Oleh Retno Fitriyanti
Mulut Bejo sudah berbusa sejak pagi tadi hingga matahari diubun-ubun tidak henti-hentinya berkoar-koar membujuk warga untuk memilih bakal calon Kepala Desa Sumber Makmur. Situasi memang semakin memanas mendekati hari pemilihan. Bejo tidak ingin bakal calonnya, Mukidi, yang ia sanjung dan dukung mati-matian harus tersingkir kalah dari lawannya. Sebenarnya bukan karena Mukidi memang layak menjadi kepala desa, namun lebih karena Bejo tidak rela bila, Jarwo, rival Mukidi yang menjadi pemenangnya.
Sudah menjadi rahasia umum di desa ini bila ada dendam kesumat antara Bejo dan Jarwo sejak dahulu kala. Sebagai pengusaha yang cukup sukses, Bejo tidak sungkan-sungkan menggelontorkan sejumlah dana untuk membantu program-program desa tentu saja dengan imbalan dimudahkan urusan bisnisnya. Dengan dukungan kepala desa tentu saja bisnis Bejo semakin berkembang dan maju.
Meskipun sering kali tercium aroma kecurangan dan kebusukan dari bisnis yang dijalankan Bejo. Sebagian besar warga desa tidak ambil pusing dengan keadaan tersebut. Karena mereka lebih peduli dengan perut lapar ketimbang urusan politik yang tidak bikin kenyang. Sebagian lainnya yang peduli hanya mampu bisik-bisik tetangga lalu diam dan pasrah. Keadaan ini membuat Bejo merasa di atas angin. Kepala desa yang korup dan pengusaha yang rakus bekerjasama memperkaya diri sendiri.
Kesuksesan Bejo membuat cemburu pengusaha lainnya. Salah satunya adalah Jarwo. Persaingan antara Bejo dan Jarwo dimulai dalam mengambil hati kepala desa. Tentu saja persaingan ini sering kali diwarnai dengan perselisihan yang berujung pada kekerasan. Namun warga hanya bungkam. Siapa yang berani melawan maka siap-siap menjadi bulan-bulanan sang pengusaha.
Musim pemilu seperti saat ini selalu dimanfaatkan oleh Bejo untuk mendekati calon kepala desa yang akan bertarung. Mengiming-imingi mereka dengan kucuran dana biaya pencalonan. Menyadari bahwa dirinya mungkin tidak akan mampu melawan Bejo maka Jarwo akhirnya maju mencalonkan diri menjadi kepala desa.
Mengetahui kenyataan pencalonan Jarwo membuat Bejo naik pitam dan membuat calon tandingan. Maka, setelah melakukan seleksi dipilihlah Mukidi sebagai calon dari kubu Bejo. Bukan tanpa alasan Bejo memilih Mukidi. Pertama karena Mukidi adalah laki-laki yang naif dan mudah diatur. Kedua karena Mukidi masih terhitung kerabat jauh Bejo maka seharusnya Mukidi berpihak kepadanya.
Sebenarnya Bejo ingin turun langsung menghadapi Jarwo namun rasanya lebih elegan bila Bejo bermain di belakang layar. Toh bila Mukidi terpilih sebagai kepala desa sesungguhnya Bejo-lah yang menjadi kepala desa karena Mukidi akan merasa berhutang budi kepadanya lalu akan mengikuti semua keinginan Bejo.
Hari pemilihan telah tiba. Pesta demokrasi rakyat berlangsung lancar, aman dan terkendali. Air muka Bejo dan Jarwo terlihat sedikit tegang. Sedang Mukidi lebih santai. Hingga waktunya penghitungan suara. Kedua kubu memperhatikan lebih saksama jalannya penghitungan suara. Saling kejar mengejar antara Mukidi dan Jarwo.
Bejo semakin salah tingkah. Khawatir jagonya kalah. Namun Bejo tidak pernah salah langkah. Sebagai pengusaha yang sudah banyak makan asam garam, instingnya belum pernah meleset. Mukidi menang. Bejo sumringah, merasa bahwa kemenangan ini adalah miliknya.
Bejo mulai mengatur strategi selanjutnya. Diundangnya Mukidi ke rumahnya untuk makan malam sekaligus membicarakan pembagian kekuasaan. Malam semakin larut. Tidak nampak batang hidung Mukidi. Bejo gelisah. Bosan menunggu, Bejo memutuskan untuk langsung ke rumah Mukidi.
Rumah sederhana bercat putih ramai pengunjung. Bergegas Bejo masuk kedalam. Nampak Mukidi dan Jarwo duduk berdampingan, berbincang dan tertawa mesra. Tidak nampak permusuhan diantara mereka. Bejo tidak percaya dengan pemandangan dihadapannya. Tiba-tiba dadanya terasa sesak, dunia seperti berputar lalu gulita. Hanya suara tawa Mukidi dan Jarwo yang memenuhi isi kepalanya.