Another Apple

89

Aku tak tahu sekarang berada di mana. Terakhir kali, aku sedang berada dalam sebuah pesta. Di dalam ingar bingar musik pengiring dansa, jamuan mewah terenak sedunia. Di antara tamu-tamu dengan balutan gaun dari perancang ternama.

Itu yang kuingat. Sebelum seorang nenek tua renta dengan baik hati memberiku apel. Itu buah kesukaanku! Mana berani aku tolak. Aku sudah mencari buah itu ke mana-mana. Dan ternyata para petani dan penjual di toko mengatakan bahwa apel sedang tidak musim.

Jadi ketika aku diberi apel oleh nenek itu, senangnya bukan kepalang. Belum juga aku mengucapkan terimakasih, apel merah pemberian itu sudah kugigit karena terlalu girang.

Kini kutak ingat apa-apa lagi. Dan entah bagaimana aku sudah berada di sini. Tempat yang sama sekali tak kukenali. Di sini sangat asri. Pepohonan tumbuh rindang. Bunga dengan warna-warni segar bermekaran. Dan, apa itu? Mirip buah apel tapi warnanya hijau.

Segera kuberanikan diri bertanya kepada seorang wanita yang kebetulan sedang memetik buahnya dengan galah panjang.

“Ini apel Malang. Warnanya memang hijau. Tidak seperti di barat yang berwarna merah,” jawab wanita dengan tudung panjang itu dengan fasih.

Ternyata benar! Itu apel. Aku dipersilahkan untuk mencicipinya. Hmm, rasanya segar dengan asam mendominasi. Unik.

Wanita yang memberikanku apel tersenyum ramah.  Ia cantik dan eksotis meski agak aneh menurutku. Kepalanya dibalut dengan kerudung panjang menutup dada. Di negeri 7 kurcaci aku tak pernah wanita anggun berpakaian seperti dia.

“Ini pakaian para wanita Islam. Allah, Tuhanku mewajibkan itu,” aku hanya diam mendengarkan penjelasannya.

“Lalu bagaimana dengan summer? Apakah kau tetap berpakaian seperti ini?” tanyaku penasaran. Oh, lihatlah! Semua anggot tubuhnya tertutup kecuali wajah dan tangannya yang tangkas.

“Tentu saja. Aku merasa nyaman dengan ini. Dan juga aman dari pandangan lelaki. Hmm, meski cuaca sedang terik, kukira neraka lebih panas jika aku tak mengikuti perintah-Nya,” wanita itu memberikan sekeranjang apel dengan senyuman yang selalu terukir di wajahnya.

Perkataan yang membuatku merenung. Aku terjatuh tanpa sadar. Sinaps di otakku seakan berkejaran tak karuan. Sekeranjang apel yang tadi kupegang jatuh berhamburan. Aku tak sadarkan diri.

“Aku ingin masuk Islam!” begitu ucapku saat membuka mata. Tepat 5 detik sebelum sang Pangeran menciumku. Untung saja.

Sekarang aku tlah kembali ke tengah pesta. Di antara kerumunan orang yang menungguku siuman. Kalimat pertamaku membuat mereka saling pandang, kebingungan.

Konten sebelumnyaKonfigurasi Kultur Madura dalam Cerita
Konten berikutnyaKERJASAMA DENGAN PERPUSDA, FLP GRESIK SUKSES ADAKAN LATIHAN KEPENULISAN CERPEN TINGKAT SMP

2 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini