[Cerpen] Karena Aku Perempuan Biasa

203
Flpjatim.com,- Kumandang Adzan Dhuhur baru saja berlalu. Aku masih belum ingin pulang. Aku ingin lebih lama duduk di antara barisan pohon jagung yang mulai berbunga ini. Walau terik matahari September itu sudah terbiasa memanggang tubuhku yang kurus, aku ingin mencari keteduhan di bawah bayang-bayang pohonnya yang cukup rimbun. Daun-daunnya yang ramping menyerupai pita terasa kasar menyentuh pipiku yang sembunyi di balik jilbab dan capingku. Yah…mungkin sekasar telapak tanganku. Aku mengelus luka bakar yang masih memerah di punggung tangan kananku. Baunya anyir. 
[Cerpen] Karena Aku Perempuan Biasa
Gambar Haya Ilustrasi
Bisikan lirih angin yang menarikan daun-daun bagai tangan penari itu, seolah nasihat Bunda Peri yang menghibur Cinderela sebagaimana dalam dongeng anak yang pernah kubaca waktu kecilku. Walau tak mampu menghapus linangan air mataku saat ini, setidaknya aku bahagia dia hadir di saat aku sedang berduka. 
“Dik, bagaimana pendapatmu jika aku menikah lagi?” Tanya Mas Pram pada suatu hari. Kurasakan pertanyaan itu bagaikan petir di siang bolong. Hampir saja pisau yang kugunakan untuk mengupas terong itu mengiris jemariku yang tidak lagi lentik seperti dulu. 
Pertanyaan yang setahun lalu pernah dilontarkannya padaku, kukira hanya gurauan karena baper setelah menonton film Ayat-Ayat Cinta itu kini diulanginya lagi. 
Aku tidak menjawab kalimat itu. karena aku tahu, tak kujawab pun sebenarnya Mas Pras tahu apa jawabanku. Sambil menggigit bibirku yang selalu sariawan menjelang menstruasi, Aku terus saja melanjutkan pekerjaanku : mengupas terong dan memotongnya, memarut kelapa, membuat bumbu, dan kawan-kawannya demi tersajinya sayur terong kegemaran suamiku tercinta. Mataku yang pedih tambah semakin pedih saat sebuah biji Lombok rawit melentik ke mataku saat kupatahkan sebagai penyedap sayur itu. 
“Engkau tahu bukan, Bapak dan Emak sudah renta? Andaikan Dik Ammah setuju, biarlah perempuan istri Mas nanti tinggal bersama mereka. Aku hanya ingin mereka ada yang mengurusnya. Untuk meninggalkan rumah dan tinggal bersama kita sebagaimana usulmu dulu, nampaknya  merupakan hal berat bagi mereka. Sedangkan untuk ke sana-kemari, aku hanya bisa melakukannya seminggu sekali saat kau libur tidak mengajar”, jelas Mas Pras panjang lebar padaku.
Aku tetap diam seribu bahasa. Kepalaku yang tidak pusing itu rasanya seperti dipukul oleh seribu palu. Apalagi hatiku! Memar bagaikan kelapa yang baru saja kuparut tadi. Kuamati kuah dipanci sayur yang mulai mendidih itu. Baunya yang gurih harum tak mampu merangsang selera makanku. Padahal perutku sudah keroncongan. Justru mual yang kurasakan. 
“Dan kalau Dik Ammah setuju, aku akan menikah dengan gadis yang sudah kamu kenal dengan baik”, lanjut Mas Pras lagi.
“Gadis yang sudah aku kenal?” Aku mengulangi pertanyaan itu dalam hati.  Kuhentikan sendok sayur yang mondar-mondar di antara sayur terong dan cabe rawit yang siap santap itu. Kutatap mata Mas Pras dengan tajam. 
Dia rupanya tanggap bahwa aku penasaran. Maka sambil melangkah lebih dekat ke arahku, dia menjawab rasa penasaranku itu. “Nisa”, jawabnya singkat sambil tersenyum. Aneh! Senyum yang biasanya sangat manis dihiasi kumis tipisnya itu, seolah bagai serigala menyeringai yang siap menerkamku. 
“Hah?”Aku terperangah. Saking kagetnya, tombol kompor gas yang ingin kumatikan itu tanpa sadar justru kuulir ke arah On. Api pun berkobar. 
“Astaghfirullah!” Aku melompat mundur menghindari nyala api yang sempat menjilat tangan kananku. Namun, rasa panas dan sakitnya tak sepanas dan sesakit hatiku pada Mas Pram. 
“Awas, Dik!” Mas Pram juga memekik kaget. Bergegas dia meraih tanganku. Aku mengibaskan tangan Mas Pram. 
“Tak usah pedulikan aku!” teriakku ketus. Isak yang kutahan sedari tadi, kuledakkan menjadi tangisan pemuas rasa kecewaku. Kutinggalkan dia sendiri mematikan kobaran api itu. Aku berlari ke kamar. Kuhempaskan tubuhku ke kasur busa yang sudah using itu. Kutupi wajahku dengan lengan kiriku. Aku masih mengguguk ketika Mas Pras duduk di sampingku. 
Dia meraih tanganku yang kena api tadi. Aku mendorong tubuhnya saat dia hendak mengolesi lukaku dengan obat bioplasington yang senantiasa tersedia di kotak obat rumah kami. 
“Please, jangan dekati aku!” Aku berkata sambil  Mas Pram. 
“Dik…”
“Maaf, tinggalkan aku sendiri!” hanya kata itu yang mampu kuucapkan. Kubalikkan tubuhku sehingga posisiku membelakanginya. Kulemparkan guling tak bertenaga itu ke ujung kasur. Kusembunyikan wajahku lebih rapat di bawah bantal. Aku tidak mau ada tetangga yang mendengar ini semua. Dan terutama Ibuku yang juga sebatang kara di samping rumah kami. 
Kudengar Mas Pras keluar dari kamar dan menutup pintu. Barangkali dia ingin membiarkan aku melampiaskan kekesalannya. Samar-samar dia mengajak pergi putri kami yang menanyakanku. Entah kemana. 
Mungkinkah ini yang dinamakan orang Jawa, “Anak-anak Timun?” Artinya mengasuh anak orang lain setelah besar diambil sendiri sebagai istri atau suami. Yah, Nisa adalah anak asuh kami. Ayahnya meninggal sejak dia masih kelas 4 SD. Ibunya hanya perempuan pencari kayu bakar di hutan Ngrayun. 
Pengurus Panti Al-Ma’uun, yang salah satunya adalah suamiku menawarinya  untuk disekolahkan ke Madrasah  binaan suami dan kawan-kawannya. Mereka menjumpai Nisa saat acara pembagian daging Qurban di wilayah rentan Kristenisasi di ujung selatan kabupaten Ponorogo tersebut. 
Karena dia bersedia dan Ibunya juga menyetujui, Nisa yang saat itu berusia kelas 2 SMP resmi sebagai anggota Panti Asuhan Al-Maa’uun. Menjelang dia masuk SMA, Kami menawarinya  untuk momong anak kami yang kedua karena tidak ada yang menjaganya bila aku pergi mengajar. Untuk mengajaknya aku merasa kasihan, karena jam 2 sore aku baru pulang dari sekolahku. Untuk menitipkan pada Ibu, aku juga tidak tega. Aku tidak ingin Ibu yang sudah mengasuh ketiga putrinya dengan susah payah itu harus menjadi Ibu lagi di usia lanjutnya. 
Nisa sebenarnya hanya membantu mengawasi putri kami setelah pulang dari Play Group. Kira-kira  mulai jam 10.30 hingga waktu Dhuhur ketika dia persiapan berangkat ke sekolah. Itu pun Dik Rifda sudah dijemput oleh Mas Pram yang sehari-hari menekuni usaha servis alat-alat elektronik di rumah. Nisa juga tetap tinggal dipanti. Maksud kami hanya nitip saja. Namun kami tetap memberinya uang saku sebagai ganti jasanya. 
Selain cantik, Nisa memang anak yang baik dan sopan. Walau anak yatim, dia selalu tampil ceria sehingga anak-anak betah dengannya. Nisa baru saja lulus SMA Muallimat yang masuknya sore. Karena sekolah itu seatap dengan SMP Muallimat yang masuknya pagi. Kami berencan untuk menguliahkannya di Perguruan Tinggi di kota kami, sehingga tetap bisa membantu menjaga putrid kami. 
Seiring berjalannya waktu, Nisa tumbuh menjadi gadis cantik dan sholihah. Kecerdasan dan keluhuran akhlaqnya, menambah dia tampak semakin sempurna di mata pria. 
Karena itukah Mas Pras tertarik untuk meminangnya? 
Atau sekedar pertimbangan saja seandainya aku menyetujuinya?
Aku memang bukan seorang wanita lembut yang hanya punya tugas khusus untuk kerumahtanggaan saja. Aku sudah terbiasa bekerja di sawah pada sore hari atau waktu libur. Selain mengajar di sebuah SD Negeri di desaku, aku juga aktif memberi les pada anak-anak di bimbelku. Jumlahnya lumayan, sehingga sebagian dari infaq mereka bisa kugunakan untuk biaya kuliah walau hanya di Universitas Terbuka. 
Aku juga punya sambilan jualan Buku On Line. 30% keuntungan sebagai reseller menurutku lumayan sebagai penghasilan tambahan. Dulu memang aku pernah bercita-cita untuk menjadi full mother yang selalu siaga mendampingi anak dan suami. Namun, karena penghasilan Mas Pras yang semakin pas-pasan bahkan minus untuk mencukupi kebutuhan sekolah ketiga anaknya, aku terpanggil untuk sekedar membantunya. Setelah mendapat izin darinya, aku memutuskan untuk menerima tawaran mengajar di SD. 
Dari situ kemudian mempunyai ide untuk membuka Bimbel yang mayoritas pembelajarnya adalah siswa-siswi di SD ku mengajar. Aku tidak pernah menentukan tarif bagi mereka. Aku hanya menyediakan kotak amal yang bisa mereka isi seikhlasnya. Menjelang Maghrib kami juga mengajari mereka mengaji. Gratis. 
***
“Nisa, aku ingin menyampaikan sesuatu padamu,” kata Mas Pras membuka pertemuan segitiga di meja makan. kulihat dia tampak bengong, karena memang baru kali ini kami bicara seresmi ini. 
“Ehm…orang tua Bapak kan sudah tua, tidak ada yang merawat. Seandainya Nisa Bapak minta untuk merawatnya mau?” Mas Pras melanjutkan pertanyaannya. Aku hanya diam menahan gejolak hati menunggu jawaban apa yang akan keluar dari Nisa. Aku berharap dia menjawab tidak mau.
“Sebenarnya saya siap, Pak. Tapi Ibu juga semakin tua, dia juga tidak ada temannya”, Jawab Nisa yang membuatku sedikit lega. 
“Bagaimana seandainya Ibu Nisa tinggal bersama orang tua Bapak?” pertanyaan Mas Pras makin menjurus. “Soal kuliah nanti kami kita cari di sana.”
“In sya Alloh saya siap, Pak” kata Nisa ringan. Aku memandang atap bawah rumah yang belum berlangit-langit itu. 
“Nisa, Bapak juga ingin membalas pertolonganmu. Bersediakah bila Kau menjadi teman Bundamu?” pertanyaan Mas Pras kembali terasa mencekik leherku. Kulihat Nisa mata Nisa yang bulat itu semakin sempurna bulatnya. 
“Aku ingin…meminangmu, Nisa”, kata Mas Pras hati-hati.
“Bapak tidak salah tanya?” Nisa nampak kaget. 
“In Sya Allah tidak, aku juga sudah minta izin Bundamu, tinggal menunggu keputusanmu sekarang”, Mas Pras menyakinkan.
“Benarkah, Bunda?” Nisa menanyaiku pilu. Aku tidak menjawab. Hanya air mata yang bisa mewakilinya. Jujur, aku tidak bisa menerimanya. Kalau memang Nisa menerimanya, aku pasrah. Berarti Nisa bukan perempuan biasa sepertiku, dia hebat, bisa berbagi hati dengan wanita lain. 
“Maaf, Bapak, Bunda, Nisa belum bisa memutuskannya sekarang”, setengah berlari dia meninggalkan kami. 
***
Kulirik jam di HPku. Pukul tiga belas lebih sepuluh menit. Rupanya sudah lebih dari satu jam aku membeberkan lamunanku pada Bunda Peri tentang peristiwa yang kuanggap kiamat kecil bagi kelurgaku.  Aku mengurut kedua kakiku yang kesemutan sebelum berdiri. 
Sayup-sayup kudengar suara tangis bocah. Semakin lama semakin jelas.
“Maa Sya Alloh, Dik Rifdah!” Aku berlari menyeruak rimbun daun jagung itu. 
“Ibuuk…! Ibuuk…!” Gadis kecil ketigaku meronta-ronta ingin melepaskan diri dari gendongan ayahnya. Dia berlari ke arahku. 
Aku menghamburnya khawatir dia jatuh dari pematang sawah yang hanya selebar satu jengkal itu. Kuciumi putriku yang menagis terisak-isak itu. Karena kalutnya pikiranku, aku sampai hampir melupakan anak-anak yang sudah sejak tadi pagi kutinggal ke sawah membersihkan daun jagungb yang kering. 
“Dik…” kata suamiku lirih. 
“Sudahlah, Mas. Tidak usah kauulangi lagi pertanyaanmu. Biarlah Nisa yang memutuskankan. Sesudah itu kau boleh memilih salah satu : meninggalkan aku beserta anak-anakmu atau bersama kami lagi” Aku berkata sambil menangis lagi. Sungguh hatiku benar-benar kecewa. Bahkan tidak pernah terdetik sedikitpun dalam anganku kalau Mas Pras yang begitu menyayangiku berubah pikiran akan menduakanku. Dengan Nisa anak asuhnya lagi. 
“Dengarkan dulu…aku mau bicara!” Katanya dengan nada agak tinggi.
“Tidak ada gunanya aku mendengarkanmu, Mas! Alloh memang tidak melarang seorang suami untuk mempunyai lebih dari satu istri. Namun dengan syarat dia adil. Mungkin Mas Pras bisa adil dalam hal nafkah lahir, namun secara batin, aku tidak yakin. Hanya Rasulullah yang bisa berbuat seperti itu. Dan tidakkah Mas ingat akan kisah yang pernah kita baca bersama, ‘Aisyah saja masih sangat cemburu kepada istri-istri Rasulullah yang lain, apalagi aku, Mas. Aku hanya perempuan biasa! Coba bayangkan kalau Mas berada pada posisi perempuan seperti aku, Mas mungkin juga punya keputusan yang sama”. Aku berkata sambil menahan tubuhku yang gemetar antara lapar dan sebenarnya menahan rasa takut karena dibilang istri tidak berbakti. “Tinggal satu, menunggu keputusan Nisa, bersedia atau tidak”.
Dik Rifdah semakin kencang menangis dalam gendonganku. Dia bingung tidak tahu apa yang terjadi dengan kedua orang tuanya. Bagaimana seandainya dia nanti tahu hal yang sebenarnya. Terutama setelah nanti dia remaja. Karena dia juga perempuan! 
“Dik…dengarkan, sebentar…saja. Aku mau bicara. Aku minta izin menikah lagi itu, kan kalau Dik Ammah setuju. Kalau tidak, aku tidak akan melanjutkannya, biarlah Dik Bungsu kembali ke kampung untuk menemani Bapak dan Emak. Lagi pula, Nisa belum tentu mau menerima,” Mas Pram berkata lembut sekali. Kulihat matanya berkaca-kaca. 
“Benar, Bunda, Bapak, Nisa tidak siap menerimanya”, Nisa tiba-tiba muncul. Rupanya diam-diam diam dia membuntuti Mas Pras karena mencari momongannya tidak ketemu.
“Selain Ibu tidak mengizinkan, Nisa juga tidak ingin membagi kebahagiaan rumah tangga orang yang sudah aku anggap orang tuaku sendiri. Namun, untuk merawat dan tinggal bersama orang tua Bapak, Ibu menyetujuinya”, Nisa berkata sambil tersenyum. Dia mengalihkan pandangannya kepadaku sambil mengangguk menyakinkanku. “Biarlah Nisa tetap menjadi anak asuh Bapak dan Bunda”. 
Aku hanya melihat serius ke arahnya. 
“Nisa sudah membuat keputusan. Aku tidak akan memaksa kalian. Maafkan aku! Aku tidak bermaksud menyakitimu, juga Nisa.  Aku juga tidak ingin menelantarkan orang tua. Pertanyaanku kemarin memang serius, namun aku sangat menghormati apa pun keputusanmu. Karena aku sebenarnya juga maklum, bahwa kau adalah perempuan biasa, walaupun bagiku kau adalah Ibu dari anak-anakku dan Istriku yang luar biasa”.
Mas Pras merengkuhku dan putrinya ke dalam pelukannya. Dia membiarkanku menikmati tangis dalam pelukannya. Nisa tersenyum bahagia dan lega. Terima kasih, Ya Allah. Kiamat kecil keluargaku telah berlalu. 
Kami pun bergegas pulang khawatir solat Dhuhur melayang. Nisa disilakan Mas Pras berjalan mendahului kami. Mas Pras menggiringku berjalan menyusuri pematang setapak diiringi awan seputih kapas yang berarak di angkasa. Tarian daun-daun jagung sepanjang perjalanan seolah hymne syukur atas terjalinnya kisah kasih rumah tangga kami. 
Konten sebelumnya[Cerpen] Menjadi Saksi
Konten berikutnya[Cerpen] Ketika Asap-asap Itu Memudar

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini