Oleh : Amiris Sholehah
Divisi Kaderisasi FLP Jatim
Banyak yang bertanya soal taman baca. Tentang bagaimana cara memulainya, bagaimana merawat buku-bukunya dan darimana dapat dananya.
Ya, sepuluh tahun lalu sebelum semuanya seperti sekarang, aku tak pernah punya cita-cita untuk punya taman baca, yang kupikirkan saat itu hanya bagaimana caranya anak-anak tetangga asyik main di rumah dengan aktivitas membaca, membaca Alquran dan buku tentunya. Mungkin yang dibayangkan banyak orang aku punya banyak koleksi buku anak, padahal tidak. Awalnya aku hanya mencoba menyelematkan buku-buku Rumah Cahaya milik FLP Pamekasan yang terendam banjir, puluhan buku itu kuungsikan ke rumah dengan bermodal karung beras, dengan kondisi basah, lembek bahkan sudah ada yang robek. Pelan-pelan kubersihkan lalu kutata bak ikan pindang yang akan dikeringkan. Alhamdulillah, beberapa masih bisa diselamatkan. Ya, bagiku ini modal untuk meneruskan visi dan misi Rumah Cahaya, cukup beberapa buku anak dan novel dewasa yang tersisa.
Masa-masa awal itu cukup membahagiakan buatku karena beberapa anak tetangga tertarik dengan buku yang sering ku baca sambil mengajar ngaji Alquran untuk mereka. Akupun jadi semakin ingin memperluas program taman baca, melengkapi koleksi dengan buku-buku lainnya. Belum punya modal banyak untuk membeli buku, aku berusaha membuat buku cerita bergambar sendiri, dicetak sendiri lalu dibacakan pada anak-anak di PAUD dan taman baca. Inisiatif ini bermula dari pelatihan guru yang pernah ku ikuti.
Bagiku anak-anak ini adalah motivasi utama untuk menulis cerita anak, beberapa interaksi dengan mereka aku tuangkan menjadi ide tulisanku. Tulisan itu yang pada akhirnya dimuat di majalah mentari beberapa kali, diikutkan lomba dan dapat juara. Hal ini yang kemudian juga memacu anak-anak untuk menulis juga, memamerkan tulisanku pada teman lainnya “Ini, nih, guru ngajiku penulis cerita juga,” ucap mereka sambil mengajak beberapa temannya untuk datang ke taman baca.
Tak berhenti di situ, aku ingin anak-anak tak hanya mengenal tokoh fiksi dari buku-buku bacanya tapi keinginan terbesar saat itu mereka harus mengenal tokoh Mulia Muhammad sang Nabi. Akupun mencoba mencicil buku yang harganya sangat fantastis bagiku. Bayangkan saja, gajiku sebulan habis untuk bayar cicilannya. Tapi semua itu apalah artinya dibanding dengan ilmu yang akan jadi jariyah nantinya, anak-anak yang akan tumbuh dengan amalan sunnah dan kecintaan mereka pada sosok mulia bernama Muhammad sang Rasul pujaan. Bagiku buku Muhammad Teladanku berperan aktif membersamai tumbuh kembang anak-anak di taman baca.
Beberapa tahun berlalu, aku mulai mencari cara agar buku koleksi bisa bertambah dan aktivitas anak-anak juga harus ditambah sesuai usia mereka. Aku mencoba meloby beberapa penerbit buku seperti Mizan dan Diva Press, Alhamdulillah mereka merespon surat dan proposal permohonanku. Buku bantuan mulai berdatangan, anak-anak senang kegirangan. Aku tak mau berdiam diri, hanya meminta belas kasih donatur yang baik budi. Aku mencoba menjual buku dan menjadi distributor majalah Ummi, yang hasilnya Alhamdulillah bisa mencukupi beberapa kebutuhan taman baca bahkan bisa membuat program tahunan bertajuk Liburan bersama Kelas Menulis Cahaya bersama teman-teman FLP Pamekasan lainnya.
Karena beberapa hal aku kemudian mengganti Rumah Cahaya menjadi TBM Maos. Meski bukan dibawah naungan FLP tapi semua aktivitasnya masih dengan ruh yang sama, yaitu Membaca dan Menghasilkan karya. Dari sini aku bisa bersinergi dengan relawan dari luar FLP, ada Kak Mala seorang pendongeng yang mewakafkan waktunya sepekan sekali untuk anak-anak di taman baca, teman-teman alumni Kelas Inspirasi dan juga dari komunitas Taman Literasi Pamekasan yang senang membantu aktivitas literasi TBM Maos. Akhirnya aku hanya mohon doa dan dukungan dari semua yang membaca kisah ini, semoga TBM Maos menjadi TBM inklusi yang kebermanfaatannya bisa dirasakan semua anak-anak, termasuk anak dengan berkebutuhan khusus dan dissabilitas. Karena sejatinya mereka saudara kita yang menjadi tanggung jawab bersama. Mereka juga butuh dibacakan buku cerita, mereka juga berhak menjadi penulis dan menjadi anak-anak Indonesia yang bahagia.