Kuaci dari Langit

134
Flpjatim.com,- Keluarga Zizan penggemar cemilan kuaci. Hampir setiap akhir pekan, Zizan dan mamanya belanja di swalayan. Tidak lupa, Zizan minta dibelikan kuaci. Sepulang kerja, Papa Zizan juga sering membawakan kuaci. 
Pada hari Minggu pagi, Zizan kaget karena cadangan kuacinya habis. Padahal kemarin baru saja beli banyak. Ia berpikir keras, harusnya kuacinya masih ada di toples. 
Kuaci dari Langit
“Maaa, Mama tahu, nggak, kuaci adik? Kok habis, ya?” tanya Zizan pada mamanya. 
“Coba dicek lagi di mana tadi malam naruhnya,” balas mamanya. 
“Sudah, Ma. Adik heran aja, kemarin itu masih banyak.” 
“Mungkin disimpan Kak Desty. Coba tanyakan.” 
Harusnya pagi itu Zizan menemui teman-temannya di lapangan, sambil membawa kuaci untuk dimakan bersama setelah bermain bola. 
“Apa Kakak tahu kuaci adik?” 
“Nggak tahu, Zan. Tadi malam ada di toples loo ….” 
“Tidak ada, kok. Mana ada toplesnya di meja. Sudah nggak ada tuh ….” 
Zizan kesal. Dia ingin beli kuaci lagi, tapi tidak jadi karena kemarin sudah beli. Jatah uang sakunya sudah dibelikan kuaci. Zizan masih penasaran, mana mungkin kuaci yang tadi malam masih banyak, kok tiba-tiba lenyap. 
*** 
Siang itu Kak Desty bolak-balik ke WC. Ia sakit perut. Selidik punya selidik, Zizan pun menggoda kakaknya. 
“Pasti Kakak salah makan. Atau kebanyakan makan. Ha-ha-ha ….” 
“Hiih … kamu ini asal nuduh.” 
“Sebenarnya kamu makan apa?” sahut mamanya, “sakit diare gitu bisa jadi karena makanan yang tercemar bakteri atau kuman.” 
“Em, sebenarnya Desty kebanyakan makan kuaci, Ma.” 
Mendengar hal itu, Zizan dan mamanya kaget. 
“Jangan-jangan kamu yang ngambil kuaci Adik?” 
“Hi-hi-hi, iya, Ma … soalnya tadi malam Desty pas jenuh banget. Akhirnya Desty ngemil kuaci di kamar.” 
“Terus, Kak?” tanya Zizan. 
“Kuacinya kakak habiskan, he-he-he.” 
Mamanya geleng-geleng. “Sungguh terlalu kamu ini, Des. Kalau makan ya secukupnya saja, meskipun itu makanan favorit. Kasihan adikmu kehilangan kuaci. Kamu berbohong juga padanya.” 
“Maaf ya, Maaa ….” 
“Minta maaflah pada adikmu dan belikan kuaci lagi.” 
*** 
Bagi keluarga Zizan, kuaci sangat pas disantap sambil nonton tivi, membaca buku, dan santai di rumah. Sewaktu rekreasi atau dalam perjalanan, mereka juga sedia kuaci. Pokoknya selalu ada kuaci. Zizan suka berbagi jajan dengan teman-temannya. Menurutnya kalau dimakan sendiri kurang berkesan, justru akan berdampak rakus. Kalau dibagi-bagi akan semakin berkah. Allah akan menambah rezekinya. 
Suatu hari mama Zizan punya ide bikin kuaci sendiri. 
“Kenapa kita tidak mencoba bikin kuaci sendiri aja? Daripada beli terus?” 
“Eh, emang bisa, Ma?” Zizan penasaran. 
“Bisa, dong.” 
“Pakai bahan apa?” 
“Biasanya bahan utama kuaci dari biji bunga matahari. Nah, coba deh kita bikin kuaci dari biji semangka atau biji labu kuning.” 
“Oh … ide bagus, Ma,” tambah Desty. 
“Mama pernah baca di sebuah majalah, bunga matahari dan cemilan kuaci bukan berasal dari Indonesia. Itu sejarahnya dari luar negeri dan menyebar ke negeri kita.” 
Setelah seharian mencoba bikin kuaci, hasilnya masih gagal. Dan mereka kelelahan tanpa hasil memuaskan. 
*** 
Keluarga Zizan berlibur ke kebun bunga matahari di Bantul, DIY. Di sana mereka rekreasi sambil belajar. Kebun yang dituju yaitu milik seorang pengusaha bernama Pak Rusli. Pak Rusli juga punya usaha pengolahan biji matahari menjadi kuaci.” 
Kali itu Pak Rusli sendiri yang memandu keluarga Zizan, karena Pak Rusli ternyata kenal baik dengan papa Zizan. 
“Oh, selamat datang, Pak Kamil sekeluarga. Mari saya pandu keliling kebun,” ajak Pak Rusli dengan ramah. 
“Terima kasih, Pak Rusli yang baik hati,” balas Pak Kamil. 
Bunga matahari bermekaran. Menyembulkan mahkota dengan bakal biji-bijinya. Setelah puas keliling kebun, keluarga Zizan diajak Pak Rusli melihat pengolahan kuaci. 
“Begini, Adik-adik. Bahan untuk membuat kuaci bisa dari biji bunga matahari atau biji semangka, air kapur, kayu manis, serai, dan pandan wangi,” terang Pak Rusli. 
“Cara membuatnya bagaimana, Pak?” tanya Kak Desty. 
“Bapak akan ajarkan cara yang sederhana saja. Pertama, bijian itu direndam dalam air kapur, kemudian dikeringkan sampai benar kering. Setelah itu, garam, kayu manis, serai, dan pandan wangi direbus sampai mendidih.” 
Zizan dan Kak Desty manggut-manggut. 
“Kurang lebih setengah jam, lalu masukkan bijian tersebut dan diaduk sampai cukup mudah untuk dipecahkan. Terakhir, tiriskan bijian itu dan keringkan. Nah, bagaimana?” 
“Ya-ya-ya, mengerti, Pak,” jawab Zizan. 
“Hm, yakin Zizan paham?” goda Kak Desty. 
“Ouh, gampang … nanti dipraktikkan di rumah. Ya, kan, Ma?” 
Semua yang mendengarnya terkekeh. Setelah itu, keluarga Zizan berpamitan kepada Pak Rusli. 
“Ini ada oleh-oleh kuaci,” kata Pak Rusli. 
“Berapa harga semuanya, Pak?” tanya Pak Kamil. 
“Oh, tidak perlu dibeli, Pak. Ini sebagai tanda persahabatan.” 
Zizan tampak kegirangan. 
“Wah … banyak banget kuacinya! “Ye-ye-ye, terima kasih banyak ya, Pak Rusli yang baik hati.” 
“Sama-sama,” Pak Rusli membalas dengan senyum khasnya. 
“Horeee …. Papa, Mama, ini kuaci dari langit. Pastinya ini balasan dari Allah karena adik sering ngasih kuaci kepada teman-teman. Ini keajaiban!” Suara Zizan nyaring kegirangan. 
Semua tertawa gembira menyaksikan ulah Zizan. (*) 
*) pernah dimuat di harian Padang Ekspres, Minggu 19 Januari 2020, halaman 9
Profil Penulis: 
Real Teguh, Koordinator Divisi Karya FLP Jawa Timur 2019/2021
Konten sebelumnyaWedang untuk Ayah
Konten berikutnyaAntri

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini