Home Kolom Ketua Pesan Cinta dari Sidratul Muntaha

Pesan Cinta dari Sidratul Muntaha

pesan cinta dari sidratul muntaha
ilustrasi (unsplash/Todd Quackenbush)

Tahukah engkau duka di atas duka? Baginda Rasulullah pernah merasakannya. Paman sang pembela, yang selama ini pasang badan meski resikonya nyawa, tutup usia. Tak lama kemudian, istri tercinta yang selalu mendampingi dan mengorbankan seluruh hartanya, berpulang ke haribaan-Nya.

Kehilangan orang-orang tercinta adalah duka. Namun, pendustaan yang menjadi-jadi dan penyiksaan bertubi-tubi pasca wafatnya paman dan istri lebih mengiris hati. Hampir tak ada celah untuk berdakwah di Makkah. Rasulullah pun pergi ke Thaif, berharap mereka menerima cahaya hidayah yang beliau bawa. Sungguh yang terjadi kemudian adalah duka di atas duka. Batu-batu dilemparkan hingga darah segar mengucur dari kaki beliau yang mulia.

“Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kekurangan daya upayaku di hadapan manusia. Wahai Tuhan Yang Maha Penyayang, Engkaulah Tuhan orang-orang yang lemah dan Tuhan pelindungku. Kepada siapa hendak Engkau serahkan nasibku? Kepada orang jauh yang berwajah muram kepadaku atau kepada musuh yang akan menguasai diriku? Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli …”

Doa yang syahdu dan mengharu biru itu mengundang Jibril dan malaikat penjaga gunung. Hampir saja Thaif ditimpuk dengan dua gunung kalau saja Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memaafkan mereka.

Para ulama tarikh menyebut masa itu sebagai amul huzni, tahun duka cita. Namun tak lama kemudian, Allah menghadiahkan tasliyah. Pelipur lara. Dia memperjalankan Rasulullah pada suatu malam, dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. Lalu menaikkannya ke sidratul muntaha.

Isra’ mi’raj, namanya. Rasulullah dibawa melihat tanda kekuasaan-Nya. Dari langit, bumi ini terlihat sangat kecil. Maka segala masalah duniawi hanyalah serupa butiran debu. Keindahan langit demi langit demikian mempesona, apalagi sidratul muntaha. “Batas yang tidak dapat dijangkau pengetahuan manusia, jin, bahkan malaikat juga,” kata Said Ramadhan Al-Buthi dalam Fiqih Sirah-nya.

Rasulullah terpesona di sidratul muntaha, juga menyaksikan indahnya surga. Namun, beliau tetap kembali ke bumi untuk menuntaskan misi kenabian; mencerahkan, menunjukkan jalan. Inilah pesan cinta dari sidratul muntaha.

Pesan cinta kedua, adalah titah suci dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Perintah shalat lima waktu. Tak seperti perintah-perintah sebelumnya yang dilewatkan perantaraan Jibril, kewajiban ini langsung Dia titahkan di sidratul muntaha.

Maka, saat-saat shalat adalah saat-saat bermesra dengan-Nya. “Ya Bilal, arihna bish shalah. Wahai Bilal, rehatkan kami dengan shalat,” demikian sabda Nabi saat menyuruh Bilal adzan atau iqamat. Karena penatnya perjuangan terguyur dengan sejuknya hati saat shalat.

Rasulullah juga mensabdakan, “Waju’ilat qurrati ‘aini fish shalah, dan dijadikan penyejuk hatiku ada dalam shalat.” Maka para sahabat, ketika sedang ada masalah, mereka segera mendirikan shalat. Wasta’iinuu bish shabri wash shalah. Dan jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.

Dalam khusyu’nya shalat, mereka menemukan sedalam-dalam kebahagiaan. Sebenar-benar kedamaian. Maka kesakitan pun terkalahkan dengan nikmatnya shalat. Seperti Abbad bin Bisyr yang terkena panah. Anak panah pertama dan kedua yang menancap di punggungnya tak membuatnya memutus shalat. Baru anak panah ketiga, di saat hampir pingsan, ia membangunkan rekannya. Ketika ditanya mengapa tidak membangunkan sejak anak panah pertama, ia menjawab dengan sisa-sisa tenaga, “Lebih baik putus nyawaku daripada aku memutus shalatku. Hanya saja, aku mendapat amanah untuk menjaga kalian. Maka kubangunkan kalian sebelum jatuh korban.”

Nikmatnya khusyu’ dalam shalat juga Ali bin Abu Thalib contohkan. Saat terkena panah, sahabat lain tak tega mencabutnya. Sebab Ali tak mau minum khamr sebagai anastesi, agar tak merasakan sakitnya.

“Aku tak mau setetes khamr pun masuk ke tubuhku.”
“Lalu bagaimana kami mencabut anak panah itu?”
“Cabut saja saat aku sedang shalat.”

Dan benar. Saat Ali khusyu’ dalam shalat, anak panah itu dicabut dan ia seperti tak merasakan apa-apa.  

Bagaimana dengan kita? Sangat sulit rasanya bisa seperti Ali bin Abu Thalib dan Abbad bin Bisyr. Namun, setidaknya kita berusaha. Mendirikan shalat dan berupaya menghadirkan khusyu’ di dalamnya. Inilah pesan cinta dari sidratul muntaha. []

Salam literasi,
Saudaramu yang sangat membutuhkan doa,
Muchlisin B.K.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version