“Gimana, Lif? Apa kamu tolak lagi tawaran pinangan kemarin?” tanyaku pada Alif seusai shalat Jum’at.
“Iya, Mir,” jawabnya tanpa beban.
“Menurutku tawaran kemarin adalah kesempatan emas, Lif. Apa kau sadar, siapa yang kau tolak kemarin? Syifa Rahma, seorang hafidzah jebolan pondok Gontor sang putri Kyai pun engkau tolak. Lantas, wanita yang bagaimana lagi yang engkau cari?” tanyaku gemas pada temanku yang satu ini. Jika kuperhatikan, tidak ada sedikitpun rasa penyesalan dari wajahnya.
“Entahlah, Mir. Dalam istikhorohku, rasanya belum pas di hati. Mungkin, dia lebih pantas mendapatkan seorang lelaki yang lebih baik dariku,” jelasnya sambil membetulkan posisi peci putihnya.
Aku pun hanya bisa geleng-geleng kepala. Entah apa yang ada di pikiran sobatku yang satu ini. Entah sudah berapa kali Alif menolak tawaran pinangan dari beberapa orang wanita. Mereka pun bukan wanita sembarangan dan kapasitas keagamaannya pun patut diperhitungkan. Mulai dari seorang ustadzah, alumnus Al-Azhar Kairo, sampai yang terakhir kemarin sang hafidzah Qur’an sekaligus putri sang kyai ternama. Selama aku berteman dengannya selama ini, yang aku tahu sudah ada empat wanita yang ditolaknya. Mungkin sebelumnya juga sudah ada beberapa wanita yang patah hati karena penolakan Alif.
“Lif, seharusnya kamu bersyukur diberi kesempatan oleh Allah untuk memilih salah seorang wanita terbaik sebagai pendamping hidupmu. Aku saja yang ingin segera menggenapkan setengah dien, justru beberapa kali ditolak ketika mengajukan diri,” kataku pada Alif sambil tersenyum kecut. Alif pun malah tersenyum mendengar celotehku.
“Sabar ya, Mir. Mungkin belum saatnya kita berjodoh dengan seseorang. Sekuat apapun kita berusaha dan berdo’a, namun jika Allah belum mentakdirkan bertemu dengan orang yang dipilihkan untuk kita, itulah jalan yang harus kita hadapi.” Seperti biasa Alif menasihatiku dengan kata-kata yang bijak. Wajahnya yang begitu teduh dan tutur katanya yang halus, membuatku selalu nyaman berteman dengannya selama setahun ini.
Mungkin itulah yang membuat banyak wanita yang terpesona dengannya, Alif Firdaus. Seorang hafidz Qur’an jebolan salah satu pondok pesantren terkenal di Jawa Timur. Wajahnya yang bersih dan tampan dengan postur tubuh yang tegap, mengingatkanku pada sosok Nabi Yusuf yang digilai banyak wanita saat itu. Meski berwajah tampan, Alif tak pernah memanfaatkan kelebihan fisiknya itu untuk menggoda para wanita.
Suaranya yang merdu saat melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran, membuat siapa pun merinding dibuatnya. Dia selalu berusaha menjaga diri dan menundukkan pandangan ketika berhadapan dengan seorang wanita yang bukan muhrimnya. Sampai terkadang sempat terlintas di pikiranku. Mungkin jika aku menjadi seorang perempuan, pasti aku juga sudah terpikat karena pesonanya. Alif terkenal sebagai sosok yang alim diantara para ustadz yang mengajar di Madrasah Ibtidaiyah ini. Sungguh beruntung aku mempunyai teman seperti Alif yang mampu menularkan kebaikan kepada teman-temannya, termasuk diriku.
Kring… kring… kring….
Tak terasa bel masuk telah berbunyi, pertanda jam istirahat telah usai. Aku dan Alif pun akhirnya berpisah karena kami akan mengajar di kelas kami masing-masing.
***
“Hah, Ustadz Alif berpacaran sama Ustadzah Aida? Subhanallah…!” tanyaku pada Ustadz Hari yang memberi kabar mengejutkan padaku.
“Benar, Ustadz. Banyak yang bilang begitu,” jawab Ustadz Hari menggebu-gebu.
“Banyak yang bilang, siapa saja? Saya teman baik Ustadz Alif. Setahu saya, dia tidak mungkin berbuat demikian. Jangan-jangan ini hanya fitnah, Ustadz.” Aku pun berusaha membela Alif tentang kebenaran berita itu. Aku paham benar bagaimana sifat Alif. Sejak isu itu berhembus, aku memang sama sekali belum bertemu dengan Alif karena dia sedang ditugaskan survey kegiatan ke luar kota.
“Anak-anak kelas 6 yang bercerita. Kata mereka, selama ini Ustadz Alif dan Ustadzah Aida memang terlihat akrab. Jika kabar ini benar, Ustadz Alif harus kita ingatkan. Dan kalau perlu harus menjauhi Ustadzah Aida. Bukankah aturan di madrasah ini sudah jelas, jika tidak boleh menikah dengan teman satu kerja? Hal ini juga tidak baik jika nantinya sampai dicontoh oleh anak-anak yang sudah mulai baligh.”
“Jangan hanya percaya pada omongan anak kecil, Ustadz. Mereka belum tentu benar. Selama ini mereka berdua dekat karena sama-sama mengajar Bahasa Arab. Jadi wajar jika mungkin sering bertukar pendapat tentang materi pelajaran yang akan diajarkan.” Aku kembali membela teman dekatku itu.
Meski Ustadz Hari memberikan argumen demikian, di dalam hati aku masih tidak percaya jika Alif berpacaran dengan Ustadzah Aida. Memang sih, Ustadzah Aida sepertinya juga menaruh hati pada si Alif. Cara menatap dan gaya bicara Ustadzah Aida kepada Alif berbeda dengan yang lainnya. Namun selama ini, Alif menganggapnya sebagai teman kerja biasa.
“Iya, Ustadz. Tapi hal ini tidak bisa didiamkan,” lanjut Ustadz Hari.
“Terus menurut Ustadz, kita harus bagaimana?”
“Kita laporkan masalah ini kepada kepala sekolah.”
“Mohon maaf Ustadz, sepertinya tidak baik membuka aib seseorang jika belum bertanya langsung dengan yang bersangkutan. Saya harap, masalah ini jangan menyebar terlebih dahulu.” Aku tidak setuju dengan usul Ustadz Hari yang menurutku tergesa-gesa itu.
“Baik, Ustadz Amir. Namun jika belum ada kejelasan, mungkin saya akan maju ke pihak Kepala Sekolah untuk meluruskan masalah ini. Assalamu’alaikum.” Ustadz Hari langsung meninggalkanku begitu saja.
Entah apa yang sedang terjadi. Setauku, Alif tidak pernah membicarakan Ustadzah Aida padaku. Bukan masalah ketidakpercayaanku pada Ustadz Hari. Namun aku hanya takut jika semua ini hanya fitnah yang akan menjatuhkan harga diri Alif. Diantara para ustadz pengajar di sekolah madrasah ini, memang akulah yang paling dekat dengan Alif. Selain seumuran, kami berdua mulai mengajar di sekolah ini pada tahun yang sama.
Sejak Ustadz Hari memberikan kabar itu, hatiku merasa tidak tenang. Mengajarpun jadi tidak konsentrasi. Kucoba menghubungi Alif melalui ponsel berkali-kali, namun tidak diangkat. Aku hanya khawatir jika Ustadz Hari terlanjur mengadukan hal ini ke pihak kepala sekolah.
Sepulang mengajar aku berjalan gontai menuju tempat parkir sekolah. Pikiranku masih tertuju pada masalah Alif. Secara tak sengaja, Ustadzah Aida melintas di hadapanku. Tak banyak bicara, aku berusaha untuk menyapanya.
“Assalamu’alaikum. Ustadzah Aida, ada waktu sebentar untuk bicara?” sapaku padanya.
“Wa’alaikumsalam. Silahkan, Ustadz. Ada yang bisa dibantu?” jawabnya penasaran. Entah kenapa tiba-tiba hati ini menjadi gugup tak karuan. Lidah seakan kelu ketika akan mengucapkan kalimat padanya. Kulihat wajahnya nan cantik dan bersinar. MasyaAllah… sungguh indah makhluk yang ada di hadapanku ini. Tapi, astaghfirullah… mengapa mata ini susah aku kendalikan? Bukankah tujuan utamaku adalah untuk bertanya masalah Alif? Namun jika hanya bicara berduaan, rasanya tidak baik mengingat kami berdua juga belum menikah. Aku hanya takut timbul fitnah diantara kami. Tapi jika harus melibatkan orang lain, aku takut masalah ini akan tersebar pada orang lain padahal masih belum jelas kebenarannya.
“Begini, Ustadzah. Besok pagi saja saya mau bicara dengan Ustadzah dan Ustadz Alif. Ada hal yang mau kami diskusikan dengan Ustadzah.” Akhirnya kalimat itu yang mampu meluncur dari mulutku. Biar aku tidak hanya mendengar penjelasan dari satu pihak saja.
“Baiklah, Ustadz. InsyaAllah. Assalamu’alaikum,” pamitnya sambil berlalu dari hadapanku.
“Wa’alaikumsalam.” Alhamdulillah, semoga besok permasalahan ini akan segera berakhir.
***
Keesokan harinya….
“Ya Allah, saya tidak menyangka jika Ustadz Hari mengatakan demikian,” ucap Ustadzah Aida kaget pada kami setelah kuceritakan perkataan Ustadz Hari padaku. Aku, Alif, dan Ustadzah Aida berkumpul di perpustakaan sekolah sebelum bel masuk berbunyi. Suasana masih sepi, sehingga tidak ada yang tahu isi pembicaraan kami.
“Saya juga kaget saat mendengar kabar itu kemarin. Saya juga tidak yakin jika Ustadzah Aida dan Ustadz Alif seperti itu,” jelasku pada mereka.
“Alhamdulillah jika masalahnya telah selesai. InsyaAllah nanti saya yang akan bicara dengan Ustadz Hari tentang hal ini,” kata Alif bijaksana. Dari raut wajahnya, tidak ada sedikitpun rasa emosi yang menggelayuti dirinya. Beberapa saat kemudian Ustadzah Aida mengundurkan diri dari hadapan kami.
“Sebenarnya ada masalah apa antara kamu dengan Ustadzah Aida, Lif?” tanyaku penasaran pada Alif. Dia pun tersenyum kecil.
“Tidak ada apa-apa. Mungkin hanya salah paham saja,” jawabnya tenang.
“Maksudnya?”
“Sebenarnya aku tidak ingin cerita hal ini pada siapa-siapa. Sebenarnya beberapa waktu yang lalu, Ustadzah Aida pernah mengajukan dirinya untuk menikah denganku. Sampai-sampai, dia bilang siap jika harus keluar dari sekolah ini.”
“Terus, kamu tolak?”
“Ehm… iya, Mir. Aku merasa belum sreg dengan dia.”
“Sudah kuduga sebelumnya, Lif. Padahal Ustadzah Aida itu orangnya cantik, pintar, kalem, dan keibuan. Lantas, apa Ustadz Hari tau masalahmu dengan Ustadzah Aida hingga dia menyebar berita seperti itu?”
“Aku sendiri juga tak tau. Tapi dulu Ustadz Hari pernah bilang padaku jika dia kagum pada Ustadzah Aida. Namun sikapnya berubah semenjak aku dan Ustadzah Aida dijadikan satu tim pengajar Bahasa Arab. Sudahlah, aku tidak mau su’udzan dengan orang lain. Yang penting sekarang, masalah ini sudah clear. Nanti biar aku yang klarifikasi dengan Ustadz Hari.”
Ternyata aku baru tau jika ada sesuatu diantara Alif dan Ustdzah Aida sebelumnya. Subhanallah… Alif mampu menjaga kehormatan saudarinya dengan menutupi cerita itu. Hanya padaku akhirnya dia mau bercerita tentang semua ini. Mungkin, ada beberapa kisah lainnya yang sengaja tidak diceritakan sang hafidz ini padaku.
Jika aku menangkap dari cerita Alif, sepertinya Ustadz Hari tidak suka melihat kedekatan Alif dan Ustadzah Aida selama ini. Hingga akhirnya dia berusaha menyebarkan kabar burung untuk menjatuhkan reputasi Alif di sekolah ini. Tapi, ah… aku tidak mau su’udzan pada orang lain seperti halnya Alif. Sekali lagi, Alif mengajariku tentang pentingnya menjaga kehormatan saudara seiman yang sudah seharusnya dijaga.
***
Sebulan kemudian….
“Amir, ada sesuatu yang mau aku sampaikan,” kata Alif serius di sela-sela waktu istirahat makan siang.
“Ada apa, Lif?”
“InsyaAllah bulan depan aku akan menikah.” Aku pun langsung tertegun mendengar berita itu. Rasa senang dan penasaran bercampur aduk menjadi satu. Senang karena akhirnya saudaraku yang satu ini telah memilih seorang wanita diantara banyak wanita yang pernah ditolaknya. Dan penasaran, karena siapakah wanita yang akhirnya mampu mencairkan hatinya yang beku.
“Dengan siapa, Lif? Apakah dia seorang hafidzah juga? Lulusan mana, atau anak kyai siapa? Subhanallah… pasti dia seorang wanita yang luar biasa,” tanyaku padanya sangat bersemangat.
“Dia bukan siapa-siapa, Mir,” jawabnya dengan senyum kecil tersungging di bibirnya.
“Terus, siapa?”
“Dia wanita biasa. Bukan seorang ustadzah, atau bahkan hafidzah. Bahkan dia belum berjilbab.”
“Lif, jangan bercanda.”
“Benar, Mir. Aku tidak berbohong. Dia adalah anak tetanggaku di kampung halaman. Orang tuaku mengenalkannya padaku. Sudah lama dia hanya hidup dengan budhenya karena kedua orang tuanya telah meninggal. Ilmu agamanya pun masih minim.”
“Lif, janganlah kau menikah karena rasa belas kasihan.”
“Aku menikah bukan karena belas kasihan. Tapi karena aku ingin membimbing seseorang untuk menemukan jalan Allah. InsyaAllah aku akan berusaha menjadikannya wanita yang sholihah. Dan bagiku, cinta bisa dibangun setelah menikah. Meski ada orang berkata menikah karena mencintai, tapi aku lebih memilih mencintai karena menikah.”
Mendengar kata-kata Alif, seolah bibir ini tak kuasa lagi untuk berucap. Speechless. Betapa luhurnya akhlak dan pemikiran saudaraku yang satu ini. Entahlah, pemikirannya sungguh berbeda dengan yang lain. Sungguh, pesona sang hafidz tak hanya mampu membius para wanita. Namun dia mampu mempesona siapa saja. Dalam hati aku hanya berdoa, semoga pilihan ini yang terbaik untuknya dan Allah mempermudah segala ikhtiarnya.
Setelah itu kami berdua pun terdiam. Aku memandangi langit biru di atas angkasa. Sungguh indah lukisan Sang Maha Kuasa. Hingga aku berpikir, kapan aku akan menyusul Alif untuk menggenapkan setengah dienku? Saat ini usiaku telah menginjak 25 tahun, seperti usia sang baginda Rasul menikah untuk pertama kalinya. Dengan tekad tetap memperbaiki dan memantaskan diri, kuharap aku akan segera menemukan sang bidadari pilihan-Nya. Semoga. [Ika Safitri]