Bagaimana jika sebuah rasa hadir menyapa? Cinta mungkin membawa bahagia tetapi terkadang kesedihan menyertainya tanpa alasan. Namun, bagaimana jika rasa itu adalah benci dan kecewa? Mengingat nama saja sudah menyakitkan, apalagi bertemu dan memaafkan. Novel Rasa Tere Liye ini secara apik mengemasnya.
Sebenarnya, hidup adalah kumpulan rasa. Setiap manusia pasti mengecap beragam rasa dalam hidupnya. Tidak mungkin bahagia selamanya sebagaimana juga tidak mungkin seseorang terus bersedih sepanjang hidupnya. Ada duka, ada suka. Kadang sedih, kadang bahagia. Suatu saat membenci, suatu ketika jatuh cinta.
Namun, ada beberapa rasa yang jika kita tidak pandai mengelolanya, hanya akan membuat kita terpuruk dan menderita. Ada rasa yang jika kita turuti hanya akan menyakiti diri sendiri.
Baca juga: Tanah Para Bandit
Sinopsis Novel Rasa
Novel Rasa mengisahkan tentang Linda, seorang siswi SMA yang periang, semangat, menyukai proses belajar, dan pekerja keras. Pelajar kok pekerja keras? Ya, sepulang sekolah, Lin bekerja di studio foto milik pamannya. Demi membantu Bunda yang ditinggal Ayah pergi.
Seisi sekolah mengenal Lin sebagai anak yang ceria, tomboi, suka berteman, dan tidak pernah tertarik dengan lawan jenis. Kepergian Ayah meninggalkan Bunda menjadi faktor terbesar mengapa ia tidak tertarik dengan lawan jenis. Lin hanya tahu bahwa Ayah pergi bersama wanita lain.
Hingga kemudian sebuah rasa menyapanya. Mengubah banyak hal. Lin yang banyak bicara sempat menjadi pendiam. Lin yang hobi makan hingga mendapat julukan perut karung, sempat kehilangan selera makan. Penampilannya yang tomboi mulai berubah menjadi feminim. Rambutnya yang biasa ditutup topi butut kini digerai. Dan yang menjelma konflik besar, cinta meretakkan persahabatannya dengan Jo karena bersaing memperebutkan cowok yang sama. Keduanya terlibat perang dingin dan saling intrik demi mendapatkan Nando.
Di sisi lain, Topan kakak Jo jatuh cinta pada Lin. Namun akhirnya patah hati saat ia mau ‘menembak’ Lin di kantin. Saat itu juga hati Topan hancur, wajahnya pucat, dan hari-hari selanjutnya ia tidak bersemangat untuk mengantar Jo dan Lin.
Rasa yang sama juga menyapa Adit, kakak Lin. Ia jatuh cinta kepada Shopi, anak Pak Haji, tetangga sendiri. Berbeda dengan Topan, rasa di hati Adit juga dirasakan oleh Shopi.
Rasa lain yang kontras adalah benci dan kecewa. Umumnya, manusia menilai dari persepsinya. Demikian pula Lin yang sangat benci dengan ayah dan ‘wanita lain’ yang ia anggap merampas ayah sejak Lin kelas 5 SD. Jangankan bertemu, mendengar namanya saja Lin sudah sakit hati. Demikian pula Bunda. Hingga ketika ia mendapatkan kisah utuh bahwa yang terjadi tidaklah sesederhana “ayah pergi bersama wanita lain,” persepsi Lin mulai berubah.
Apakah Lin bisa memaafkan Ayah dan ‘wanita lain’ itu? Bagaimana pula dengan Bunda, bisakah memaafkan keduanya? Lalu seperti apa ujung kisah persahabatan Lin dan Jo, bisakah mereka kembali kompak “di mana ada Lin di situ ada Jo” atau sebuah rasa menghancurkan segalanya? Secara apik Tere Liye membawa pembaca mendaki klimaks dari cerita ini dan menuruni antiklimaksnya.
Baca juga: Suluh Rindu
Kelebihan Novel Rasa
Seperti novel-novel sebelumnya, Tere Liye piawai menggunakan bahasa yang mengalir. Buku setebal 421 halaman ini pun bisa kita baca ‘sekali duduk.’ Dan seperti novel Tentang Kamu, Rindu, Janji, dan sejenisnya, novel Rasa ini membawa kita untuk menyelami berbagai rasa hingga bisa tertawa saat membacanya, bisa pula keluar air mata di bagian lainnya. Jujur, Novel Rasa Tere Liye ini membuat saya menangis, tepatnya pada 30 halaman terakhir. Bagian yang menurut saya paling mengharu biru.
Meskipun tokoh utamanya adalah anak SMA, novel ini cocok dibaca oleh orang dewasa. Sebab ada konflik rumah tangga antara Ayah dan Bunda serta ‘wanita lain.’ Kita bisa belajar dari kisah ini untuk menjadi lebih bijaksana dalam mengambil keputusan, tidak menurutkan ego, sekaligus belajar cara mengikhlaskan, memeluk masa lalu dengan penerimaan.
Dan karena ini karya Tere Liye, meskipun novelnya seputar cinta, porsi kisah cintanya tidak mendominasi. Masih banyak fragmen yang kaya inspirasi. Tentang perjuangan; bagaimana Bunda, Lin, dan Adit berjuang tanpa ayah. Tentang semangat dan harapan; bagaimana Lin tetap bisa meraih peringkat dua meskipun sekolah sambil kerja. Juga kebanggan atas sebuah proses belajar; bagaimana Lin tumbuh menjadi fotografer, mengikuti olimpiade kimia, hingga belajar psikologi dari guru BK.
Selain itu, novel ini juga bertabur kutipan indah yang kaya hikmah. Baik yang bernada motivasi maupun penyembuhan luka hati. Misalnya tiga kutipan berikut ini:
“Sampai kapan pun kaki kalian nanti melangkah, hidup ini hanya soal proses belajar. Orang-orang yang bahagia adalah orang-orang yang bangga atas proses belajar itu. Dan orang-orang yang amat bahagia adalah orang-orang yang bangga dengan proses belajar, sekaligus terlibat dalam proses belajar orang lain.”
“Sampai kapan pun kaki kalian nanti melangkah, hidup ini hanya soal proses belajar. Orang-orang yang bahagia adalah orang-orang yang bangga atas proses belajar itu. Dan orang-orang yang amat bahagia adalah orang-orang yang bangga dengan proses belajar, sekaligus terlibat dalam proses belajar orang lain.”
“Sebuah masalah yang super sulit, super menyakitkan, terkadang hanya bisa diselesaikan dengan sebuah penerimaan. Berdamai dengan hati yang masih membenci. Berdamai dengan hati yang masih perih.”
Kutipan lebih lengkap bisa dibaca di Kutipan Novel Rasa
Kekurangan Novel Rasa
Terus terang saya penggemar novel-novel Tere Liye. Hampir semua novelnya saya baca kecuali novel fantasi serial Bumi –hanya sebagian kecil saya baca- dan novel anak. Maka, mencari kekurangan novel Rasa sangat sulit bagi saya.
Cerita dalam novel ini mengalir secara apik. Membuat kita menyelami beragam rasa dari berbagai peristiwa yang sebenarnya sangat manusiawi terjadi. Dengan kata lain, cerita yang Tere Liye hadirkan dalam novel Rasa ini akrab dengan kehidupan nyata masyarakat kita. Ibarat fotorgrafer andal seperti DT dalam novel ini, Tere Liye bisa memotret dengan angle terbaik. Hanya saja, ada bagian yang mungkin terlalu hiperbolik saat Kepala Sekolah, Guru, dan seisi sekolah percaya begitu saja saat melihat foto editan Linda.
Tentang penulisan dan ejaan, peran editor sangat menentukan. Dan tampaknya editor novel Rasa ini sangat cakap sehingga hampir tidak ada typo yang mengganggu. Meskipun banyak dialog yang menggunakan bahasa remaja yang tentu saja tidak baku. Misalnya “nggak” yang tidak memakai cetak miring, “biarin”, “bilangin”, dan sejenisnya. Di satu sisi memang tidak baku tetapi di sisi lain lebih renyah untuk bacaan remaja dan lebih sesuai dengan latar cerita.
Baca juga: Pengalaman Naik Bus Trans Jatim
Kesimpulan
Novel Rasa Tere Liye ini recommended dibaca mulai usia SMA hingga dewasa. Bahasanya mengalir, ceritanya menghadirkan banyak rasa, serta kita bisa mendapatkan banyak inspirasi dan hikmah di dalamnya.
Bagi kamu yang masih terjebak dengan masa lalu, membenci apa yang telah terjadi, dan belum bisa memaafkan, novel ini bisa menjadi teman yang baik untuk belajar mengelola rasa itu. Novel ini mengajak kita untuk memeluk erat semua rasa marah, benci, dan sakit hati. Novel ini mengajak kita untuk mengikhlaskan, memeluk masa lalu dengan penerimaan. Dan ketika kita telah menerima semua takdir Tuhan, kita akan lebih bahagia mengenang masa lalu dan lebih siap menapaki masa depan. []
Baca juga: Kutipan Novel Hujan
Identitas Buku
Judul buku: Rasa
Pengarang: Tere Liye
Penerbit: PT Sabak Grip Nusantara
Tanggal Terbit: April 2022
ISBN: 978-623-97262-3-2
Tebal halaman: 421 halaman
Dimensi: 14×20 cm
Berat: 0,35 kg
Harga: Rp89.000