Flpjatim.com,- Langsa kerap bertanya, kapan semua opera menyesakkan ini bakal berakhir. Sejak dilahirkan, Langsa sama sekali tidak menemukan rangkaian penjelasan yang memuaskan. Tentang mengapa dirinya harus berada pada posisi sedemikian.
Setiap kali mendapati suatu keluarga tengah buncah bahagia karena putra pertama mereka lahir, Langsa merasa tersayat sembilu. Hatinya terasa begitu pedih. Di lain kesempatan, matanya memanas dan melelehkan air saat menyaksikan pesta perkawinan dengan salon raksasa yang disusun dan meraung-raung—lengkap dengan pemblokiran jalannya. Sesak sekali dada.
Lain halnya ketika dia berjalan—pada suatu ketika—menuju acara tahlilan tetangganya di gang sebelah. Di kala wajah istri yang baru dijamah beberapa waktu lalu itu menggurat getir, Langsa justru tersenyum simpul. Dan, sepulangnya dari sana dengan membawa dua kotak nasi dan kue basah, tawa Langsa membahana. Meramaikan gang yang sekarang hanya dia seorang yang melewatinya.
Gang yang dahulu kerap sesak ketika dilalui satu mobil itu menghubungkan rumah Langsa dan jalan utama masuk perkampungan. Rumah langsa dapat ditemukan di sudut gang. Persis di samping gang buntu. Di sampingnya berdiri tegap dan gimbal pohon beringin.
Di bawah atap koyak yang siap terkelupas ketika angin kencang datang itulah tempat Langsa merebahkan harapan. Di dalam, hanya perlu dua puluh langkah untuk menggapai semua sudut rumah dari satu titik: ruang tamu. Lantai berlapis semen tak rata. Kayu rapuh berayap membingkai jendela. Dinding dari anyaman bambu. Dan, hanya ada berbatang-batang lilin sebagai pencahayaan utama.
Sebenarnya, Langsa bisa saja menyulap rumah itu beberapa derajat lebih baik. Namun, kesempatan itu dia lewatkan. Keterdesakan lain menjadi urutan pertamanya. Tepat ketika dirinya masih menggandeng teman pengoleksi dan pemupuk harapan. Kendati demikian, seulas garis melengkung selalu menghias bibirnya saat menginjakkan kaki di sana.
Sejak diumumkan sebagai orang hilang akal, tetangga-tetangga Langsa mulai membentangkan jarak. Desas-desus yang meruak beraneka ragam. Si fulan bilang kalau Langsa jadi begitu sejak ditinggal wafat istrinya. Si fulan di ujung berseloroh Langsa kerasukan jin karena rumahnya nempel dengan pohon beringin. Dan, masih banyak kasak-kusuk khas ocehan tetangga lainnya.
Pernyataan barisan mantan tetangga Langsa itu tidak sepenuhnya salah. Ini diperkuat dengan cara Langsa menampilkan diri. Coba tengok, ke mana-mana dia mengenakan kaos oblong putih berlumur kekuningan, celana bekas keset, dan rambut yang diabaikan acak-acakan. Hanya cara berkatanya saja yang terlihat normal.
Suatu ketika Langit berbaik hati memberi Langsa kesempatan mencicipi kebahagiaan. Jauh sebelum status wong gendeng melekat pada dirinya. Tiga tahun menjadi penulis lepas mengantarkannya bernyali menyanding gadis pujaan hatinya. Gadis itu bernama Bungah.
Meskipun diwarnai dengan satu-dua kata saja yang lolos dari mulut tremornya, penghulu menyatakan bahwa Langsa dan Bungah sudah boleh hidup seatap. Sah terhindar dari celometan tetangga yang kadang lebih pedas dari ulekan sambal bawang tingkat puncak. Langsa dan Bungah, satu keping dengan dua perbedaan yang saling melengkapi.
Sepanjang pernikahannya dengan Bungah, Langsa merasakan limpahan kebaikan itu deras sekali. Seperti coban rondo mengguyur setiap tamunya. Meskipun Bungah sulit mengucap huruf H di akhir namanya, bagi Langsa itu bukan masalah. Justru dengan atau tanpa huruf itu makna namanya tetap saja cantik. Bunga, wangi. Bungah, bahagia.
Keluarga kecil itu tidak menemukan perselisihan berarti sepanjang pernikahannya. Hal ini membuat Langsa tak kenal libur komat-kamit mengucap syukur. Betapa Agung dan Dermawan-Nya Dia kepada dirinya. Oh, nikmat Tuhan manakah yang pantas didustakan?
Dia menganugerahkan seorang bidadari berparas rupawan, sarat kesabaran tak terbendung, begitu lemah lembut kepadanya, dan patuh terhadapnya. Satu hal yang Langsa paling sukai dari istrinya adalah cara bersinnya. Pendek, cepat, ringkas.
Ketika itu, Langsa betul-betul tidak mengenal siapa itu getir. Untuk apa dia hadir dan mengapa dia menjamur untuk kemudian menjalar. Lagipula tidak ada yang dengan senang hati mengingatkannya tentang itu—atau lebih khususnya, memperingatkan.
Dua belas bulan Bungah menemani Langsa dengan ketercukupan. Istrinya tidak pernah mengumbar keluh kepada suaminya. Bungah menerima Langsa apa adanya. Sebagaimana yang takdir embankan kepadanya. Tidak pernah disalahkan.
Akan tetapi, Langsa paham bahwa istrinya menyimpan sendu. Memeluk pilu dalam batinnya karena hingga bulan ketiga belas ini perutnya masih kempis. Dan, hal ini mengencangkan pasokan munajat Langsa kepada Sang Penguasa Langit dan Bumi ketika sebagian besar orang lelap. Bungah menyertainya di belakang, dengan setia.
Mungkin Langit mulai menilai kesungguhan keluarga itu enam bulan kemudian. Buncah bukan main Langsa mendapati Bungah dalam kondisi berbadan dua. Lagi-lagi, pujian kepada Zat yang jiwanya berada dalam genggaman-Nya mengalir tiada henti-hentinya. Menempelkan telinga ke perut Bungah menjadi hobi baru untuk Langsa. Sambil bermonolog.
***
Celaka sekali. Kesenangan yang telah dibangun sampai bulan ke sembilan ini mahal sekali harganya. Langsa benar-benar melongo menyaksikan apa yang menimpanya sekarang. Sungguh, dia tidak pernah bersiap menghadapi ini sebelumnya. Bahkan, orang tuanya—atau sekolah tingginya sekalipun—gagal menyiapkannya untuk hal ini.
Mungkin inilah saatnya Langsa mulai berjabat tangan dengan getir.
Malam itu langit sedang membendung angkara, menggemuruh. Langsa disibukkan dengan aksi paling baru: pontang-panting membawa istrinya menuju rumah sakit. Beberapa waktu sebelum huru-hara itu lebih dahulu dia sukses memanggil ambulans menuju rumahnya. Membuang jauh-jauh dahulu urusan bagaimana cara bayarnya.
Di sepanjang jalan, Langsa menahan jerih. Wajahnya menggurat panik. Mulutnya mendesis-desis. Sungguh, ada apa dengan semua ini? Tanyanya dalam hati. Sesekali, dia melirik wajah memutih istrinya yang terbaring tak berdaya di atas ranjang ambulans. Dengan penuh harap, digenggamnya jemari lentik lembut itu. Seakan-akan dengan begitu hal paling buruk tidak akan pernah menimpa Bungah.
Satu sisi yang selalu merampas perhatian Langsa, namun selalui bersikeras dia abaikan adalah bagian bawah perut buncit Bungah. Ada bercak-bercak kemerahan di sana.
Tidak sampai setengah jam berlalu, istri Langsa sudah mendarat di atas ranjang rumah sakit. Wajah, lengan, dan kedua tangannya banjir peluh. Cemas menggurat wajah Langsa menyaksikan istrinya bertaruh maut demi sang jabang bayi. Digenggamnya erat-erat tangan istrinya yang lembut itu. Memupuk harap dengan begitu dia nanti memiliki waktu buat tertawa bertiga.
Sungguh, Langsa harus belajar banyak tentang pedih. Mulai malam ini detik demi detik menjadi gurunya. Dan, dia harus menjadi murid yang duduk manis memperhatikan. Harus menyimpan pertanyaan di bagian akhir.
Setelah hanya mampu memicingkan mata menahan ngilu, Langsa hampir terjerembab lemas menyaksikan Bungah berdarah-darah. Menjeritkan rintihan yang menyayat batin. Dua jam berlalu begitu lambat. Entah perasaan yang mana yang harus Langsa dominasikan. Senang, bayinya lahir dengan selamat? Atau sedih memandangi istrinya yang keletihan?
Kehilangan banyak darah demi mempersembahkan anak pertama adalah hadiah istimewa berikutnya dari Langit untuk Langsa. Namun, demi memandangi Bungah dengan keadaan begitu, rasanya begitu pedih. Tertusuk. Tidak ada yang bisa Langsa perbuat selain menyingkap helai rambut dari wajahnya dan mencium kening Bungah. Langsa menatap Bungah dengan tatapan penuh rasa syukur, berterima kasih.
Dan, Bungah pulang dengan membawa kecupan indah itu. Menyisakan senyum. Dokter dengan suara tertahan pilu mengatakan terlalu banyak darah. Istrinya gagal melewati fase kritis. Anaknya? Ada komplikasi dengan paru-parunya.
Oh, Tuhan. Lumat sudah hati Langsa ketika itu. Remuk sudah jiwa dan raganya. Dia butuh duduk. Dia lantas melakukannya.
Tuhan, apakah ini ujian untuk menguatkan keyakinanku pada-Mu atau ini sentilan karena sesungguhnya bukan hanya Bungah yang wajib kuperhatikan, melainkan Kau juga? Kesempatan untuk menemukan penjelasan itu disimpan Langsa dalam kepalanya. Sekarang, dia sedang sibuk menjinakkan kemelut dalam dadanya.
Setelah memasang wajah tabah di depan para pelayat, di samping makam Bungah dan anaknya yang belum sempat dia namai, Langsa merintih dalam. Meloloskan segala lara yang sejak sepanjang malam menyesaki hatinya. Di depannya terbentang pusara istrinya. Berikut di sampingnya ada kuburan mungil, milik anaknya.
Meski sudah memusatkan tenaga pada matanya untuk menguras air di sana, Langsa tetap tidak menemukan kepuasan terhadapnya. “Mungkin,” katanya, menunduk dalam-dalam. “Kebahagiaan ini hanyalah nuansa berbeda dari air mata, dan air mata adalah kebahagiaan yang semu ….”
Ingin sekali Langsa bertanya. Bisakah kalian menjelaskan apa sebenarnya makna bahagia itu? Bisakah kalian mengartikan apakah yang dimaksud dengan kesedihan? Mungkin, pertanyaan seperti itu bisa meringankan Langsa.
Berbulan-bulan berlalu, Langsa tak tak kunjung menemukan penawar. Hingga kondisi diperburuk dengan hadirnya para tetangga yang menyudutkannya. Menyematkan status orang gila kepadanya tanpa toleransi.
Ah, sudah itu bukan masalah besar. Pendapat yang bisa diabaikan. Sampai detik ini, Langsa tetap menunggu. Mengharapkan penjelasan atas apa yang harus dia terima ini tanpa melewatkan ibadah malamnya. Kali ini, Langsa sendirian. Tidak ada lagi sosok wanita yang akan mengamini munajatnya dari balik punggungnya.
Meskipun tinggal seorang diri dibekap kenangan tak terperih di dalam rumah, Langsa merasa itu mungkin hal terbaik yang tersisa. Sesak yang hadir ketika mengamati pigura yang membingkai dirinya dan almarhumah Bungah membuatnya tersenyum. Tusukan ngilu di dada yang mendadak hadir saat bersimpuh di atas sajadah juga mengundang tawa untuknya.
Ingin sekali rasanya Langsa menumpahkan tangis gara-gara rentetan sandiwara pilu ini. Sakit sekali ketika Langsa melirik ke sudut itu, tergambar wajah manis istrinya yang belepotan arang. Beralih ke sisi situ, pesona Bungah yang menelengkan kepala begitu aduhai. Perih sekali rasanya membekap itu semua.
Gagal adalah dinding terkokoh yang membuat Langsa menyerah untuk bersikeras menangis. Hanya tawa dan bahak bahagia saja yang menggantikannya. Mungkin, air mata Langsa sedang tertawa menyaksikan dirinya menjadi begini. Kini, Langsa memiliki edisi perseteruan antara usaha menangis yang terduplikasi tawa dan upaya tertawa yang dilumat tangis.
***
Suara ketukan pintu yang berulang-ulang membelalakkan mata sepat Langsa. Tubuhnya yang terkulai di atas sajadah dipaksa melompat. Seseorang membutuhkan kehadirannya di balik pintu. Sesuatu yang jarang—dan tidak pernah terjadi belakangan ini. Setelah mengerahkan tenaga besar, Langsa berhasil bertumpu pada kedua lututnya dan berjalan mendekati pintu.
“Lama sekali buka pintunya,” seloroh seorang kakek sambil menerobos pintu.
Bingung menampar wajah Langsa ketika dia asyik mengucek mata. Siapa orang ini?
Belum sempat bibirnya meloloskan kalimat itu, si Kakek cepat-cepat berkata.
“Saya mau bikin kopi. Belum sarapan ini. Di mana dapurnya?”
Oleh karena tidak pernah ada kepala selain kepala Langsa yang mampir, dan sebagai tuan rumah, Langsa sama sekali tidak keberatan dengan sidak si Kakek ini. Tepat saat dia menunjuk dapur tanpa diperintah dua kali langsung sigap mengarah ke sana.
Setelah menguyur mukanya, Langsa sudah mendapati si Kakek berjenggot panjang lebat warna putih, dengan garis muka yang tegas, dan sorot mata tajam meneduh itu duduk di lantai yang beroles semen tak rata. Kakek itu mengibaskan tangan saat Langsa memintanya duduk di kursi saja.
Baiklah. Orang tua itu sepertinya selalu minta dituruti. Setidaknya begitu aura yang terpancar darinya. Apalagi sejak dia berani-beraninya tanpa sungkan masuk ke rumah.
Sambil menyesap kopinya—yang seharusnya masih mendidih—kakek itu, berdeham. Batuk-batuk berat beberapa detik sebelum berkata, “Aku menerima kopi ini. Pahit memang. Tidak ada gula. Tapi itu pada awalnya saja. Toh, semakin diminum ya semakin nikmat.”
Si kakek berbaju batik lusuh warna hijau pudar dengan kopyah hitam melenceng itu kembali menyesap kopinya. Sebelum melanjutkan kata-katanya, terlebih dahulu si Kakek mencabut rokok tengwe—linting dewe, digulung sendiri. Ditancapkannya rokok di bibirnya untuk meloloskan sekepul asap memanjang.
“Sebenarnya aku ini enggak tahu mengapa kok ada di sini.” Kata si Kakek.
Langsa menelengkan kepala. Mengerutkan dahi. Ke mana arah pembicaraan ini?
“Tapi, ya sudahlah. Pangeran sing nuntun—Tuhan yang menuntun. Aku manut.”
Dengan jarinya si Kakek mengisyaratkan Langsa untuk bungkam dulu.
“Nanti sik ya. Aku belum kelar ngomong, sabar.” Kata si kakek mempertegas.
“Ngene wis—begini saja. Pahami ini saja. Gampang. Meskipun kini kau memiliki senja untuk getirmu, kau tetap harus menengadah. Karena mayapada tersingsing sudah membawakan girang untukmu. Boleh kau pakai senja untuk meringkuk, menghapus pilu. Dia tahu apa yang harus Dia berikan atas apa yang sudah kau perjuangkan untuk-Nya.”
Menganga. Langsa melongo. Wajahnya menggurat kedangkalan ilmu. Apa yang sebenarnya dibicarakan kakek ini? Dan, mengapa dia mengatakannya padaku? Perkenalan saja tidak ada. Langsung saja mencerocos macam begitu. Kulit kepala tak gatal menjadi sasaran Langsa untuk menggaruk.
Saat asap kesekian yang meluncur dari bibir hitam kakek bernuansa hijau itu pudar, si kakek melanjutkan kalimatnya, “Kau itu unya pegangan. Tinggal dipakai. Kalau sudah, coba pahami. Kalau sulit, cerna kata-kataku dulu tadi. Dan, tolong jangan buat perjalanan tiga hari tiga malam saya ini sia-sia, Nak. Setua ini disuruh jalan-jalan jauh. Gempor kakiku.”
Setelah sepanjang puluhan kata itu terserap telinganya, Langsa mengangguk setuju. Mungkin bukan sebuah kebetulan kakek ini tiba-tiba mendatangi rumahnya. Pasti ada rencana yang sedang berjalan. Namun, Langsa tidak tahu rencana apa, untuk apa, dan akhirnya bagaimana. Satu hal yang dia pahami adalah tetap menyimak kakek itu.
“Terpenting sekarang adalah iling. Mengingat. Itu kuncinya.” Kata si kakek setelah menuntaskan batuk-batuk dengan dahak yang baru dia ludahkan ke depan.
Demi mendengar kalimat itu Langsa tiba-tiba saja mendapati dadanya terasa lebih ringan. Matanya jauh dari sepat. Kepalanya minggat dari berat. Rasanya, lasat yang meliputinya perlahan-lahan mangkat.
Malang, 3 April 2020
Profil Penulis:
Gunung Mahendra, mantan ketua umum Forum Lingkar Pena (FLP) Malang, guru bahasa Jerman dan bahasa Inggris. Alumnus Universitas Negeri Malang jurusan pendidikan Bahasa Jerman. Antologi cerpen perdananya berjudul Merayu Langit (2017).