Cermin yang Mudah Retak

83
Oleh : Sri Hidayati Nur
Divisi Humas FLP Jawa Timur

Anak-anak ibarat sebuah cermin,
Potret akhlak yang ada dalam diri mereka,
Adalah cerminan bagi lingkungan sekitarnya,
“Mas Farrel, ngaji yuk” ajakku santai. kusandarkan tubuhku pada kursi ruang tengah.
Sepi, tak ada tanggapan. Dia terus memainkan mainan kayu di tangannya.
“Mas Farrel, ayo ngaji sayang, anak sholih….” ajakku lagi, namun tetap saja tak ada respon.
Kulangkahkan kaki mendekatinya, kubelai pelan rambut klimisnya.
“Mas Farrel, ngajiku yuk” ajakku lagi.
Bocah 6 tahun itu melihat kearahku. Tatapannya kosong seolah menyimpan sejuta rasa yang tak mampu ia keluarkan.
“Nggak ah, aku kan anak pemalas” katanya manyun. Tangannya kembali memaikan mainan balok kayunya.
“Deggg!” aku tersentak kaget. Sejenak aku terdiam mendengar kalimat terakhirnya.   
Berbagai rasa berkecamuk di hatiku, pikiranku entah kemana. Ingatanku tiba-tiba berjalan pada sebuah kejadian beberapa hari lalu. Di mana saat itu ia ngambek tak mau mengaji, lantas salah satu orang rumah mengatakannya sebagai “Anak pemalas”. Ya, “Anak Pemalas!”
Aah… kenapa kata-kata itu harus dilontarkan padanya? Kata-kata itu kini membekas dalam memori ingatannya dan menorehkan sejuta luka di hatinya. Entahlah..
“Mas Farrel, Mas Farrel anak yang rajin kok. Mas Farrel itu anak yang sholih. Ini Mas Farrel sudah mau ngaji, mau belajar”
“Sini dibantu ustadzah untuk merapikan mainannya ya?” kataku pelan.
Aku lalu mengambil sebuah tas plastik tempat mainan. Pelan kumasukkan mainan kayu yang berserakan di sekitar tubuh mungilnya.
“Ngga usah ustadzah. Nanti aku masih mau maen lagi kok” katanya sembari menyunggingkan senyum manisnya. Senyum manis yang jarang sekali kutemui pada raut wajah yang kosong.
Kejadian ini, mungkin hanya satu kejadian dari sekian banyak ekspresi orang tua kepada anak-anak. Masih banyak di luaran sana anak-anak yang mendapatkan perlakuan kasar, dibentak, dibandingkan, diomeli ketika salah. Padahal mereka hanya jiwa-jiwa suci yang sedang berpsoses menuju pendewasaan.
Rasulullah sendiri tidak suka marah dan mencela prilaku anak-anak. Seperti yang dijelaskan dalam buku Propethic Parenting Karya Dr Muhammad Nur Abdul Hafizh, bahwa Anas radhiyallahu ‘anh yang menjadi pembantu Rasulullah selama sepuluh tahun beruntun menjelaskan tentang pendidikan Rasulullah SAW,
Diriwayatkan oleh Ahmad Bin Anas radhiayallahu ‘anh, ia berkata “Aku menjadi pembantu Nabi saw selama sepuluh tahun. Tidaklah beliau memberiku perintah, lalu aku lama mengerjakannya, atau tidak aku kerjakan sama sekali, melainkan beliau tidak mencelaku. apabila ada salah satu anggota keluargaku yang mencelaku, beliau bersabda “Biarkanlah kalau dia mampu, pasti dilakukannya”
Anak-anak sebuah seperti cermin, yang mudah tergores dan retak bahkan pecah. Jika sudah seperti itu, maka mau di sambung seperti apapun akan tetap berbekas. Maka sudah sejatinya kita berhati-berhati dalam berucap dan bersikap terhadap anak-anak kita. Karena bisa jadi apa yang kita lontarkan pada mereka adalah doa. Padahal Rasulullah sendiri tidak pernah marah apalagi mencela mereka. Beliau lantas mengganti celaan atau doa buruk itu dengan mendoakan kebaikan bagi mereka. Karena bisa jadi celaan dan doa-doa yang buruk itulah yang menjadi sebab rusaknya akhlak anak-anak kita.
Wallahu a’lam bish-showab


Konten sebelumnyaSillaturrahmi Pertama Pengurus FLP Jatim ke Cahaya Pustaka
Konten berikutnyaKata Siapa Menulis itu Susah? : Keseruan Workshop Menulis Sehari Langsung Jadi bersama FLP Sidoarjo dan Penerbit Satoe

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini