Malam itu adik Indy merengek minta makan. Sepiring porsi terakhir sudah habis Indy lahap. Apesnya, malam itu para pedagang kaki lima yang biasanya lewat di depan rumah tak kelihatan satu pun. Jadilah Indy harus membeli makanan untuk adiknya. Warung satu-satunya yang selalu buka hingga larut malam adalah warung penyetan di ujung gang.
Indy harus melewati sebuah gang selebar dua meter yang tampak lengang dan minim pencahayaan. Saat gadis itu melangkahkan kakinya lebih jauh, ia mendapati lima orang laki-laki yang bergerombol. Semuanya berwajah seram dengan cambang dan kumis tebal. Beberapa di antaranya memiliki tato di lengan. Indy terpaksa melewati para pria itu sembari terus berdoa dalam hati. Indy sebenarnya ingin berbalik dan kembali pulang. Tapi, omelan ibu pasti menunggunya kalau ia pulang dengan tangan kosong.
Setengah berlari, gadis itu menuju ke arah warung. Ia memesan nasi ayam penyet lalu bergegas membawa bungkusan keluar warung. Saat kembali melewati gang, Indy merasa ada yang mengikutinya. Keringat dingin membasahi telapak tangannya. Jantungnya berdegup tak karuan. Gadis itu mempercepat langkahnya. Mulutnya komat-kamit. Sosok tinggi besar di belakang betul-betul mengejarnya. Orang itu mengacungkan golok yang dipegangnya. Wajah Indy berubah pias. Ia mengambil langkah seribu. Namun, sebuah cengkeraman erat di lengan membuat gadis itu menjerit kencang. “Mbak, nasinya belum dibayar,” tegur suami pemilik warung yang buru-buru mengejarnya. []