Karya Chusnul Islamiyah (FLP Tuban)
“Untuk apa aku menjelaskan perasaanku sebenarnya jika tak satu pun perkataanku sudah tak bisa kamu percaya?”
Aku menghela napas perlahan. Menguatkan kakiku melangkah menuju sebuah pintu ruangan yang paling ujung. Suara tangisan bayi lamat-lamat terdengar semakin keras saat sudah mendekati pintu ruang bersalin. Hatiku bergetar, kakiku seketika ngilu saat sudah di ambang pintu menyaksikan bayi masih basah darah yang sedang menangis di atas kedua telapak tangan bidan yang membantu persalinan. Tangan mungilnya mengepal erat mengiringi tangisan sekuat-kuatnya. Melihat sang ibu dengan keringat dan rambut berantakan menerima bayi tersebut dengan menangis haru meneteskan air mata. Ah… entah itu haru atau sedih, aku takut salah paham tentang perasaannya, yang jelas aku ikut berkaca-kaca dan tak sanggup membendung, pecah juga tangisku.
“Selamat, Mbak… bayinya perempuan,” ucap Bidan sembari meletakkan bayi yang masih terus menangis itu tengkurap diatas dada ibunya .
“Sudah jadi Ibu, kamu Nduk…,” ucap perempuan paruh baya, dengan gemetar yang berdiri di sampingnya.
Aku tak tahan lagi berlama-lama di sini. Kuseka air mata di kedua sudut mataku dan urungkan niat untuk menyapa Novi, kekasihku, dan bayi mungil kami. Kuangkat seribu langkah menjauh dari ruang bersalin, melewati ruang yang banyak jendelanya, sesekali kulirik bayanganku yang terpantul di jendela tiap tiap ruang yang kulewati membuatku muak dengan diriku. Aku remaja masih berusia tujuh belas tahun yang baru saja beberapa menit seharusnya sudah dipanggil “bapak” dari bayi mungil perempuan tadi. Namun, dengan segala kemampuan dan keterbatasan oleh kuasa orang tua, aku memang pantas disebut pengecut.
Ku terngiang perkataan Ayah agar aku tak mengunjungi Novi maupun keluarganya semenjak tahu Novi hamil sudah enam bulan. Menurutnya, Novi telah merusak masa depanku demi ingin agar menjadi istriku dan menguasai harta yang sudah Ayah siapkan untukku. Rumah mewah, mobil, dan segala fasilitas yang Ayah berikan padaku di usia yang sangat muda, masih duduk di bangku SMA. Kesedihan semakin kencang menghantam saat Ayah juga memiliki pikiran untuk menggugurkan kandungan Novi. Namun, aku sampaikan pada Ayah akan tetap menikahi Novi dan tetap menjaga bayi yang dikandungnya. Terkadang aku tidak tahu harus melakukan apa sebenarnya. Apa itu menikah, aku pun kurang paham harus bagaimana. Tapi itulah sepertinya solusi yang paling baik yang harus aku lakukan.
Keadaan berkata lain, ayahku mengancam untuk tidak akan memberikan apa pun kepadaku, bahkan mengusirku dari rumah jika sampai aku berani menemui Novi, apalagi menikahinya. Ibuku sakit lumpuh sudah tiga tahun, tidak mungkin aku meminta bantuan padanya. Bercerita tentang kasusku pun aku tak kuasa. Ayah dengan wewenangnya pun menikah lagi dengan janda depan rumah. Hari-hariku seperti berada di dalam labirin yang rumit dan gelap, aku bingung harus bagaimana.
Sampai dua hari menjelang hari bayi mungil itu menghirup udara di dunia, aku bergegas menemui Novi. Di rumahnya.
Tiga bulan silam di ruang tamu rumah Novi.
Bedanya sudah tidak ada ketegangan di raut wajah bapak Novi, tapi juga tak seramah pada awal ku berteman dengan Novi. Canggung aku harus memulai basa-basi seperti apa dan begitu keluar dari mulutku sebuah perkataan:
“Apa kamu baik-baik saja?” Rasanya jika kalimat itu bisa terlihat keluar dari mulutku dan bisa kuambil lagi dan kumasukkan lagi ke dalam mulutku, kutelan dalam-dalam sampai ke dasar lambung tidak akan kukeluarkan. Kalimat pembuka yang salah.
“Maksudmu apa tanya begitu? Bohong jika aku baik-baik saja!” jawabnya ketus. Dan aku sudah menyangka.
“Maksudku bukan begitu…. Aku minta maaf, Nov,” jawabku membuat lengkungan simetris yang dulunya menghiasi raut wajah manis itu semakin elok kini sudah berbeda senyumnya. Sinis
“Aku mungkin adalah perempuan terbodoh yang ada di muka bumi ini, Junio! Tapi sebodoh-bodohnya aku, aku akan menjaga bayi ini meskipun sendiri! Kata maaf saja darimu tidak bisa membantu aku melewati semua waktuku sampai saat ini sendiri!”
“Novi, kamu harus percaya janjiku kali ini.”
“Seandainya aku punya keberanian waktu itu menjawab hinaan dari ayahmu tentang aku yang kegirangan hamil untuk bisa menjadi istri dan menikmati harta ayahmu. Aku hari ini tidak akan sesesal ini!”
“Maafkan ayahku, Nov, dan yakinlah, aku akan kembali saat nanti aku bisa kembali dengan kekuatan dan wewenang penuh atas kehidupanku.”
“Jangan memberiku harapan yang aku tidak tahu itu benar akan sesuai atau tidak!”
Novi memalingkan pandangan. Rasanya luka dalam dada ini semakin menganga melihat Novi begitu kecewa padaku, dan sudah tidak ramah dan tidak memercayaiku.
“Baiklah Nov, tunggu hari itu tiba. Bolehkah aku sedikit ceritakan langkahku selanjutnya?”
“Pulang saja, aku lelah ingin istirahat!” lalu ia dengan badan yang melebar dan perut buncit berjalan perlahan masuk ke dalam kamar pelan dan terlihat begitu berat. Aku pulang membawa kesesakan.
Azan Subuh berkumandang, bertepatan dengan nada dering telepon di handphone-ku berbunyi. Jeri, temanku yang juga tetangga Novi meneleponku, menyampaikan kabar bahwa Novi sekarang dibawa ke rumah bersalin segera melahirkan. Secepatnya aku melompat dari kasur, beranjak wudu dan berbegas keluar mengendarai motor ninja Kawasakiku keluar dengan memakai baju koko. Tak seperti biasanya aku tidak pernah salat berjamaah Subuh di masjid, kali ini aku izin ke ibu tiriku yang kebetulan sudah bangun untuk keluar salat Subuh berjamaah di masjid yang jaraknya dua kilometer dari rumah. Alasanku sebagai tugas pelajaran agama di sekolah baruku. Ya, aku melanjutkan sekolah di sekolah swasta yang sudah diberikan uang upeti ratusan juta oleh Ayah, sehingga aku bisa melanjutkan jenjang SMA-ku.
Setelah salat Subuh, aku pun mengunjungi rumah bersalin yang diinfokan oleh Jeri.
Hatiku tak berbentuk lagi
Tetapi mati jua tak mengobati
Keburukan selalu mengintai kebaikan
Namun kebaikan tak sekalipun menyertai keburukan
Keburukan itu tak mendatangkan kebaikan sedikitpun.
Aku memaksa tegar demi mewujudkan janjiku
Berusaha mencari jalan keluar dari labirin yang rumit.
Pasti kutemukan kebahagiaan kita nanti diujung penantianmu. Nantikanlah aku….
Sampai jumpa di babak kehidupan baru yang bahagia
Doaku
Dari Junio, kekasihmu
Kutitipkan surat itu kepada Jeri untuk kekasih hatiku yang tak akan pernah tergantikan. Aku janji. Sampai jumpa, Novi.
Tuban, 13 Juni 2022
Ditulis oleh perempuan manis yang bernama Chusnul Islamiyah pada ruang 3×3 m ruang kerjanya pada malam yang dingin, sunyi selepas hujan syahdu.
Cerpen yang syahdu…..Barakallah mbk Iis.
Pesan moral yang dalam.
Menjadi bahan literasi bagi pelajaran.
Kembangkan terus karya-karyanya kawan.
Tebar manfaat tuai pada waktu yang indah.