca, literasi sekadar rutinitas belaka. Menurut EW, ketika guru-guru di sekolah umum dan SLB memberi teladan pentingnya membaca, program literasi akan jauh lebih efektif.
Hasil program literasi baik guru dan murid, tidak harus berupa antologi. Seperti yang diketahui, antologi jarang ada peminat untuk membacanya. Namun, apabila antologi tersebut dijadikan referensi dan diolah untuk kajian lebih jauh maka hasilnya akan berbeda lagi. Proses mengkaji referensi antologi tersebut mengurai persepsi tentang buku non ISBN atau ber-ISBN. Pembaca dapat membandingkan apakah non ISBN lebih bermutu atau yang ber-ISBN memang jauh lebih unggul.
Pada dasarnya baik orang yang awas maupun disabilitas, secara kualitatif mengalami penurunan literasi dalam hal minat baca. Perlu beberapa upaya yang telah disebutkan sebelumnya, untuk menuju masyarakat lebih melek literasi. Masyarakat generasi kini dan mendatang yang lebih mampu menyusun kata secara lisan dan tulisan sesuai kaidahnya. Generasi yang tidak sekadar minat menulis dan membuat antologi. Tetapi ada minat dalam hal membaca terlebih mengkaji. Supaya selaras dengan membludaknya antologi dan kian tersedianya bacaan Braille. Bahkan diharapkan level minat baca generasi mendatang, baik yang awas maupun disabilitas, ada pada taraf keranjingan membaca.
*Penulis adalah anggota FLP Jember. Esai ini merupakan esai yang menjadi juara 3 dalam lomba menulis esai Bulan Bahasa 2022 yang diadakan FLP Jawa Timur.