Flpjatim.com,- Adalah Imam asy Syaibani, salah satu dari murid Imam Abu Hanifah. Nama lengkapnya Muhammad bin Hasan asy Syaibani, sosok ulama yang terkenal cerdas dalam ilmu tata bahasa, fikih, dan juga ushul. Beliau juga merupakan sosok yang sangat berjasa dalam menyelamatkan Imam Syafi’I dari jeratan hukum Kholifah Harun al Rasyid, ketika difitnah oleh kaum pemberontak.
Ketika Imam Syafi’i dibebaskan dari hukuman, Imam Syafi’i tidak lantas pulang menuju Makkah, kampung halamannya. Sifat Imam Syafi’I yang selalu haus akan ilmu mendorongnya untuk menemui Imam asy Syaibani guna menimba ilmu dari beliau. Imam asy Syaibani yang mana merupakan salah satu pembesar Madrasah Ahli ar Ro’yi yang bermukim di Iraq dan Imam asy Syafi’I yang merupakan didikan Madrasah Ahli al Hadits yang bermukim di Hijaz, sepertinya ada yang aneh dalam proses belajar-mengajar yang nantinya akan terjadi di antara dua sosok ini.
Jika kita melihat dari kacamata kekinian dengan melihat fakta yang terjadi, bagaimana mungkin dua sosok yang sangat bertolak belakang background ini bisa saling mengisi, saling berbagi, dan saling menerima satu sama lain? Saya tidak mengatakan jika kedua madrasah ini saling bermusuhan. Tidak. Hanya saja, memang pemikiran kedua madrasah ini berbeda. Tentunya karena adanya suatu alasan yang mendasarinya. Madrasah Ahli al Hadits berpegang pada nash-nash Hadits dalam menetapkan hukum karena banyaknya periwayatan hadits yang mengalir di wilayah Hijaz, berbeda dengan Madrasah Ahli ar Ro’yi yang berpegang pada akal dengan kiyas dan sejenisnya dalam menetapkan hukum karena sedikitnya periwayatan hadits yang sampai di wilayah Iraq.
Dan juga karena pada masa itu banyak bermunculan para pemalsu Hadits. Apa yang terjadi? nyatanya, di sini, Imam asy Syaibani dengan keluasan serta ketulusan hatinya, mampu menerima Imam Syafi’I yang notabenenya berseberangan dengan pemikirannya, sebagai kawan belajarnya. Begitupun Imam Syafi’I, rasa keingintahuannya yang tinggi mampu melepaskan diri dari sekat-sekat yang memang seharusnya tak mengikatnya. Karena memang kebenaran adalah haq dan bisa didapat dari segala jalan dan arah. Kebenaran tak hanya ditemukan dari jalan kita saja dengan selalu berkeyakinan jika pendapat kita paling benar. Tapi kebenaran juga bisa didapat dari jalan orang lain, jika kita mau menerima dan menelaah pendapatnya.
Rupanya, ketulusan Imam asy Syaibani dalam mendidik Imam Syafi’i tidak hanya bualan atau rekaan manis muka saja. Hal ini dibuktikan dengan peran serta kesungguhan Imam asy Syaibani dalam mendidik Imam Syafi’i. Kesungguhan yang ditampakkan oleh beliau tidak hanya terbatas dalam pemberian materi ilmu dan menemaninya, tapi juga dengan melapangkan Imam Syafi’i dalam urusan harta dan biaya dengan memberinya sejumlah uang yang cukup untuk kelangsungan hidup Imam Syafi’i di Baghdad.
Di samping itu, demi mendidik Imam Syafi’i secara khusus, Imam asy Syaibani sering meluangkan waktunya, bahkan tak jarang beliau meninggalkan majelis-majelis yang digelar kholifah hanya agar bisa berdiskusi dengan Imam Syafi’i dan saling bertukar pikiran dalam segi keilmuan.
Satu poin akhir yang mungkin bukan terakhir tentang ketulusan Imam asy Syaibani dalam mendidik Imam Syafi’i, lumrahnya seorang murid yang juga memiliki banyak pengetahuan, Imam Syafi’I seringkali harus mendebat Imam asy Syaibani dalam beberapa permasalahan. Di sini, background mereka berdua mulai muncul ke permukaan, karena kedua madrasah yang menaunginya berbeda pemikiran.
Seringkali keduanya harus terlibat dalam perdebatan dan saling memberi pendapat berikut dalilnya. Jika ditarik dalam fenomena umat masa kini, mungkin benak kita akan membayangkan keduanya berdebat sengit dan saling bantah-membantah dengan raut muka merah karena pendapatnya dikatakan kurang benar serta membela mati-matian dasar pemahamannya. Apalagi memang secara pemikiran, keduanya berbeda pegangan.
Tapi apa nyatanya? Keduanya sama-sama bijak dan bisa menerima jika pendapat mereka salah. Ketulusan Imam asy Syaibani semakin tampak dalam hal ini. Beliau seringkali mengakui pendapat dan pemikiran Imam Syafi’i yang memang berasal dari didikan Madrasah Ahli al Hadits. Dalam hal sikap yang tampak, Imam Syafi’i sangat takjub kepada Imam asy Syaibani, karena selama beliau mendebat dan menolak pendapat Imam asy Syaibani yang bersumber dari Madrasah Ahli ar Ro’yi, Imam Syafi’i tak pernah melihat sekalipun perubahan raut muka di wajah Imam asy Syaibani.
Tak ada warna merah, entah marah atau malu, tak ada rasa jengkel ataupun dendam dalam diri Imam Asy Syaibani. Yang ada justru rasa legowo dan mampu menerima dengan seulas senyum yang sedari awal selalu menghiasi bibirnya. Hal ini seperti pengakuan Imam Syafi’i dalam perkataannya, “Aku tidak pernah melihat seseorang yang tidak berubah warna mukanya ketika aku beri pertanyaan, kecuali Imam Muhammad asy Syaibani.”[1]
Ketulusan itu juga nampak dalam diri Imam Syafi’i yang pada akhirnya nanti menggabungkan antara dua madrasah ini dengan mengambil kebenaran dari Madrasah Ahli al Hadits dan juga Madrasah Ahli ar Ro’yi dalam hukum-hukum yang ada di dalam madzhabnya. Kawan, bisakah kita mengambil kesimpulan? Andaikata umat sekarang mampu meniru dan meneladani mereka berdua, betapa tenteramnya hidup ini.
Saling menerima pendapat, mau mengakui kesalahan dan tidak gengsi mengakui kebenaran. Tapi fakta yang terjadi, umat masa kini justru saling menyalahkan dan merasa dirinya paling benar. Kebenaran haq yang mutlak seolah hanya ada dalam genggamannya. Kesalahan haq yang mutlaq seolah ada pada sosok yang berbeda pikiran dengannya. Andai, andai dan andai mereka bisa menjejak jalan asy Syaibani dan asy Syafi’I dalam menghadapi hidup yang penuh perbedaan ini.
Sekali-kali, menoleh kepada masa lalu juga penting. Untuk menemukan cahaya teladan sebagai bekal muhasabah diri demi cahaya masa depan di hadapan nanti. Karena memang sekali lagi, kebenaran yang haq bisa di dapat dari mana saja. Dari masa lalu, masa sekarang ataupun masa depan. Dari atas, dari bawah, dari depan, dari belakang ataupun dari samping. Dalam pendapat kita, ataupun dalam pendapat mereka. Waallahu a’lam bis showab.
[1] . Ash Shoimari, Akhbar Abi Hanifah wa Ashabihi (Hal. 129)
Penulis:
Adly Al-Fadlly Usmunie, Divisi Humas FLP Jawa Timur