Ibnu Mas’ud menuturkan, “Selepas kepergian Rasulullah saw., kami menghadapi situasi yang nyaris saja membuat kami binasa, andai saja Allah tidak menganugerahkan Abu Bakar kepada kami!”
Perkataan Ibnu Mas’ud tidaklah berlebihan. Kita bisa melihatnya dari peristiwa awal ketika Nabi Muhammad dipanggil kembali ke haribaan Allah. Kala peristiwa itu terjadi, Abu Bakar tengah berada di rumahnya, di dataran tinggi di ujung Madinah. Seseorang menyampaikan kabar tentang wafatnya Nabi saw., maka ia bergegas menuju kediaman Rasulullah.
Kalimat pertama yang diucap Abu Bakar tatkala mendengar berita kematian Nabi Muhammad adalah istirja’. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Dengan sabar dan ikhlas, ia masuk ke kediaman Rasulullah dan menyingkap wajah beliau yang ditutupi kain, lantas menciumnya.
Sementara di luar sana para sahabat sedang terguncang dan tidak memercayai berita kematian Rasulullah. Bahkan Umar bin Khattab sampai berseru, “Demi Allah, ia tidak mati, tapi ia pergi menemui Rabb-Nya, seperti halnya Musa bin Imran. Beliau pasti kembali dan akan memotong tangan dan kaki orang-orang yang mengatakan beliau telah mati!”
Kecintaan yang mendalam telah membuat Umar nyaris kehilangan akal sehingga mengamuk pada siapa pun yang mengatakan Nabi telah meninggal. Namun, keteguhan Abu Bakar mampu memadamkan kemarahannya, tatkala ia berkata, “Wahai semua yang hadir! Siapa yang menyembah Muhammad, sesungguhnya Muhammad telah mati. Dan siapa yang menyembah Allah, Allah Mahahidup, tidak akan mati.”
Abu Bakar melanjutkan dengan membaca surah Ali Imran: 144 yang artinya, “Dan Muhammad hanyalah seorang Rasul; sebelumnya telah berlalu beberapa rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa berbalik ke belakang, maka ia tidak akan merugikan Allah sedikit pun. Allah akan memberi balasan kepada orang yang bersyukur.”
Seusai dibacakan ayat tersebut, para sahabat menangis dan menyadari kenyataan yang ada. Seolah-olah mereka tidak pernah mendengar dan menghafal ayat itu, padahal kita tahu mayoritas mereka adalah penghafal Al-Qur’an. Hanya Abu Bakar sosok tegar yang mampu menyelesaikan karut-marut tersebut dengan luasnya hatinya.
Pasukan Usamah Tetap Berangkat
Berlanjut ketika Abu Bakar telah menjadi khalifah, ia mengambil keputusan untuk memberangkatkan pasukan Usamah bin Zaid yang sejatinya akan diberangkatkan oleh Nabi Muhammad untuk menyerang Romawi. Keputusan ini ditentang oleh Umar karena kondisi Madinah saat itu sedang terancam, banyak orang yang menolak membayar zakat dan murtad. Serangan bisa sewaktu-waktu terjadi.
Namun, dengan teguh, Abu Bakar tetap berpegang pada keyakinannya bahwa pasukan Usamah harus berangkat. “Berangkatkan pasukan Usamah! Demi Allah, andai pun serigala-serigala mencabik-cabikku, niscaya aku akan tetap memberangkatkannya seperti yang Rasulullah perintahkan. Aku tidak akan menarik sebuah keputusan yang telah beliau tetapkan!”
Umar masih mencoba melobi lagi dengan meminta pemimpin pasukan tersebut diganti, sebab Usamah saat itu masih berusia 18 tahun. Kembali lagi Abu Bakar menolak dengan murka, berkata, “Celaka ibumu, Ibnu Khattab! Rasulullah yang mengangkatnya, tapi kamu suruh aku memecatnya!”
Maka pasukan itu pun berangkat menuju Syam, setelah Abu Bakar menyampaikan pidatonya yang lagi-lagi sangat berpengaruh.
“Wahai manusia, aku pesankan kepada kalian sepuluh hal. Jagalah hal itu: janganlah kalian berkhianat, jangan korupsi (membagi harta ghanimah sebelum dibagi), jangan menipu, jangan memutilasi, jangan membunuh anak kecil, orang tua, dan wanita, jangan merusak dan membakar pohon kurma, jangan menebang pohon yang berbuah, dan jangan kalian menyembelih seekor kambing, sapi, atau unta kecuali untuk dimakan. Kalian akan melewati kaum yang khusyuk beribadah di gereja. Biarkan mereka beribadah dengan khusyuk. Kalian akan mendatangi kaum yang menyuguhi kalian dengan bejana berisi berbagai jenis makanan. Jika kalian makan sedikit darinya, maka bacakan nama Allah padanya. Kalian akan bertemu kaum yang mencukur bagian tengah rambut kepala saja dan membiarkan sekelilingnya seperti ikat kepala. Tebaslah mereka dengan pedang, dan majulah dengan menyebut nama Allah!”
Di sisi lain, di wilayah utara Madinah, fitnah kemurtadan sedang merajalela. Namun, saat mendengar riuh tapak kuda pasukan Usamah bin Zaid, para kafilah di sepanjang jalan berbisik satu sama lain, “Demi Allah, jika memang benar Madinah menderita di bawah kelemahan dan perselisihan seperti yang kita dengar, tentu tidak akan leluasa mengirimkan pasukan ini di saat-saat seperti ini untuk memerangi Romawi!”
Maka, benarlah pendapat Abu Bakar, pengiriman pasukan itu telah menyebabkan orang di luar Madinah mengakui bahwa kekhilafahan Islam masih berdiri tegak dan mampu membendung fitnah dari para murtaddin.
Penolak Zakat Wajib Diperangi
Terkait kaum yang murtad, orang-orang ini muncul setelah kematian Nabi Muhammad. Orang-orang ini awalnya tidak mau membayar zakat, karena salah menafsirkan ayat dalam Q.S. At-Taubah: 103, yang artinya, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka. Dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka. Dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka.”
Mereka berkata tentang ayat itu, bahwasanya hanya Nabi Muhammad yang berhak menarik zakat dari kaum muslimin, untuk kemudian mereka mendapat doa darinya. Maka mereka menganggap khalifah sepeninggal Nabi Muhammad tidak berhak menarik harta zakat. Ini bukanlah penafsiran yang tepat, apalagi zakat adalah rukun Islam yang merupakan pokok ajaran agama.
Dari golongan penolak zakat, berkembanglah menjadi orang-orang murtad, bahkan muncul nabi-nabi palsu seperti Musailamah Al-Kadzab, Tulaihah al-Asadi, As-Sajjah, dan banyak lainnya.
Mengetahui masalah ini, Abu Bakar dengan sigap mengumpulkan pasukan untuk memeranginya. Ia membagikan 11 bendera untuk para panglima pasukan. Lagi-lagi keputusannya ini menuai kontra dari Umar bin Khattab. Umar berkata, “Bagaimana kamu memerangi kaum yang bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, sedangkan Rasulullah bersabda bahwa barangsiapa yang bersyahadat maka harta dan darahnya terlindungi?” Kalimat ini diucapkan tatkala Abu Bakar akan memerangi orang yang menolak berzakat.
Abu Bakar menyanggah, “Bukankah Rasulullah bersabda, “Kecuali dengan haknya”? Ketahuilah, zakat adalah sebagian dari haknya. Demi Allah, aku akan perangi orang yang berani memisahkan shalat dengan zakat, karena zakat adalah kewajiban harta.”
Begitulah ketegasan Abu Bakar tersebut merupakan pilihan yang tepat. Karena dari pembangkangan kecil terkait urusan agama, masalahnya bisa melebar ke mana-mana jika tidak dipadamkan sumbernya. Sebagaimana api yang menjalar dari sehelai daun bisa menyebabkan kebakaran satu hutan. Bisa saja jika Abu Bakar tidak memerangi mereka, kedaulatan negeri Islam akan terancam karena aksi-aksi pemberontakan yang membesar. Apalagi saat itu ada pengaruh dari negara-negara tetangga, seperti Persia, Romawi, dan Habasyah yang siap mengulurkan bantuan untuk barisan para murtad.
Selain itu, sebagian orang yang menolak membayar zakat adalah orang munafik yang di masa Rasulullah menampakkan keislaman hanya untuk tujuan tertentu. Mereka juga menganggap zakat hanyalah seperti upeti yang memberatkan. Maka ketika Rasulullah meninggal, mereka pun menunjukkan wajah aslinya.
Sementara keyakinan mereka pada nabi palsu disebabkan oleh fanatisme kesukuan yang masih melekat. Seperti perkataan Thalhah An-Namiri, “Aku bersaksi bahwa sesungguhnya Musailamah itu dusta, dan Muhammad itu benar. Tetapi seorang pendusta dari suku Rabi’ lebih kita cintai daripada seorang yang jujur dari suku Mudhar.”
Keteguhan Abu Bakar dalam menetapkan keputusan-keputusan penting, baik saat wafatnya Nabi saw. maupun setelahnya, telah menyelamatkan umat dari perpecahan. Bayangkan, jika tak ada sosok seteguh Abu Bakar dalam memenuhi komitmennya sebagai pemimpin untuk menjaga daulah selepas kepergian Nabi, mungkin Islam tidak akan berjaya di negeri Arab dan meluas ke luarnya.
Semoga Allah senantiasa merahmati Abu Bakar radhiyallahu anhu dan para sahabat serta semua yang berjalan di jalan sunnah.
Insyaallah kita lanjutkan mengenai kepemimpinan Abu Bakar di seri berikutnya. Wallahu a’lam bis shawab.
Referensi:
• Biografi Khalifah Rasulullah, karya Khalid Muhammad Khalid.
• 38 Shahabat yang Dijamin Masuk Surga, karya Syaikh Shalahuddin Mahmud As-Said dan Dr. Muhammad Al-Ghamidi.