Cerpen: Aku dan Pewaris Itu

208
ilustrasi: Google

Oleh: Siti Nur Halimah (STKIP PGRI Bangkalan)

Jaddih socah bangkalan

Terdengar syair lantunan selawat membahana, membangunkan aku dari tidur lelap. Jam telah menunjukkan angka sebelas, tapi aku tetap tak ingin beranjak. Suara gendang dan ketepong terus berpendar-pendar di dua telingaku, entah tak ada yang kusadari selain tempat ini. Di mana aku? Tak ada yang mampu menjawab. Kupaksa bangkit dari rasa kantukku, berjalan menyusuri jalan, tepat di suatu pedesaan aku terkaget bukan main dengan apa yang kusaksikan, berdiri banyak orang sambil melantunkan syair-syair indah. Aku sering kali mendengar lantunan-lantunan inim tapi tak pernah seindah kali ini. Terus kudengar dengan saksama setelah merasa puas. Aku meneruskan perjalananku yang belum kuketahui akan ke mana. Tak jauh dari tempat itu kudengar seseorang berbisik pada salah satunya.

“Berapa uang yang kan kamu sawer kepada pengantin baru bing?” Kurang lebih begitulah ucap seseorang tersebut.

Hedeh ngasih berapa, Buk,” katanya, setelah aku berhasil menguping pembicaraan dua orang tersebut.

Tepat di arah selatan, mereka terlihat dua orang berbusana mewah menari-nari di atas kuda yang telah dipoles dengan riasan. Kulihat banyak sekali orang menghambur-hamburkan uang ke arah mereka berdua diiringi lagu yang asing sekali. Kudengar seperti nyanyian yang berisi ucapan selamat kepada pengantin baru. Setelah lelah mencari jalan pulang, akhirnya aku menemukan sebuah tugu besar dengan tulisan “Bangkalan Kota Zikir dan Sholawat”. Aku tidak tahu tepatnya di mana aku berada. Setelah kusimak baik-baik, kulaju kakiku dengan cepat, lari sejauh mungkin dari tempat itu. Tidak, aku tidak mungkin menyakiti mereka orang-orang yang senantiasa mengingat Allah. Karena kelelahan, aku memutuskan menumpang mobil seseorang yang tak kukenal. Kuambil posisi ternyaman, lalu terlelap dengan malam.

****

Sampang Bahari

Khejungan selanjutnya akan dibawakan tandek baru kita So-fi.” Terdengar gaduh suara dari luar sana, dengan langkah terpincang-pincang ku seret tubuhku keluar dari mobil yang ku tumpangi tadi malam, amboi, seorang gadis dengan gemulai terus menari sambilngejung dengan pesona yang benar-benar mampu menghipnotis semua penontonnya, sedang Sofi tandek baru itu terus menggerakkan tubuhnya menciptakan tarian sandur yang indah diiringi klenong serta sroleng yang merdu.

Napel pertama oleh klebun karang penang persiapan klebun batu baih.” Terdengar pembawa acara memanggil peserta sanduryang akan menapel tandek dan ikut menari.

“Wah, cantik sekali tandek baru itu Sulaiman andai saja Sofi itu benar-benar perempuan aku akan menjadi lelaki pertama yang menyatakan cinta,” celoteh salah satu peserta sandur dengan pandangan yang lepas dari tandek cantik itu.

“Bodoh sekali kau ahmat tidak mungkinlah Sofi yang biasa dipanggil herman itu kan banci,” timbal sulaiman.

Wah, aku hampir tak percaya, bagaimana mungkin wanita dengan bibir stoberi, kulit putih, serta tarian gemulainya itu pemilik dua jenis kelamin. Huff, membingungkan memang tetapi sungguh aku bener-benar terkesan. Sebenarnya, tak perlu waktu lama untuk memahami apa yang sedang mereka lakukan sebab telah terekam jelas di ingatanku enam bulan lalu, aku pernah mengunjungi tempat sandur, namun bukan di desa ini. Jika tidak salah, ini tempat yang sering kali dijuluki kota “Sampang Bahari” oleh orang-orang yang tanpa sengaja kujumpai di beberapa simpang jalan. Bedanya aku baru saja mengetahui bahwa tandek pemikat hati itu adalah laki-laki setengah perempuan.

Kulihat banyak sekali kerumunan warga berpelukan serta berjabat tangan sembari menikmati khejungan dari gadis yang dijuluki Sofi tersebut. Timbul rasa jail di benakku untuk memberikan mereka pelajaran agar tidak senonoh mengadakan perkumpulan di masa pandemi ini. Kuperhatikan satu persatu dari mereka, lalu kujatuhkan pilihan kepada laki-laki lanjut usia, kutusuk ulu hatinya sampai napas laki-laki tersebut terngah-engah, namun lelaki itu tak kunjung menjauh pergi dari tempat itu.

“Dasar tua Bangka lihat aja ya, kalo kamu nanti tiba-tiba mati,” gerutuku dalam hati.

Aku memalingkan wajah dari dari tempat sandur lantas melanjutkan langkah, tetap dalam keadaan yang sama tanpa arah dan tanpa tujuan yang tepat, kulihat laki-laki tampan mengenakan celana jins mengendarai sepeda motor miliknya. Kuputuskan menumpang pada si tampan.

***

Kota Pamekasan

17.05 waktu Madura, terik matahari mulai beranjak dari singgasanya saat aku tiba di tempat ini. Kukira aku akan menemukan jalan pulang setelah menumpang pada laki-laki tampan tadi tapi tidak. Ah, sial, aku kesal bukan main ingin sekali kuhajar laki-laki berkumis tipis tersebut, namun kuurungkan.

“Kenapa kau murung sekali ?” suara tadi membuat ku terjungkal karna merasa kaget bukan kepalang, yang tak ku sangka orang yang hampir membuat jangtung ku berhenti berdetak itu adalah lotong teman karib ku yang menghilang.

“Dasar kau lotong, ngapain kamu ke sini?” jawabku ketus kepada lotong.

“Ih, sensi banget sih kamu”  jawab lotong di sertai lelucon.

 “Udah deh, aku tuh lagi kesel banget tong, suntuk, bosen” gerutuku pada teman karibku ini.

 Tanpa basa-basi lotong menyeret tangan kiriku dengan cepat hingga aku tak berkesempatan untuk mengelak.

“Lepasin gak, kamu mau bawa aku ke mana sih?” aku dengan emosi yang mulai memuncak.

“Tuh liat,” lotong sambil menunjuk sesuatu.

Aduhai, aku terkesima begitu dalam melihat apa yang lotong tunjukkan kepadaku, bola api yang nyalanya begitu besar dengan lingkaran menjulang menjadi perisai dari api yang berkobar sangat elok dipandang mata.

“Tong, ini api neraka nyasar ke dunia apa emang bener-bener apa sungguhan?” Tanpa sadar aku keceplosan mengucapkan kata-kata yang tak berkesinambungan karna begitu keterlaluan menahan  rasa takjub.

“Ya elah, kamu ada-ada ajah itu namaya api tak kunjung padam, api itu walaupun diguyur air hujan gak bakal padam loh, banyak sekali orang yang mengunjungi tempat ini samapai membakar aneka makanan seperti jagung di lingkaran api itu, bagaimana kamu suka tidak?”

“Iya, Tong, aku suka sekali tempat ini,” ucapku dengan riang.

Belum puas dengan pesona api tak kunjung padam lotong kembali menarik tangan ku untuk menyaksikan hal yang lebih menakjubkan lagi tepatnya sebuah monumen besar yang berdiri kokoh di tengah-tengah simpang jalan, aku lagi-lagi terkejut.

“Kamu tau tidak, monumen ini namanya arek lancor yang melambangkan kota gerbang salam,” Lotong menjelaskan.

“Apaan tuh kota gerbang salam kok aku baru denger Tong?” Tanya ku dengan penuh penasaran.

“Kota gerbang salam itu julukan bagi kota Pamekasan dan monumen besar tadi adalah lambang kebanggannya,” Lotong begitu riang menjelaskan kepadaku.

“Oh, gitu Tong trus kenapa di juluki kota gerbang salam?” tanyaku penuh penasaran.

 “Konon sih orang Pamekasan itu ramah-ramah selain itu kota bermonumen arek lancor ini kan juga di sebut kota pendidikan,” jelas Lotong kepadaku dengan sabar.

“Benar saja kau Tong, aku jadi ingin bertemu orang-orang Pamekasan deh,” sambutku antusias dengan pengharapan yang besar.

Setelah berbincang begitu lama Lotong mengajakku melihat pertunjukan yang tak pernah ku saksikan sebelumnya. Debur ombak yang menghampar memekan kedua telinga ku, buah-buahan yang berjejer sangat rapi di rias sedemikian rupa, bau kemenyan, dupa juga beberapa sesajen yang menjadi peserta ritual saat itu.

“Tong,diapain tuh buah- buahan sebanyak itu?” aku dengan rasa penasaran yang semakin  meningkat mulai tak sabar menunggu jawaban Lotong

“Aku jugak kurang faham sih, tapi semenjak aku menetap di sini orang-orang itu biasanya meletakkan sesajen-sesajen itu di dasar laut agar bisa di bawa ombak dan istilah ini di namakan peti’ laut oleh orang Pamekasan.”

“Oalah, begitu Tong,” balasku singkat kepada Lotong.

Dengan rasa bahagia, aku berusaha melihat lebih dekat lagi ritual peti’ laut itu, padahal Lotong sudah melarang ku tapi rasa penasaran terus menguasai diriku.

“Woy, jangan….” Aku terus melangkah menjauhi Lotong.

Alhasil miris, gelombang yang berpendar-pendar itu  juga membawa aku bersama seluruh sesajen yang telah di sediakan para petani sebagai rasa  syukur kepada sang pencipta atas karunia-Nya telah menyuburkan hasil panen mereka, sungguh malang nasib ku harus terpisah dari Lotong teman terbaik ku.

***

Pakotan Pasongsongan Sumenep

Setelah kejadian itu tak ada yang ku ingat kecuali gelombang-gelombang dan ombak yang membuat tubuh ku ambruk hingga terdampar di sisi pulau yang lain. Sejak peristiwa mengerikan itu aku benar-benar tak sadarkan diri, ombak besar telah meluluh lantakan kekuatan tubuhku. Kukira aku butuh stamina baru berat sekali membuka kedua kelopak mata, namun suara bising memaksaku tersadar dari kesialan. Yang kuharap Lotong segera datang menolongku, tapi yang kutunggu tak kunjung tunjukkan batang hidung. Jelas sekali kudengar cipratan suara banyak orang, bernyanyi-nyanyi dengan bahasa yang tak kupahami.

            Ngapote wa lajere eta ngale

            Reng majeng tantonah la pade mole’

            Mon tengguh deri ombek pajelena

            Maseh benyak a ongghu’ leh olehnah

            Duh mon a jelling odikna oreng majengan

            Abental ombek sapok angen salanjengah

Kurang lebih seperti itulah mereka bersorak ramai.

Ramah datang Kak, Ramah,” gadis kecil berkisar umur enam tahunan meloncat-loncat karna girang sambil menunjuk-nunjuk ke arah perahu yang semakin mendekati dasar pulau. Kali ini aku benar-benar sempurna berdiri tegak di hadapan mereka, sungguh aku tak mengerti apa yang ingin mereka lakukan, namun di balik ketidakmengertianku, wajah girang sempurna terlihat begitu jelas pada setiap senyumnya. Perahu itu menepi di dasar pulau, beberapa lelaki dari masing-masing perahu keluar dengan membawa ember besar. Yang membuatku bertambah bingung adalah raut wajah mereka, para lelaki yang menuruni perahu itu memiliki tarikan senyum yang berbeda, ada yang tersenyum begitu memuaskan sambil berlari ke arah keluar yang menyambut mereka, ada yang bermuka kusut dengan kepala terus menunduk. Ada apa sebenarnya? Bukankah mereka sama-sama turun dari perahu?

Nyah, maafkan aku hari ini hasil melaut saya tidak begitu banyak,” ucap seorang lelaki pada wanita yang lebih dewasa darinya.

“Tidak apa-apa cong, syukuri saja pemberian Allah, memang qudrotnya seorang nelayan kadang banyak penghasilan kadang juga tidak,” balas wanita itu sambil memeluk lelaki tersebut.

Sampai di sini, aku mengerti bahwa mereka seorang nelayan yang mencari penghasilan di pulau untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Batinku tersentak menyakitkan dengan kejadian itu. Tak terasa air mata turun begitu saja dari kedua kelopak mata. Garis lembayung di kaki langit berganti warna, membuatku  tersadar akan waktu. Entah jika kulihat banyak sekali orang berbudi di sini.

“Ya Allah, kirimkan aku kepada seseorang yang memang mencintai-Mu dan mengabdi karena-Mu,” doaku dalam hati sambil tak henti  mengusap sisa air mata sebab terlalu haru.

Kakiku terus saja ingin menapaki setiap jejak yang tersisa, berkela dengan waktu yang membawaku, kubiarkan angin sepoi dengan lembut menyeret tubuhku ke arah yang ia inginkan, aku pasrah. Tiba di sebuah jalan raya, kusaksikan seorang laki-laki gagah perkasa dengan mengenakan masker hitam menolong nenek tua yang sudah renta menyeberang jalan, aku semakin terenyuh. Allah benar-benar mengirimku pada seseorang yang berahlak mulia. MasyaAllah sungguh besar karunia-Mu, kukira dunia hanya di penuhi dengan orang-orang yang jahat, tapi hari aku saksikan salah satu hamba-Mu yang tulus menolong, terima kasih. Perlahan tapi pasti terus kuikuti langkah kakinya berjalan menyusuri jalan, ada rasa penasaran yang tak terhingga pada laki-laki solih itu, kulihat ia terus berkomat-kamit menyebut nama sang penciptanya dan bacaan-bacaan itu semakin membuatku lemah. Sungguh jika aku harus tiada karna dia, aku benar-benar rela, aku benar-benar ikhlas.

Dia berhenti di sebuah masjid, membuka kedua sepatunya, lalu meraih botol berwarna biru yang telah di sediakan oleh pengurus masjid dengan label “HAND SANITIZER”. Aku tahu jika aku tetap di sini, aku akan benar-benar mati, tapi aku tetap tak ingin pergi. Laki-laki budiman itu telah mengambil hatiku dengan segala ketakwaannya. Ingin sekali berteriak jangan, tapi ini sudah terlambat, ia juga tak mungkin mendengar suaraku. Namun, sudahlah, aku tak pernah merasa keberatan jika harus mati karena laki-laki tadi. Sungguh hari ini pun tak pernah menjadi masalah untukku, tetapi sebelum aku pergi meninggalkan dunia ini, aku hanya ingin berpesan.

“Siapapun kalian tetaplah waspada dengan situasi ini, benar saja aku kan mati, tapi banyak sekali dari anak-anakku yang tetap beraksi, tetaplah menjaga jarak (social distancing) dan patuhi protokol kesehatan karna aku ada di mana-mana, bahkan di tempat yang tak di sangka-sangka. Rajin-rajinlah mencuci tangan karena aku menyukai area di sekitar tangan mu dan jangan lupa selalu menggunakan masker ketika bepergian.”

Sebelum sempurna memejamkan mata untuk selamanya sempat kudengar di teras masjid seseorang riuh membicarakan aku, mereka juga berharap aku beserta seluruh keluargaku segera pulang. “Emmak, semoga corona cepat berlalu agar ramah bisa bekerja di kota lagi, kita jadi bisa makan enak lagi, Mak. Tika juga sudah rindu sekolah bersama teman-teman,” ucap bocah kecil sambil memeluk kedua orang tuanya.

“Yang sabar ya sayang kita berdoa sama-sama, agar virus corona segera hilang,” sambil mengelus-elus rambut anaknya.

Asal kalian tahu, kami juga merindukan rumah. Kami juga ingin pulang, tapi kalian tak pernah memenuhi protokol kesehatan. Hal itulah yang membuat kami beranak-pinak di negara kalian. Tolong kami, wahai manusia yang budiman, tetaplah dalam aturan kepemerintahan agar semua dapar terselesaikan. Salam dari kami, virus corona.

Kini aku benar-benar pergi jauh dari bumi, namun meninggalkan berjuta-juta pewaris tanpa kalian ketahui.

Catatan:

1.ketepong,klenong,sroleng (alat-alat music Madura)

2.bing (panggilan pada anak gadis di madura)

3.hedeh (kamu dalam bahasa orang bangkalan madura)

4.buk (panggilan kepada wanita yang lebih tua di madura seperti kakak )

5.nyanyah (panggilan kepada bibik)

6.kacong (panggilan pada anak laki-laki)

7.klebun (kepala desa)

8.ramah (sebutan yang paling halus kepada ayah atau bapak)

9. emmak (sebutan kepada ibu)

10.peti’ laut (tradisi orang pamekasan sebagai rasa syukur setelah panen)

11.sandur (tarian yang di iringi alat-alat music madura)

12.tandek (pemeran atau penari dalam acara sandur)

13. khejungan (lagu yang di nyanyikan berisi syair-syair berbahasa madura)

                                                                                                     

Konten sebelumnyaBilik Puisi
Konten berikutnyaCerbung: Langit Masih Biru (Bagian 1)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini