Cerbung: Langit Masih Biru (Bagian 2)

132

Oleh: Ikriima Gani

Bagian sebelumnya

Angin, engkau membawa gigil

Hujan, engkau memberikan getar

Jiwa, engkau teramat kerdil

Dan asa, engkau dituntut untuk terus berkobar

***

“Ibu bisa memilih rumah sakit tujuan. Apakah mau dirujuk ke RSUD, RSA, atau RSB?”

Aku terperanjat mendengar ucapan seorang petugas di ruang pemeriksaan satu. Sebelumnya aku diminta membawa lembaran untuk tes gula darah, kadar asam urat, dan kolesterol. Setelah menerima hasilnya yang semua normal. Lembar itu pun aku serahkan kepada dokter Diana Ekowati, nama yang tertera di ruang bernomor 10. Ruang pemeriksaan satu.

Sesaat aku disergap rasa bingung, “Apakah memang harus dirujuk ke rumah sakit, Bu Dokter? Tidak bisakah diobati di puskesmas saja?” Perasaan tak bisa kujelaskan dengan kata.

“Semua keluhan yang Ibu sebutkan itu harus diperiksa lebih lanjut. Apalagi jika melihat hasil laboratorium ini,”  Dokter cantik iti menunjuk angka-angka yang di lingkari pada lembar yang baru saja, aku serahkan, “di sini hasilnya menyatakan bahwa semua normal,  tetapi….” Dokter wanita yang baru beberapa bulan menjalani dinas di puskesmas itu menggantungkan kalimatnya.

Hatiku mulai ketar-ketir. Bayangan rumah sakit dengan segala protokol ketat saat ini. Beberapa waktu lalu saat anak sulungku liburan akhir semester kami harus membawanya ke rumah sakit Bhayangkara untuk menjalani tes Rapid antigen sebelum kembali ke pondok. Jadwal dan jam yang ditentukan tidak boleh dilanggar untuk menghindari kerumunan massal.

“Bagaimana, Bu?” Kembali petugas yang duduk beradu punggung dengan dokter itu bertanya.

“RSA saja, Bu.” Kalimat itu akhirnya meluncur. Beberapa kalkulasi berlarian di kepala. Ada, trauma jika harus ke RSUD.  Suasana RSB terasa sempit dan keterbatasan tempat parkir. Sementara RSA dikenal dengan pelayanan yang lebih baik dari berbagai faktor.

“Hem.  Sekarang hari Jumat, besok Sabtu tidak ada jadwal praktik. Jadwal tercepat di RSA itu dengan Dokter Sunarto untuk jadwal praktik hari Senin jam 05.00. Bagaimana, Bu?”

“Jam 05.00, pagi?  Saya harus berangkat dari rumah jam berapa kalau begitu?” Aku semakin kaget.

“Terserah bagaimana Ibu bisa mengatur waktu.”

Saat itu yang terlintas di kepalaku adalah pilihan yang serba sulit. Kondisi jembatan penghubung antara kabupaten Bojonegoro dan Tuban yang dekat dengan desaku saat ini sedang dalam masa perbaikan. Butuh waktu lama untuk perbaikan.

Aku bukan orang yang berani untuk melewati jalur air dengan naik titanic, begitu sebagian orang menyebut nama lain untuk jalur perahu tambangan. Jalur alternatif lain yang ada melalui hutan dan rute yang naik turun. Sepertinya aku tidak cukup berani untuk mengambil risiko ini. Akhirnya kuputuskan untuk memilih rute aman meskipun itu sangat jauh.

“RSA itu rumah sakit swasta, Bu. Jadwal yang tertera di komputer begini. Kalau ibu keberatan bisa pindah ke RSUD.”

“Tidak! Tidak perlu.” Secepat mungkin aku menyanggupi dengan anggukan kepala.

Aku menerima lembar surat rujukan itu dan menyimpannya dalam tas kecil yang selalu kubawa.

Ada hangat yang tiba-tiba mengaliri kedua belah pipi. Bagaimana harus kuceritakan hal ini kepada anak-anakku. Terutama si bungsu yang saat ini tinggal bersamaku. Kakaknya sedang menempuh pendidikan dan tinggal jauh dari kami.

Setelah lama berpikir, hari Minggu saat bungsuku libur sekolah, aku mengajaknya belanja kebutuhan bulanan dan beberapa makanan ringan. “Pilih apa yang kamu suka,  Nduk. Jangan lupa pilih beberapa barang untuk keperluan kakak di pondok.”

Dia cekatan memasukkan beberapa susu kotak. Susu kemasan sachet, coklat untuk dia dan putih untuk kakaknya. Biasanya,  satu kali dalam sebulan akan ada jadwal pengiriman barang.

Setelah cukup di lorong berisi deretan susu,  kami berpindah ke deretan makanan ringan Dia mengambil dua kemasan happytoz rasa jagung untuknya dan barbeque untuk kakaknya. Dia juga menunjuk deretan Oreo di sampingnya dan aku mengangguk lesu.

“Apakah ibu masih kuat berdiri? Wajah ibu pucat. Keringatnya sudah muncul sak jagung-jagung.” Dia meniru gaya bicaraku.

Aku mengangguk,” Ibu bisa bersandar di kereta dorong ini ‘kan? Ternyata dia bisa dialih fungsikan sebagai tongkat penyangga.”

Wajahnya berkerut dengan bibir mengerucut, “Bercandanya tidak lucu.”

“Sungguh, Ibu tidak apa-apa. Lanjutkan belanja! Kita masih harus membeli sereal, bubur ayam instan, kecap dan yang paling penting ….”

“Keperluan kamar mandi,“ tukasnya cepat sebelum aku dapat menyelesaikan kalimat.

Aku mengangguk dan tertawa kecil, “Pintar.”

Kedua anakku adalah anugerah terindah dalam hidup. Mereka, saking melengkapi satu dengan yang lainnya. Meskipun saat berkumpul mereka sering bertengkar.

Bayangan wajah teduh si sulung yang mondok di bagian barat kota Tuban tiba-tiba melintas. Cita-citanya yang mulia untuk menjadi hafiz Qur’an. Semoga Allah mudahkan. Tanpa terasa mataku kembali menghangat.

Bungsuku tampak sangat ceria hari itu. Saat mengeluarkan barang-barang  belanjaan, bibir mungilnya tiada henti berceloteh. Entah dari mana dia bisa mengoleksi cerita tentang banyak hal yang mengundang tawa dan menggelitik rasa.

Hingga pada sore harinya, setelah pulang dari tempat belajar Al Qur’an, kami duduk-duduk di teras. Bersantai menikmati kudapan. Sambil melihat kendaraan yang melintasi jalan dan menikmati angin yang membelai dedaunan. Sejenak aku menatapnya dengan serius.

“Dengarkan ibu sebentar ya, Sayang. Besok setelah subuh Rani tidak boleh rebahan lagi. Ibu khawatir nanti kamu terlambat ke sekolah. Besok ibu buatkan Goodday cappucino kesukaanmu supaya tidak mengantuk lagi, ya?”

“Siap, Bu. Aku memang ada tugas yang belum selesai juga. He hee heee…” Bibirnya terbuka memamerkan deretan kecil yang putih.

Aku sedikit terperangah.

Dia mengangkat tangan, “Tidak apa-apa, Bu. Tugasnya dikumpulkan pada hari Kamis. Aku hanya ingin memulai lebih awal.”

Aku menarik napas lega, “Begini,  Nduk! Besok, pagi-pagi sekali. Setelah subuh, Ibu harus pergi ke rumah sakit Aisyiyah. Jadi Rani tidak boleh tidur lagi setelah subuh.  Ingat, sama sekali tidak boleh, ya?”

Bungsuku itu mengangguk dengan sendu. Tanganku terbuka dan dia menyelusup ke dalam dekapan. Lama kami saling berpelukan.

Senja yang temaram menjadi kian lengang. Bahkan angin pun seolah menghentikan desaunya kala itu.

Aku melihat pohon-pohon yang berderet di samping dan halaman rumah. Daun-daun yang jatuh tidak pernah membenci angin, dia membiarkan dirinya luruh, gugur begitu saja. Tidak pernah melawan dan mengikhlaskan semua. Aku mencoba belajar menerima keadaan ini.  Besok aku pun harus belajar dati dedaunan ini. Tidak melawan. Namun, akan terus berikhtiar untuk menemukan jalan keluar.

Aku mencoba belajar bahwa pada hakikatnya dalam hidup ini kita harus menerima dan memahami bahwa penerimaan itu akan menghilangkan rasa resah.

Kita juga harus belajar  bahwa dalam hidup kita dituntut untuk mengerti situasi dan kondisi, karena pengertian ini yang akan membawa kita kepada kebenaran.

Belajar terus dan terus belajar bahwa dalam hidup kita harus memahami dengan pemahaman yang tulus. Hal itulah yang akan menjadikan hati ikhlas menjalani. Apa pun yang menjadi garis tangan dan suratan takdir kehidupan ini.

 Entah  bagaimana atau dengan cara apa penerimaan, pengertian, pemahaman ini datang. Tidak masalah meski lewat kejadian yang sedih ataupun menyakitkan seperti yang harus kualami kini. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawa pergi entah ke mana. Aku akan berusaha kokoh seperti pohon itu.

Belajar dari Bang Tereliye yang menuliskan bahwa ‘Daun yang jatuh tidak pernah membenci angin’.

Bersambung.

Ikriima Ghani adalah nama pena dari Siti Romlah. Berdomisili di Tuban, Bumi Wali. Menulis adalah suatu hal yang disukai sejak lama tetapi baru berani berkarya dalam bentuk antologi ketika usia mulai senja. Penulis bisa disapa lewat FB dab IG Asmarani Syafira
Konten sebelumnyaJujur itu Mujur
Konten berikutnyaCernak: Kamu Pasti Bisa, Bebi!

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini