[Cerpen] Menjadi Saksi

112
flpjatim.com,- Setelah dinyatakan bebas dari penjara, Bahar kebingungan di pojok ruangan. Entah apa yang ia akan jawab ketika ada pertanyaan misterius dari tetangga yang mungkin bisa mengusik hidupnya. Dalam pikirannya, hanya ada dua pilihan: berkata jujur atau bunuh diri.
“Ayo pulang, Mas!” Sinta menghampirinya.
“Lebih baik aku habiskan sisa hidupku di penjara ini, Dik,” Bahar menolaknya.
Kali ini Sinta mengambil nafas panjang. Ia tak paham dengan sifat suaminya si Bahar yang tergolong aneh. Selama ini, meskipun Bahar mempunyai perangai yang keras, ia tidak pernah menolak apa yang dikatakan Sinta. Untuk kali ini, terasa beda. Mungkin terpengaruh kurungan 2 tahun penjara.
[Cerpen] Menjadi Saksi
Foto hanya ilustrasi
Meskipun dibujuk untuk sekian kalinya, Bahar tetap bersikukuh tetap mau hidup selamanya di penjara. Sinta tidak punya cara lain, hingga akhirnya kepala lapas tempat Bahar di penjara menyarankan Sinta agar pulang dulu. Beri waktu kepada Bahar agar bisa menenangkan pikirannya. Setelah 3 hari, bisa mencoba lagi membujuknya untuk pulang.
Memang tidak mudah mengembalikan reputasi yang terlanjur hancur. Dua tahun yang lalu, Bahar ditangkap basah polisi karena terbukti mencuri kabel listrik milik PLN. Untung pada saat itu Bahar bisa segera diamankan oleh polisi sebelum amukan massa menghujamnya yang sudah pada emosi. 
Setelah melalui proses yang cukup panjang, akhirnya Bahar divonis 2 tahun penjara. Tentu itu adalah waktu yang lama bagi narapidana harus mendekam di ruangan sumuk. Tapi bagi Bahar, 2 tahun cukuplah singkat. Bahkan saat sidang putusan vonisnya, ia terang-terangan meminta agar Ia dihukum seumur hidup. Cukup aneh memang, tetapi dalam pikiran Bahar saat itu, reputasi yang terlanjur hancur hanya bisa disemai kembali dengan mendengkur di balik jeruji besi sampai ajal menjemput.
***
Tiga hari berlalu, Sinta kembali ke lapas tempat Bahar ditahan. Ia tidak sendirian, melainkan bersama Hendri yang merupakan Kepala Desa kampungnya. Ia berharap kedatangannya bersama pak Hendri bisa membujuk Bahar agar mau pulang.
“Bagaimana kabarnya, pak Bahar?” Hendri memulai percakapan. 
“Baik,” jawab Bahar singkat. Ia tetap merenung di sudut ruangan. Posisinya pun persis seperti tiga hari yang lalu.
“Ayo pulang, Bang. Anak-anak kita mulai menunggu kedatanganmu dari kemarin,” ujar Sinta.
Bahar tidak menjawab ajakan Sinta. Ia membatu disudut ruangan lapas. Semua sunyi. Sinta menangis. Bagaimanapun, Bahar adalah suami setianya yang telah memberikannya 3 anak. Tentu menjadi kesedihan Sinta juga apa yang dialami Bahar.
“Sangat banyak narapidana yang ingin menghirup udara bebas. Berkumpul dengan keluarga dan melakukan hal baik di rumahnya. Tapi, kamu sangat aneh, Mas.” 
“Sebenarnya saya ingin sekali pulang dan bercengkrama dengan anak-anak kita. Tapi apakah para tetangga akan menerima saya seperti yang dulu? saya malu, Dik. Dosaku banyak dan reputasiku hancur. Pasti mereka akan mengucilkanku.” 
“Tenang, Bahar. Masyarakat kampung kita itu sangat ramah. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” Hendri menengahi mereka berdua.
Perbincangan yang alot. Menguras banyak tenaga.
Bahar akhirnya mau pulang setelah Sinta mengancam dan meminta cerai kepadanya. Rasa malunya terhadap tetangganya perihal ia mencuri kabel, perlahan ia hilangkan dari ingatannya. “Kalau para tetangga tidak memaafkanku, akan kukatakan apa adanya bahwa aku salah. Kalau tidak, bunuh diri adalah cara terhormat,” gumam Bahar.
***
Satu jam berlalu. Mobil tua yang ia tumpangi persis sudah berada di depan rumahnya. Di depan gerbang rumahnya, telah berkumpul ibu-ibu kampung desanya melirik Bahar sinis.
“Malingnya sudah datang, ibu-ibu,” ujar salahsatu ibu-ibu memulai percakapan yang suaranya sangat jelas terdengar Bahar dan sinta.
“Pasti dia banyak dosanya.” 
“Benar. Harta sudah banyak, masih aja mencuri, dasar serakah. Kalau aku jadi istrinya pasti sudah aku minta cerai,” ujar yang lain menimpali. 
Betapa sakit hati Bahar atas cemoohan para tetangganya itu. Namun, ia mencoba tabah. Suatu saat pasti mereka akan memaafkannya. Setelah makan siang bersama istri anak-anaknya selesai, Bahar bergegas ke masjid untuk menunaikan shalat jama’ah dzuhur. Pakaiannya serba putih. Sarung putih. Baju putih. Songkok putih. Besar harapan, Allah memaafkan dosanya dan membersihkan hatinya dari segala dosa dan niat jahat.
Sesampainya di masjid, ada perempuan paruh baya menghampirinya.
“Sudah suci saja orang nih. Padahal baru saja bebas dari penjara, paling besok jadi maling lagi,” ujar Perempuan tersebut.
“Kalau aku jadi Kepala Desa, sudah aku usir orang seperti ini,” suara orang lain menimpali dari balik pintu.
***
Sudah larut malam, tetapi Bahar yang tadi pamit shalat dzuhur tidak kunjung kembali kerumah. Sinta yang sedari tadi kebingungan akhirnya menyusul ke masjid. Tetapi tidak ada satupun orang di masjid. 
“Tolong-tolong! Ada orang gantung diri di kamar mandi,” teriak Mahmud, marbot masjid.
Spontan Sinta langsung pingsan saat melihat Bahar lunglai dengan tali terikat di lehernya. Orang yang ia cintai selama ini akhirnya mengakhiri hidupnya dengan cara yang sangat dibenci tuhan. Ia hanya pasrah dengan keadaan seperti ini. 
Setelah warga menggotong mayat Bahar, ditemukan secarik kertas di saku bajunya yang berisi tulisan: Jangan seperti aku. Aku biadab terhadap diriku sendiri dan bagi peradaban.

Penulis:
Negara Rofiq Lahir di Sumenep. Menempuh pendidikan Tinggi

Di Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember.
Bisa dihubungi melalui Instagram @negararofiq
Konten sebelumnyaPengabdian Sejati : COVID-19
Konten berikutnya[Cerpen] Karena Aku Perempuan Biasa

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini