Ditulis oleh: Riski Diannita*
“Berilah aku semiliun orang tua, maka aku akan sanggup memindahkan gunung Merapi dari tempatnya; dan berilah aku sepuluh pemuda yang bersemangat besar, niscaya aku akan sanggup menggemparkan dunia.” (Ir. Soekarno)
Setiap tanggal 28 Oktober saatnya peringatan Hari Sumpah Pemuda bagi bangsa Indonesia. Bulan Oktober juga disebut Bulan Bahasa dan Sastra. Merujuk KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), Bulan Bahasa dan Sastra artinya kegiatan kebahasaan dan kesastraan Indonesia yang secara rutin dilaksanakan setiap bulan Oktober sebagai bulan lahirnya Sumpah Pemuda oleh Pusat Bahasa dan lembaga pendidikan yang memiliki jurusan bahasa Indonesia serta instansi yang relevan dengan pembinaan dan pengembangan bahasa. Pemuda dan bahasa menjadi dua hal yang tidak dapat terpisahkan.
Namun, peringatan sumpah pemuda bukan hanya milik instansi yang berhubungan dengan bahasa. Seluruh pemuda Indonesia dengan latar belakang di bidang apa pun dapat berkontribusi dalam memajukan bangsa. Kunci yang menentukan kemajuan suatu negara adalah tingkat literasi. Secara etimologis, literasi berasal dari bahasa Latin literatus yang berarti orang yang belajar. Arti ini erat kaitannya dengan membaca dan menulis. Literasi juga tidak dapat dipisahkan dari kemampuan berbahasa.
Kemendikbud (2016) mendefinisikan literasi adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan berbicara. Para pemuda menjadi ujung tombak kebangkitan literasi. Hal ini karena pemuda berada di rentang usia yang aktif belajar dan berkarya. Senada dengan kutipan dari Ir. Soekarno bahwa pemuda menjadi agen perubahan. Tingkat literasi Indonesia yang masih rendah dapat ditingkatkan dengan aksi nyata para pemuda.
Lalu, siapakah yang dimaksud pemuda? Dalam teori generasi (Generation Theory) yang dikemukakan oleh Graeme Codrington dan Sue Grant-Marshall (2004), lima generasi manusia berdasarkan tahun kelahirannya, yaitu: (1) Generasi Baby Boomer, lahir 1946—1964; (2) Generasi X, lahir 1965—1979; (3) Generasi Y atau milenial, lahir 1980—1995; (4) Generasi Z, lahir 1996—2009; dan (5) Generasi Alpha, dimulai dari tahun 2010—2025.
Berdasarkan klasifikasi tersebut, dapat diketahui rentang usia orang tua, muda, dan anak-anak. Yang termasuk generasi tua adalah Generasi Baby Boomer dan Generasi X. Yang termasuk pemuda adalah Generasi Milenial dan Generasi Z. Sedangkan Generasi Alpha masih anak-anak, balita, hingga baru lahir. Dengan patokan tahun 2022 saat ini, Generasi Milenial berada di antara usia 27—42 tahun dan Generasi Z berusia 13—26 tahun.
Kemudian, dari dua generasi pemuda itu dapat difokuskan kepada salah satunya. Manakah di antara Generasi Y atau Z yang kemungkinan lebih besar membangkitkan literasi? Dilihat dari usia, Generasi Y sudah lebih matang daripada Generasi Z. Karena tahap masa remaja sampai dewasa awal, Gen Z masih labil, berkutat dengan pencarian jati diri, galau menentukan cita-cita, sedang mencari bidang pekerjaan yang hendak ditekuni, dan baru saja memulai kehidupan dalam pernikahan atau membangun keluarga baru.
Generasi Y atau Milenial sudah berada di tahap kehidupan yang lebih mapan. Mayoritas Milenial sudah menikah, mempunyai keluarga kecil, dan profesi yang ditekuni selama beberapa tahun. Dengan urusan kehidupan pribadi yang cukup stabil, Milenial cenderung memiliki kesempatan untuk berkontribusi lebih banyak kepada masyarakat. Salah satunya dalam membangkitkan literasi.
Dilihat dari segi kemampuan literasi, pengalaman Milenial lebih bervariasi dibandingkan Gen Z. Masa kecil Milenial pada era 1990-an akrab dengan buku-buku cetak, majalah, surat kabar, tabloid, dan berbagai media cetak lainnya. Setelah cukup umur, barulah Milenial merasakan pertama kalinya internet dan media sosial berkembang melalui teknologi gawai. Berbeda dengan Gen Z yang sejak anak-anak pada era 2000-an sudah merasakan kehadiran teknologi internet sehingga lebih jarang berinteraksi dengan buku dan media cetak.
Berdasarkan pengalaman yang lebih kaya itu, Milenial punya kecerdasan untuk membagi waktu antara membaca buku dan menjelajahi internet. Milenial tidak selalu tergantung kepada gawai sebab telah terbiasa membaca tulisan cetak. Akibat perkembangan zaman yang tidak dapat dihindari, Gen Z lebih dimudahkan dan dimanjakan teknologi sehingga kurang akrab dengan buku cetak. Inilah yang menyebabkan tingkat literasi menurun di kalangan generasi muda.
Saat ini memang telah digencarkan adanya literasi digital. Setiap orang bisa membaca buku, berita, dan segala macam informasi cukup melalui gawai. Demikian juga dengan menulis, cukup melalui website, platform, bahkan media sosial bisa menghasilkan tulisan. Mayoritas Gen Z terbiasa serbainstan menganggap tidak perlu lagi adanya buku dan media cetak sebab semua sudah tersedia di gawai. Namun, Milenial tetaplah membutuhkan versi tulisan cetak yang lebih afdal dalam berkegiatan literasi.
Milenial mengutamakan keseimbangan antara penggunaan literasi digital dan media cetak. Berdasarkan pengalaman literasi masa lalu, Milenial tetap menginginkan buku cetak dalam aktivitas literasi. Apalagi bagi keturunan dari Milenial, yaitu Generasi Alpha pun perlu dikenalkan dengan buku sejak dini. Mustahil bayi, balita, dan anak-anak menggunakan gawai yang berdampak negatif terhadap tumbuh kembangnya. Literasi usia dini tetap memerlukan buku cetak dan Milenial lebih menyadari kondisi tersebut.
Karakteristik Generasi Milenial yang adaptif dan penuh rasa penasaran juga menjadikan golongan pemuda ini bisa beralih media secara cepat. Membaca dan menulis lewat gawai ataupun buku bisa saja digunakan secara bergantian. Bahkan Milenial mampu melakukan beberapa jenis pekerjaan dalam waktu bersamaan atau multitasking. Dengan keunggulan inilah, kebangkitan literasi berada di pundak Generasi Milenial.
Apa saja aksi konkret yang dapat dilakukan Milenial sebagai generasi pembangkit literasi? Pertama, Milenial dapat turut aktif berkegiatan di organisasi dan komunitas literasi. Dengan membentuk kelompok yang terdiri dari beberapa orang anggota, kegiatan literasi bisa lebih menggeliat. Biasanya di sebuah komunitas diadakan aktivitas menulis dan kelas kepenulisan yang tujuannya menghasilkan karya, baik itu secara digital maupun terbit menjadi buku cetak.
Kedua, Milenial yang berperan sebagai kakak bisa memberi contoh kepada adik-adiknya atau Gen Z di rumah. Penggunaan gawai dibatasi dan diseimbangkan dengan membaca buku. Untuk memperoleh buku bacaan, bisa dari membeli, menyewa, ataupun meminjam di perpustakaan sesuai kemampuan.
Ketiga, bagi Milenial yang sudah menjadi ayah dan ibu muda, penting untuk mengenalkan literasi sejak dini kepada putra-putrinya atau Generasi Alpha. Sediakan buku-buku yang sesuai umur anak mulai bayi dan balita. Semakin awal pengenalan buku kepada anak, diharapkan generasi berikutnya semakin mencintai literasi.
Keempat, Milenial bisa membuka rumah baca, taman baca, atau perpustakaan mini di lingkungan terdekatnya. Lokasi boleh di rumah atau tempat lain yang layak untuk membaca. Ini bisa dimulai dengan meminjamkan koleksi buku pribadi kepada warga sekitar rumah. Bila memungkinkan, boleh membuka donasi untuk menambah koleksi buku. Selain itu, pengelola dapat mengadakan aktivitas seperti membacakan nyaring untuk anak-anak, lomba, dan berbagai kegiatan untuk membangkitkan literasi di masyarakat.
Demikian peran Generasi Milenial untuk kebangkitan literasi. Milenial adalah pemuda harapan bangsa. Di tangan milenial, semoga masa depan Indonesia lebih maju dan berdaya saing dengan negara-negara lain di dunia.
*Penulis adalah anggota FLP Mojokerto. Esai ini merupakan esai yang menjadi juara kedua dalam lomba esai Bulan Bahasa 2022 yang diadakan FLP Jawa Timur.