Tahun 2015, saat itu masih booming batu akik di Indonesia. Aku masih semester 3, saat Mike – mahasiswa program pertukaran pelajar dari Inggris – bergabung di kelasku, jurusan Antropologi Budaya. Singkat cerita, dengan sedikit kemampuanku ber-cas cis cus kami menjadi akrab. Pada liburan akhir semester itu, Mike bermaksud ikut aku pulang. Selain ingin melihat lebih dekat potret desaku, Mike juga tertarik mencari rough bahan batu akik di sungai Klawing. Dia berencana menulis batu akik sebagai materi laporan di akhir semester 4, untuk kampusnya di Inggris. Ketertarikannya berawal saat melihat antusiasme masyarakat pada pembukaan Jogja Gemstone Center beberapa waktu lalu.
Namaku Tono, tinggal di Desa Bojong, Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga. Rumahku berjarak kurang dari 5 km dari sungai Klawing. Hari ini adalah hari ke-2 Mike dan Antok – teman kami juga – menginap. Mike terlihat sangat bersemangat, karena kami akan pergi ke sungai Klawing, berburu rough bahan batu akik. Kami sengaja berjalan kaki.
Sepanjang perjalanan, Mike terlihat sangat menikmatinya. Langkahnya seringkali tertinggal, karena ketertarikannya untuk memperhatikan hal baru yang dijumpainya. Setelah aku dan Antok mencapai bibir sungai, beberapa puluh meter di belakang kami, tiba-tiba saja Mike berteriak. Dia bilang menemukan batu aneh. Sontak aku segera balik berlari mendekatinya. Siapa tahu ada seseorang tak sengaja menjatuhan batu berharga miliknya. Setelah dekat dan memperhatikan apa yang dipegang olehnya, aku hanya bisa tertawa. “No, Mike. These are not gems. These are goat dung. Itu kamu lihat, ada segerombolan kambing di sana, mungkin tadi mereka yang buang kotoran di sini.”