Flpjatim.com,- Bangkalan dan Keusilan Babe | Perjalanan darat menuju Bangkalan melalui jembatan Suramadu tidak seromantis perjalanan tiga tahun lalu. Dua tahun lalu, aku melintasi pagi Suramadu dengan hidangan mentari sebulat dan sekuning telur mata sapi. Begitu hangat dan nikmat kala menyantap pemandangan di timur itu. Ya, aku pernah dua kali ke Bangkalan. Ke tempat tujuan yg sama pula, UTM (Universitas Trunojoyo Madura) untuk melaksanakan tugas supervisi acara nasional HMJ.
Di atas jembatan, kami asyik mendengarkan cerita perjalanan Om Muhsin yg baru pulang dari Palembang, mendengarkan musik rock, membayangkan perjalanan ke luar pulau yg menakjubkan bersama anggota-anggota lain hingga lupa daratan. Benar-benar lupa hingga salah ambil jalan. Jalan yg seharusnya beralas aspal berubah menjadi jalan beralas pasir dan bebatuan sebesar kepalan tangan. Hal ini membuat mobil berguncang hingga isi perut dan kepala seperti cairan milkshake. Lebih parah daripada melalui jalur laut.
Menyadari kekeliruan, kami balik arah dan kembali menuju pasar dekat jembatan sesuai instruksi suara yg keluar dari hape Om Muhsin. Setelah bertanya kepada warga sekitar, kami meneruskan perjalanan hingga sampai di UTM walaupun kami sempat hampir bersitegang perihal jalan yg harus diambil. Namun, karena rasa kekeluargaan kami yg tinggi, masalah itu selesai dengan begitu hangat.
Kami sampai di serambi masjid menjelang Maghrib. Saat itu, acara FLP Bangkalan baru saja selesai sehingga kami hanya ditemui oleh Ketuanya, Yogi, sementara anggotanya sedang bersiap melaksanakan solat Maghrib. Mbak Zie dan aku meninggalkan Babe, Om Muhsin, dan Yogi yg hendak melaksanakan solat menuju warung untuk membeli minuman.
Warung itu tepat berada di seberang gerbang masuk UTM. Pemiliknya sudah jelas berdarah Madura. Aku hanya melihat-lihat makanan dan minuman yg dijual ketika Mbak Zie bertanya, “kamu mau minum apa?” Aku yg saat itu sedang tidak haus hanya bisa menggeleng lalu mengambil roti bundar isi kacang hijau. Mbak Zie dengan begitu percaya diri memesan satu gelas es jeruk dengan Bahasa Jawanya yg lumayan halus. Aku, yg memiliki 12,5% darah Madura tetapi tidak bisa berbahasa Madura, merasa gagal membantunya. Dalam pikiranku, “Mbak, mereka orang Madura. Udah tau kan?”; “duh, Bahasa Maduranya ‘pesan es jeruk satu’ itu apa ya?”; “kenapa tidak menggunakan Bahasa Indonesia saja?” Aku pun meralat pesanan Mbak Zie menggunakan Bahasa Indonesia ketika pemilik warung mendekat. Pesanannya pun dibuatkan. Fiuhh…
Setelah itu, kejadian serupa terjadi lagi. Mbak Zie mengucapkan terima kasih dengan Bahasa Jawa sambil berlalu. Ya Tuhan, apa Mbak Zie ingin memaksakan orang itu menelan bahasa yg tidak pernah didengarnya? Aku pun terpaksa harus membuka kamus Bahasa Madura di otakku yg sudah usang untuk meralat ucapan baik Mbak Zie agar tersampaikan. Namun, karena terlalu usang, kotak itu sudah berkarat hingga susah dibuka. Ya sudahlah, toh sudah jauh warungnya.
Kami kembali ke masjid tempat kami berkumpul tadi. Mbak Zie menanyakan nama masjid yg sayangnya belum kuketahui itu. Sungguh penting nama sebuah masjid bagi Mbak Zie, pikirku. Setelah kami berada di depan tembok bertuliskan nama masjid itu, Mbak Zie memintaku mengambil beberapa gambarnya. Ternyata. Aku yg tidak suka berfoto akhirnya memutuskan untuk ikut mengabadikan momen karena nama masjid itu mirip dengan namaku, Nurur Rahman.
Acara dilanjutkan dengan perkenalan singkat lalu sharing di serambi masjid yg dibuka oleh Babe (yg tidak mengakui kemiripan namaku dengan nama masjid itu). Setengah jam setelah bercuap-cuap dengan 5 anggota FLP Bangkalan yg hadir, kami segera pamit karena sopir tidak bisa menunggu lama.
Dalam perjalanan pulang, keusilann Babe dimulai. Ia mem-bully-ku ketika Om Muhsin, Mbak Zie, dan aku tengah asyik menyenandungkan lagu yg diputar di mobil. “Nur, kalau Sastra Inggris bisa jadi translator ya?” Aku mengiyakan sambil terus bersenandung. Babe pun terus ngomong hingga aku menjawab, “tapi bayarannya lima ribu per lembar”. Dengan kemampuannya mem-bully anak imut, ia berkata, “ah, harga keluarga lah. Separuh bisa itu.” Ya ampun, translator yg hanya bermodal google translate saja tidak ada yg mau dibayar segitu. Dikiranya menerjemahkan bahasa itu gampang? Aku dongkol. Tapi masih terhibur oleh musik yg diperdengarkan sopir.
Pem-bully-anku terus berlanjut hingga ke program-program keorganisasian. Babe begitu semangat mem-bully-ku dengan alasan: Cuma kamu yg bisa diganggu sekarang, Nur. Yg lain sibuk; Namanya juga akselerasi, Nur. Buat pengalaman; dsb. Aku hanya bisa pasrah ketika mendengar ucapan Babe yg tidak biasanya begitu. Dia mungkin dengki karena namaku terukir sebagai nama masjid, sedangkan namanya tidak. Hahaha… Andai saja usianya lebih muda dariku, pasti sudah kucakar-cakar dia.
Pem-bully-an berakhir ketika pemandangan malam jembatan Suramadu yg begitu romantis terpampang di hadapan. Masya Allah!!! Kami pun melanjutkan perjalanan mencari pengisi perut yg enak di Surabaya yg berakhir lagi di terminal Purbaya. Yap, setelah mencari-cari warung enak yg ternyata sudah tutup, kami pun menikmati Nasi Padang di terminal. Sama saja.
Setelah menyantap Nasi Padang porsi besar, kami pun berpisah. Babe dan Om Muhsin melanjutkan perjalanan ke “Hotel Sidoarjo” sementara Mbak Zie dan aku melanjutkan perjalanan ke “Hotel Mbak Zie”. Dari situlah cerita cintaku pada Surabaya dimulai lagi.