Hanya satu pertanyaan saja yang selalu ingin kuucap kepadamu. Namun selalu urung. Aku tak punya cukup keberanian untuk itu. Padahal setiap kali kita berpapasan, ingin sekali rasanya aku menahanmu barang beberapa menit saja.
Di rumah ini, kau mungkin hanya tukang taman dan perawat bunga. Kau mungkin pelayan, tapi bagiku kau adalah tujuan. Pulau harapan bagi perjalananku. Setiap pagi aku selalu mengintipmu dari balik jendela. Kau selalu hanya fokus pada pekerjaanmu: merawat bunga, memangkas tanaman pagar dan membentuknya sedemikian rupa agar rapi dan sedap dipandang.
Entah kenapa aku menyukaimu. Aku tak tahu. Dan mungkin juga aku tak perlu tahu jawabannya. Padahal di Kampus, banyak teman-temanku yang coba mendekatiku. Namun di hatiku selalu muncul wajahmu. Rambut gondrong sebahu yang diikat ekor kuda, celana jeans robek, alis tebal seperti sayap elang, dan sorot mata tajam, tetapi meneduhkan.
Aku masih ingat betul saat pertama kali kita bertemu, kau yang datang dengan wajah lebam usai berkelahi dengan preman mabuk yang mencoba menjambret tas seorang wanita. Kemudian ayahku mengajakmu singgah di rumahku.
Sejak kedatanganmu setengah tahun yang lalu, rumah dan taman di depan rumah, serasa lebih hidup dan lebih indah. Ibu sering memujimu ketika makan malam. Dan kau tahu, bagaimana perasaanku? Hatiku berbunga-bunga tiap kali mendengar namamu disebut. Wika, Wika, Wika.
***
Aku tak tahu kenapa kau tiba-tiba pergi. Dan kenapa kau harus pergi. Apakah karena kau mendengar bahwa aku akan menikah dengan lelaki pilihan ayahku? Padahal pernikahan itu urung terjadi. Beberapa kali aku bertengkar dengan ayah. Dan puncaknya, aku mengancam akan kabur dari rumah jika dipaksa menikah. Kau tahu, aku sangat berharap kau tiba-tiba datang dan menggenggam tanganku. Membelaku.
Tapi itu tak mungkin terjadi, kan?
Yang tersisa kini hanya bunga mawar putih di dalam pot itu.
Sebelum pergi, kau pun tidak menemuiku. Kau hanya menitipkan pesan kepada ibuku, untuk menjaga dan merawat bunga mawar putih itu.
Aku pun ingat kata-kata itu, kata-kata yang kau ucapkan ketika aku tiba-tiba muncul di belakangmu saat kau sedang menyiram bunga mawar putih itu.
“Abang, Indah sekali ya mawar itu? Tanyaku, mengagetkanmu.
Dan kau pun menoleh. Sejenak mata kita beradu. Kemudian kau membuang pandanganmu ke pot bunga itu.
“Iya, tidak hanya indah. Menurutku, mawar putih adalah lambang ketulusan dan ketegaran cinta. Tapi sayang, ia masih terkurung di dalam pot kecil ini. Ia belum menemukan tujuannya,” jawabmu tanpa menoleh sedikitpun padaku.
Aku pun ingin menimpali jawabanmu dengan sebuah pertanyaan itu, tapi hanya embusan karbondioksida yang keluar dari mulutku. Ada bongkah perasaan di dadaku yang siap meledak bagai bom atom. Tapi lagi-lagi lidahku kelu. Percakapan ini pun berakhir dengan kata-kata pamitan, “aku berangkat kuliah dulu ya abang.”
Kau tahu, berhari-hari setelah itu aku merutuk diriku. Alangkah bodohnya aku. Alangkah takutnya aku dengan jawaban yang padahal belum tentu tidak sesuai ekspektasiku. Ketakutanku seolah tembok besar yang mengurungku.
Aku senang memanggilmu “abang”, selain karena aku tak punya kakak, juga karena kau lebih tua beberapa tahun dariku. Entah kenapa aku pun merasa kau bukan “orang biasa”, kau seperti menyembunyikan sebagian kehidupanmu. Ada kabut rahasia yang sengaja menyelimutimu. Kau sedikit misterius.
***
Setahun berlalu semenjak kepergianmu. Aku kini tahu alasanmu. Kau pergi karena memang harus pergi saat itu. Ketika kau pergi, ada yang hilang dari hidupku. Hidupku yang tenang mendadak berantakan. Orbitku kacau. Aku perlahan layu, “mawar putihmu” ini diambang kematian. Seringkali aku mengingau sambil terisak, menyebut namamu dalam tidurku.
Firasatku ternyata benar. Kau bukan “orang biasa”, kau ternyata salah satu anak raja di seberang pulau sana. Ada konflik keluarga yang akhirnya membuat ayahmu sakit-sakitan hingga beliau menghembuskan nafas terakhir. Inilah alasanmu.
Lama aku menantikanmu kembali tanpa ada secuilpun kabar darimu. Dan di ujung batasku, akhirnya kau datang ketika aku tak sadar dan sekarat di ranjang rumah sakit. Ketika aku “makan” lewat selang infus di lenganku dan organ penapasanku yang dibantu selang oksigen.
Kau pun berbisik di telingaku. Bahwa kau tak akan pernah pergi lagi. Bahwa aku akan menjadi “mawar putihmu” selamanya. Aku mendengarmu dan hatiku bergetar. Airmataku pun menjelma sungai kebahagiaan. Menghanyutkan segala duka dan kerinduan.
penulis; Mas Tama, Kordiv karya FLP jatim