“Assalamulaikum …”
Perempuan bermata coklat menarik engsel pintu, meninggalkan bunyi cicit perlahan. Aku menjawab salamnya lewat senyuman yang mungkin tak pernah ia pahami. Rintik hujan membasahi kerudung coklatnya. Ia selalu membawa buah tangan, yaitu kisah manis penuh luka. Kisah yang selalu ia lirihkan ketika bersamaku.
Aku ingat saat pertama kali aku bertemu dengannya. Rambut yang selalu ia sembunyikan di balik topinya. Remaja setengah tomboi yang aku kira tidak akan mampu merawatku. Saat itu aku berfikir, mungkinkah Abah salah menganalisis telah menghadiahkan aku untuknya. Meski aku hanya potongan kayu kecil yang diuntai dalam seruas tali, bukan berarti aku tak mampu menilai hati manusia. Tapi ketika telapak tangannya memelukku, aku tersentak pada mata coklat yang berbinar lalu kegirangan. Sekujur tubuhku seperti tersengat listrik voltase rendah, ringan, tapi menyejukkan. Aku jatuh cinta. Kemudian aku mulai menjadi saksi bisu atas semua skenario Tuhan atas dirinya.
Seperti hari ini, di balik kerudung basahnya ia simpan jutaan mendung. Mendung yang selalu runtuh bersamaku di penghujung malam. Tapi kali ini mendung itu tak lagi sama bahkan aku tak paham mengapa. Bukankah pernikahan adalah kebahagiaan? Bahagia yang baru aku pastikan sinarnya baru-baru ini diantara mata coklatnya. Mungkin nanti, ia akan bercerita padaku. Menumpahkan segala rasa yang gagal ia deskripsikan. Seperti waktu-waktu sebelumya, aku hanya mendengarkan, memahami, tanpa mereka sadari.
“Apa kau menangis hanya karena masalah sepele ini? Kita sudah melewati banyak hal, jangan kau lupa. Ini bahkan gak penting.”
Mata coklatnya masih menyisa gerimis. Gerimis yang aku amati pelan-pelan dalam tiga rakaat terakhirnya. Sebab hanya lewat rakaat-rakaat ini aku mampu lebih jenak melihat ronanya. Rona gerimis yang aku gagal pahami mengapa masih saja datang atau mungkin dalam narasi berbeda. Gerimis yang berusaha ditepis oleh laki-laki di depan sajadahnya, lelaki penyimpan rindu, suaminya.
Mata coklat itu tak bisa menyembunyikan luka saat lelaki penyimpan rindu berbalik untuk mengecup keningnya di akhir doa mereka. Jelas gerimis itu tak sempat ia seka lantas terlanjur menyisa jalan.
“Aku bukan wanita sempurna. Kau mendapatkan aku seperti ini. Bukanlah gadis seperti harapan keluargamu. Jelas aku kalah banding dengan mereka.”
Keluhnya tipis menarik simpati. Meski aku hanya benda mati, bukan berarti aku tak mengerti hati. Aku memahaminya tiap kali jemarinya menarikku perlahan. Atau ketika aku berada diantara dua telapak tangan yang ia tautkan. Mulutnya komat-kamit, kadang juga pelan, seolah membaca mantra atau mungkin bercerita. Sering kali panjang. Lalu aku paham ia mengadu pada Tuhan.
“Siapa yang bandingin?” lelaki itu mulai menatapnya lebih lekat dengan masih menggandengku,
“Baiklah, begini saja. Anggap saja tidak mendengar apapun. Sudah, bersikaplah biasa karena memang tidak terjadi apa-apa. Nanti orang pasti bisa melihat kita kuat.”
“Tapi mama benar. Kita tidak selayaknya terus bersama apalagi di tempat kerja.”
Aku pikir, ia mulai mengoreksi dirinya sendiri. Pernikahan keduanya ini membuatku senang. Aku lebih sering bersamanya, bersama mereka lebih tepatnya. Lebih kerap, hampir tiap hari. Membuatku merasa lebih hidup, lebih berguna, lebih dicinta.
Intropeksi memang tidak salah. Aku sering mendapatinya demikian.T api aku tak sepenuhnya sependapat dengan asumsi sebelah pihaknya. Terutama tentang statusnya sebelum Lelaki Penyimpan rindu meminangnya. Bukankah janda adalah predikat yang tak ingin diraih semua wanita, pun dirinya? Janda cantik dengan seorang putra yang menerima pinangan hanya berselang enam bulan setelah surat cerainya terbit. Janda yang dipandang kegenitan dan memasang perangkap singgellilah untuk menikahinya.
Apapun itu, Lelaki penyimpan rindu menikahinya. Bukan dongeng walau hidupnya serasa sebuah cerita drama. Aku masih ingat bagaimana gerimis-gerimis itu datang silih berganti menarik hujan lebih lama berdiam untuk singgah. Aku masih ingat bagaimana perempuan bermata coklat itu bertahan untuk menyakiti hidupnya sendiri.
Pernah satu malam ia mengadu padaku tentang ketidakadilan Tuhan. Tentang upayanya mengais rezeki namun tak percah cukup mengenyangkan. Kenyang dalam arti sesungguhnya. Benar, kenyang akibat perutnya terlalu lama berteman dengan lapar.
***
“Bukankah wanita tak wajib mencari nafkah, Tuhan?”
Keluhnya lirih seolah padaku. Keluhnya sama meski tahun berganti tanpa jalan berarti. Aku menemaninya setiap gerimis dalam hidupnya. Aku berada didekatnya, mendengarkan keluhnya, mengusap air matanya, menguatkan walau pada akhirnya patah.
Bagiku, dia adalah wanita tangguh dengan banyak pertimbangan. Namun kali ini, Perhitungannya jelas-jelas salah dalam memilih jodoh. Aku sudah berusaha sampaikan jika bukan laki-laki itu atau dia terlalu cepat memberi jawaban. Sudah aku berat-beratkan tubuhku agar saat ia menarikku seolah ada beban lalu ia paham bahwa langkahnya nanti akan terbebani. Gagal. Ia tak paham.
Tahun pertama, aku tak pernah melihat dirinya tersenyum. Atau memang seperti itulah pernikahan, walau yang sering aku dengar adalah kebaikan. Masih teringat, berapa kali hari istimewa itu hampir gagal dengan banyak hambatan. Sedang aku yang hanya butiran kayu, tak bisa berlaku banyak.
Memang sering aku dengar tentang cobaan umum sebelum pernikahan, mungkin sebab itulah dia bertahan.Tapi tak banyak orang yang paham, bisa jadi itu bukanlah cobaan namun gambaran. Gambar tentang bagaimana kehidupan rumah tanggamu setelah pernikahan. Sayangnya, ini tepat terjadi.
Tahun petama mereka begitu kelam. Bayi cantik harus kembali pulang pada Tuhan. Seolah enggan mendengar perjuangan. Atau mungkin untuk menyelamat ibunya di akhirat nanti. Pelukannya padaku begitu lekat, semakin lekat sebelum suaminya itu mengingkariku. Katanya, aku bukanlah kepentingan. Hanyalah bid’ah yang jika dilaksanakan menimbulkan kemusyrikan. Katanya, aku tak ubah hanya potongan kayu kecil yang tak bernilai namun mampu menjadi bara dalam neraka akibat kemusrikan.
Aku menangis mendengar semua itu. Potongan kayu kecil yang tak berharga ini masih mampu menyimpan rindu. Rindu manusia pada Tuhannya, rindu manusia dalam lantunan doa. Aku merangkainya dalam jambangan ketaqwaan agar Tuhan mampu melihatnya lebih indah. Agar doa-doa itu menjadi bunga surga sebab Tuhan mengijabahinya perlahan.
Layaknya perangkat keras, benar memang jika aku hanya potongan kayu kecil. Tapi bukan berarti tak berguna. Kaum muslim mengidolakanku bahkan sering menjadikan sodara-sodaraku sebagai buah tangan setelah lelah berkeliling ka’bah. Sedikit atau banyak aku merangkai doa-doa indah mereka. Melukisnya artistik agar Tuhan mampu melihat diantara trilyunan doalainnya. Hingga perempuan bermata coklat itu mengambil keputusan besar.
“Aku sudah tidak tahan.Anakku sudah tidak ada.Apa yang aku pertahankan darinya? Lebih baik berpisah daripada hati selalu disalahkan.”Tangannya masih menengadah sedang aku melihat jelas air matanya.
Aku pun menangis mendengar. Tak kuasa mengamini setiap kata. Menitipkannya pada sela-sela sayap malaikat tepat di seperempat malam dengan putus asa agar Tuhan mengijabahinya. Lebih cepat. Ia makin memelukku erat. Hanya kemudian, tak ada seorangpun keluarga mendukungnya. Dan bertahan adalah pilihan keliru bagiku walau tak ada seorangpun menangkap dengar.
Saat itu aku berfikir, mungkin aku sudah melakukan kesalahan. Atau perempuan ini terlalu kurang sampai Tuhan memperlama masa uji. Entah. Aku masih membersamainya dengan air mata, sampai pangeran kecil itu datang dari Tuhan Hanya saja ia masih menitipkan sendu di akhir malam.
“Kamu tidak perlu ini!”
Suara itu membentak. Memekik gendang telinga, kemudian sengaja aku kirim hingga ke langit. Ya, mereka bertengkar hebat. Kali ini karenaku, potongan kayu kecil, yang katanya tak berharga. Aku terguncang kemudian. Tangan laki-laki itu meremas tubuhku seolah akulah penyebab utama ketidakharmonisan mereka. Tangannya mengangkatku tinggi-tinggi, menguncang, lalu melemparkanku menembus kaca hingga rebah di dinding. Aku mengirim pesan itu kemudian. Memberitahukan penghuni langit untuk kemungkinan ketiadaanku, kali ini air mataku habis.
“Jangan coba-coba!”
Aku mendengar perempuan itu berteriak membela. Mata coklatnya membara.Nafasnya panas seperti Bromo hendak muntah.
“Kamu mau lihat? Ini sama sekali gak berharga. Aku bisa membuangnya, aku bisa membakarnya. Kamu mau lihat?”
Laki-laki itu mendekatiku lalu menendangku menjauh, lebih jauh. Aku hanya bisa pasrah. Mungkin ini adalah akhir aku menemaninya, merangkai doa-doa untuknya. Mungkin tak mampu aku temui subuh di matanya. Subuh yang sejuk kemudian binar-binar indah sebab bahagia.
“Coba saja. Kalo kamu berani membuangnya, demi Allah SWT kamu akan terbuang dari kehidupanku. Allah gak akan rela kamu membuang itu.”
Amarahnya nyata. Bulirku lirih saat ia berusaha mengaisku diantara kaki lelaki yang kala itu adalah suaminya. Bulirku lirih ketika aku paham bagaimana hatinya patah memahami kepergianku sesaat. Bulirku tumpah saat tak kutemukan dia lagi. Ketika gelap mendadak berkawan.
“Tuhan, aku tak bisa melihat mata coklat itu lagi. Mengapa tak Kau segerakan saja semua titipan rindunya. Ia sangat mengharapkan pelukanMu, Tuhan. Jika aku tak mampu menemaninya lagi, sungguh Ia tak punya kawan untuk berkeluh kesah.” Tangisku pecah.
Aku rasa kala itu menjadi malam terakhirku di dunia. Sampai aku tangkap langkah-langkah kecil mendekat. Diantara gelap malam dengan sembab membengkak,Ia telusuri jalan mengira aku ada. Dan ya, aku mendengar doanya agar lekas menemukanku. Sampai ia memberanikan diri membuka tutup kotak plastik penuh bau dimana aku bersemayam sementara.
Sungguh, mata coklatnya berhasil menemukanku di sana. Memahami luka hatinya makin dalam melihatku beralas sampah basah sisa pembuangan.Kemudian ia memelukku lebih dalam, menyembunyikanku dalam saku hangatnya. Sejak detik itu, di sanalah aku tinggal, dekat tak pernah jauh. Seolah tempat lain adalah akhir kehidupanku.
***
“Tempatkan di sini,” perempuan bermata coklat membuyarkan anganku, “ini adalah rumahnya.”
“Baiklah. Maka katakan padanya, apa yang harus kamu lakukan.”
Lelaki di depannya menatapnya rindu. Benar. Lelaki ini bukan lelaki yang sama. Bukan lelaki yang telah melemparku dalam gelapnya bak sampah. Lelaki ini menyimpan rindu. Aku melihatnya dari sorotan matanya.
Keduanya bertatapan. Lelaki itu melihatku seolah mengisahkan sebab apa gerimis itu datang. Gerimis yang memang tidak seharusnya. Gerimis yang mampu mereka tepis kemudian sebab kuatnya iman.
“Ya. Aku tidak akan mendengarkan mereka. Kita profesional dalam bekerja. Aku akan lebih fokus pada pekerjaanku dengan membuat program kerja baru yang mungkin menyibukkanku nanti.”
Kali ini aku melihat senyuman. Perempuan bermata coklat tersenyum padaku, sungguh itu adalah senyuman termanis yang sudah lama aku rindu.
“Kemudian?”
Lelaki penyimpan rindu masih mendesak. Menuntut deskripsi jawaban lebih lengkap. Aku menyebutnya penyimpan rindu sebab aku melihat kerinduan mendalam tiap kali ia berbincang dengan separuh jiwanya. Rindu yang sama tiap kali ia tengadahkan tangan bersamaku. Rindu singgelillah yang menemukan pelipurnya.
“Aku akan berusaha menjadi istri terbaik untukmu di hadapan Tuhanku. Bukan baik dihadapan manusia lainnya. Entah bagaimana nanti perjuangannya. Yang jelas, tugasku adalah menjadi makmum bagimu. Aku akan menuruti perintahmu selama itu taqwa. Nantinya, keluargamu akan tahu seberapa besar aku mencintaimu dan seberapa kuat rasa ini kita perjuangkan sampai jannah.”
Ini adalah bulan ketiganya menjadi pengantin baru. Meski bukan pertama kalinya ia menjadi istri, namun rasa hatinya sungguh berbeda. Kali ini ia mampu mendengarku, setiap kata.
Semoga Allah SWT melindunginya sampai jannah, hingga aku bersaksi nantinya tentang doa-doa yang saling kami rangkai bersama. Sebab aku hanyalah potongan kayu-kayu kecil perantara rindu manusia.Sebab aku hanya kumpulan 99 potongan kayu kecil yang ia simpan dalam saku hangatnya. []
*Penulis: Ramadhan Rahma, FLP Sidoarjo