“Qish sayang, oh Sayangku….”
Suara bass yang merdu tertangkap gendang telinga Qish.
Tapak-tapak kaki mendekat. Tubuh Qish menggigil. Dia mengencangkan pegangan pada bayi laki-laki merah dalam gendongan.
Dalam jarak lima meter, aroma lembut nan menggoda itu menggelitik sel syaraf di hidung Qish. Otaknya mulai larut dalam rasa asing yang tiba-tiba kembali menyergap. Qish memejamkan mata kemudian menepisnya dengan gelengan kuat.
Saat perempuan tiga puluh tahun itu membuka mata, sesosok wajah muncul tepat di depannya. Hanya menyisakan jarak tak lebih dari lima centimeter. Darahnya berdesir. Seonggok organ berwarna merah berlompatan seolah hendak mendobrak dadanya.
Sosok lelaki itu telah sempurna menghipnotisnya. Kulit bersih. Tubuh jangkung dengan postur berisi yang atletis. Hidung bangir berpadu sorot mata elang. Lekuk rahang yang kokoh berhias serabut-serabut hitam yang tumbuh rimbun memenuhi dari bawah telinga, bagan atas bibir hingga melingkar ke bawah dagu. Qish bahkan bisa merasakan uap beraroma segar yang berdesis dari mulutnya. Seulas senyum menyempurnakan keindahan itu. Senyum yang selalu tampak menawan di mata Qish dan membuatnya lumer.
Sepuluh detik berlalu. Menyisakan tubuh Qish yang masih mematung di tempat. Lelaki yang tak ubahnya pangeran itu mencium bayi manis yang ada dalam gendongan Qish sebelum kemudian mendaratkan kecupan ringan di keningnya.
***
Inilah rumah yang dia tuju. Tempat di mana segala mimpi akan berpendar indah layaknya pelangi. Setidaknya begitulah kata sebagian besar orang. Qish berjalan menuju sebuah bangunan yang berdiri paling megah. Seorang perempuan muda berambut pendek menyapa, menanyakan keperluannya. Setelah menjawab singkat, Qish diantar bertemu wanita bertubuh gemuk yang ramah. Senyum mengembang menghiasi pipi tambunnya.
Nyonya Zhaf, begitulah dia biasa dipanggil. Wanita berambut cokelat itulah yang kemudian mengajarinya banyak hal. Di MaidsVille, sembilan puluh persen penduduknya adalah perempuan. Para perempuan di sana terlahir untuk menjadi pelayan. Segelintir perempuan datang dari berbagai penjuru mata angin untuk memutus masalah ekonomi yang menjerat leher mereka.
Kota serupa desa yang asri itu menawarkan fasilitas modern yang dikemas dalam nuansa alami. Padang hijau terhampar luas dengan bermacam tanaman dari segala jenis sayuran dan buah-buahan. Peternakannya berisi hewan-hewan dari berbagai spesies. Penduduk MaidsVille mempunyai alat-alat modern, tetapi orang-orang di dalamnya terbiasa bekerja keras dengan tangan mereka sendiri. Kerja mereka gesit. Mereka memanfaatkan alat otomatis hanya untuk pekerjaan dalam jumlah massal.
Tiga ratus enam puluh lima hari terasa singkat bagi Qish hingga akhirnya dia dinyatakan siap berangkat. Dia menikmati setiap detail pelajarannya sebagai obat pelarian dari masalahnya dengan sang mantan. Namun, Qish tidak pernah menyangka bahwa perjalanannya ke MaidsVille akan membawanya pada satu pelajaran berharga tentang betapa mahalnya harga diri.
***
Qish menghela nafas panjang sebelum rentetan peristiwa beberapa hari belakang itu menjelma kata. Wanita cantik bertubuh sintal di depan Qish mengernyitkan kening. Dia menganggap ucapan Qish barusan sebagai lelucon menyebalkan. Apa yang Qish bilang barusan? Suaminya sering menggodanya? Yang benar saja! Meskipun itu lelucon pun rasanya sungguh keterlaluan. Mana mungkin suaminya tertarik pada perempuan sekelas Qish.
Perbedaan Qish dan Nav lebih jauh dari bumi dan langit. Kulit Qish hitam terpanggang matahari sementara Nav berkulit bersih dengan kulit wajah yang merona kemerahan. Qish bermata belo dengan hidung kecil yang jauh dari kata mancung. Mulutnya berwarna gelap dan tebal. Rambut Qish berombak, mengembang tidak rapi. Tubuhnya pendek dan berisi. Sedangkan Nav serupa turunan bidadari. Matanya sayu dengan bulu mata lentik. Hidungnya lancip. Bibirnya mungil tipis berwarna merah segar. Aroma wangi selalu menguar dari rambut panjang legamnya. Postur tubuh Nav ideal dengan tinggi semampai.
Nyonya Zhaf mengatakan bahwa untuk menjadi pelayan yang baik, seseorang harus menguasai berbagai hal dasar dan bersahabat dengan alam. Untuk menyajikan makanan yang lezat bergizi, Qish harus memulainya dari menanam tanaman sendiri dan mengurus hewan yang dagingnya dia butuhkan untuk diolah. Dalam hal mengurus anak pun demikian. Setelah praktik mengurus bayi dan anak secara langsung selama sebulan penuh, ada ujian terstandar yang harus dia lewat.
“Kau pasti bohong, ‘kan? Kau sengaja mengarang cerita untuk menjelek-jelekkan suamiku, padahal kaulah yang tertarik padanya,” ucap Nav sinis.
“Saya tidak bohong, Nyonya. Saya hanya mengatakan yang sebenarnya, hak Anda untuk percaya atau tidak. Yang jelas saya sudah memberi tahu Anda seperti apa Tuan Zoe sebenarnya,” jawab Qish tenang.
“Jangan bersikap seolah-olah kau lebih mengenalnya daripada aku.” Nav memandang Qish dengan tatapan merendahkan. Dia meninggalkan jejak air cibiran di dahi Qish.
Qish mengusapnya. Dia sudah bersiap jika wanita cantik itu tidak mempercayainya, tetapi dia cukup terkejut dengan penghinaan yang dialaminya barusan. Permohonan pengunduran dirinya sebagai pelayan di rumah itu ditolak mentah-mentah. Qish dianggap membuat alasan yang tidak masuk akal.
***
“Qish, kau itu dibayar untuk melakukan perintahku!” kata Zoe, majikan Qish.
“Saya ini pelayan, Tuan. Bukan budak Anda. Jadi, Anda tidak bisa menyuruh saya melakukan sesuatu yang tidak ada dalam kontrak.”
“Hei, kau bisa mendapatkan upah lebih kalau kau mau.” Qish berpikir kritis. Hati perempuan mana yang kuasa menolak saat dihadapkan pada keindahan yang begitu nyata. Namun, saat kesadarannya masih waras, dia sebaiknya cepat pergi sebelum hatinya menguasai.
“Mohon maaf, Tuan.” Perempuan berkulit gelap itu menuju ke arah pintu.
Namun, dengan sigap lelaki yang selalu membuat degup jantungnya berdebar kencang itu menutup pintu. Degup di dada Qish kembali bertalu. Bukan karena rayuan manis atau sikap romantis Zoe, tetapi gelagat buruk yang dihirupnya lebih pekat. Zoe memang kerap melancarkan aksi yang tak jarang mengetuk relung hatinya sebagai perempuan. Qish mendapat perlakuan istimewa yang tidak pernah didapatnya dari sang mantan suami. Perempuan itu kabur dari lelaki yang suka main tangan, lari ke MaidsVille, dan kini harus terjebak dalam kandang buaya.
Zoe mengayunkan kunci lantas memasukkannya ke dalam kantong celana. Dia berjalan santai mendekati Qish. Tangannya terulur hendak meraih Qish. Tubuh Qish berkelit. Kedua matanya awas mencari celah untuk kabur. Zoe mengusap hidungnya sekilas lantas menarik salah satu ujung bibirnya. Dia tampak sudah tak sabar. Dalam hitungan detik, lelaki itu sudah berhasil menjangkau Qish. Mengunci rapat tubuhnya.
Keringat dingin bercucuran dari dahi Qish. Telapak tangannya sedingin es. Dia masih berusaha memberontak dari cengkeraman Zoe.
“Jangan takut, Sayang. Nantinya kau malah akan berterima kasih padaku.” Zoe membelai rambutnya lembut. Lengkungan manis kembali menghiasi bibirnya.
Tubuh Qish mengendur. Zoe pikir perempuan itu akhirnya menyerah. Takluk dalam pesonanya. Namun, dia salah. Saat ikatannya melonggar, Qish meloloskan diri. Dia berlari sekuat tenaga menuju jendela yang tidak terkunci dan tanpa pikir panjang melompat keluar.
Apa yang ditakutkan Qish akhirnya terbukti. Zoe memanfaatkan kesempatan saat Nav dan bayinya sedang tidak ada di rumah. Beruntung Qish berhasil kabur meski harga yang harus dibayarnya sangat mahal. Ketika sadar, Qish mendapati dirinya berada di rumah sakit. Terbaring dengan rasa sakit di sekujur tubuh. Kakinya terasa kaku dan sulit digerakkan. Dia mengalami patah kaki akibat melompat dari lantai dua.
Sekali lagi Qish beruntung karena nyawanya berhasil diselamatkan. Seorang laki-laki baik hati yang menemukannya terkapar di jalanan segera membawanya ke rumah sakit. Kali ini Qish ingin pulang. Butiran bening meluncur mulus di pipinya. Seburuk apa pun kondisi di tanah kelahirannya, akan selalu ada keluarga yang merengkuhnya menenangkan. []