Cerpen: Ramadan dan Sesuatu yang Memaksa Pulang

403

Ibu mengembuskan napas panjang. Dari raut wajahnya bisa kurasakan kegundahan menyelimutinya. Aku memilin ujung bajuku, bersiap mendengar ketidaksetujuannya.

“Ibu seneng sekali kalo kamu dapet beasiswa. Ini kan cita-citamu dari dulu. Bisa kuliah di luar negeri. Ibu juga pengen kamu sukses. Tapi ….” Pandangan Ibu menerawang langit-langit ruangan.

“Tapi, apa, Bu?”

“Apa nggak nyari beasiswa yang deket-deket sini aja? Biar lebih enak kalo mau pulang.”

Aku memberungut. Kuliah di Islandia ini impianku sejak masih berseragam putih biru. Ibu tahu itu. Saat seorang guru Ilmu Sosial menunjukkan padaku tentang aurora yang menari-nari indah, aku sudah bertekad untuk menginjakkan kaki di Islandia. Dan perjuanganku untuk mendapat beasiswa ini tidaklah mudah. Aku tidak mungkin bisa melepaskannya begitu saja.

“Ibu tahu kamu sudah berusaha keras untuk mendapatkan beasiswa ini,” ucap Ibu seolah bisa membaca pikiranku. “Sebenarnya ibu khawatir….”

Ah, Ibu! Selalu saja mudah cemas.

“Islandia itu negara yang aman, Bu,” kataku berusaha meyakinkan Ibu.

Ibu menggeleng. Keningnya berkerut dalam. “Ya, Ibu tahu. Tapi, bukan masalah itu.”

Kurengkuh kedua telapak tangannya dalam genggaman. “Ibu jangan khawatir, ya. Ada Allah yang akan selalu menjagaku. Lagian Anjani perginya nggak sendirian. Kan ada temen yang juga lolos seleksi.”

Ibu memejamkan mata tanpa berkata-kata. Kutarik tubuh rentanya dalam dekapan. Bodohnya aku yang saat itu tak bisa memahami apa yang dirasakan Ibu.

***

Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Kututup gorden kamar meski matahari masih bersinar di luar sana. Aku tak bisa tidur. Masih banyak tugas yang harus kukerjakan. Selain itu, aku juga tak merasa mengantuk. Mungkin karena metabolisme tubuhku yang belum beradaptasi dengan kondisi di sini. Lagipula tiga jam lagi waktunya berbuka puasa. Aku juga belum menyiapkan makanan untuk berbuka. Mungkin aku hanya akan makan yogurt dan buah.

Kedai makanan di sini sudah tutup paling lambat jam 10 malam. Aku sedang berhemat, jadi biasanya aku memasak makanan sendiri untuk sahur. Sepertinya aku baru bisa tidur selepas sahur jam 2 dini hari nanti. Aku tak mau ketinggalan waktu sahur yang hanya berselang dua jam dari waktu berbuka. Masalah salat tarawih, lihat nanti saja kalau memang tugasku sudah selesai.

Sebuah panggilan masuk menghentikan aktivitasku. Dari Mbak Gendis. Pasti Ibu yang menelepon.

“Lebaran nanti pulang, kan, Nduk?” tanya Ibu setelah beruluk salam.

“Ehm, belum tahu, Bu. Ini Anjani mau ujian soalnya.” Aku beralasan.

Terdengar helaan napas Ibu di seberang.

“Apa nggak ada libur pas hari raya? Padahal kalo kamu pulang, Ibu mau masakin ketupat sayur sama opor kesukaanmu, lho.”

“Ada, sih, Bu. Tapi, cuma sebentar.”

“Ibu kangen sama kamu.” Air muka Ibu berubah sendu. Matanya tampak berkaca-kaca.

“Anjani juga kangen banget sama Ibu. Tapi, gimana lagi…. Kalau udah libur panjang, Anjani pulang, ya, Bu. Lagian mau ngumpulin uang dulu buat pulang kampung,” janjiku.

Tak ada jawaban dari Ibu. Suara Mbak Gendis yang menggantikan. “Lebaran tahun ini kamu harus pulang, Jan. Masalah biaya nggak usah dipikirin, nanti Mbak yang beliin tiketnya,” pungkas Mbak Gendis mengakhiri panggilan.

Sudah dua kali aku menjalani puasa Ramadan di musim panas. Meski harus berpuasa selama 22 jam, aku tak merasa berat karena suhu udara yang dingin. Kesenangan menjelajah tempat-tempat yang menakjubkan seperti geiser, gunung, laut, dan air terjun membuatku enggan untuk pulang. Terlebih kawan-kawan mengajakku pergi berburu aurora saat musim dingin nanti. Janji yang kurajut untuk Ibu hanyalah omong kosong untuk menyenangkannya belaka.

Meski pada satu titik aku merasa bosan meminum air mengalir yang berbau busuk karena mengandung sulfur. Atau muak makan testis dan kepala kambing yang disuguhkan penduduk lokal. Tapi bagiku, negeri ini sempurna. Bebas nyamuk, bebas polusi, aman dan asri. Aku ingin selamanya tinggal di sini.

***

Ramadan memberikan banyak kenangan tersendiri bagiku. Ramadan di tanah air selalu penuh memori yang tak terlupakan. Hingga pada akhirnya Ibu memaksaku pulang.

“Bungkus tutup dandang serbet supaya uapnya tidak menetes ke dalam,” ujar Ibu seraya menyematkan kain kotak-kotak berwarna hitam ke tutup panci. Kami tengah membuat apem untuk megengan, tradisi orang Jawa dalam menyambut bulan puasa Ramadan.

“Eh, jangan dibuka tutup biar apemnya mekar,” cegah Ibu yang melihatku tak sabar ingin segera mencomot apem buatan Ibu.

Aku meringis sambil menggaruk leher yang tidak gatal. Lalu, setelah apem matang, aku akan mencari yang gosong untuk dimakan. Aku paling suka makan apem yang agak gosong. Setelah itu, aku, Ibu, dan Mbak Gendis akan berkumpul bersama para warga lain untuk kenduri seraya membawa nasi plus lauk. Tak ketinggalan apem dan pisang yang wajib ada. Biasanya aku akan mengintip nasi berkat yang dibagikan untuk memilih lauk yang paling enak menurutku.

Aku kecil yang bandel hobi memanjat pohon kersen. Mengambil butiran merah kecil itu untuk dikumpulkan dalam lipatan kausku. Lantas memakannya sembunyi-sembunyi agar tak ketahuan Ibu. Dan petangnya aku akan berebut takjil. Terutama jika ada es cendol dan kolak. Berpura-pura kehausan setelah seharian berpuasa.

Malam yang syahdu membuatku rindu salat tarawih di masjid. Salat hanya dua sampai empat rakaat lantas sisanya hanya duduk sambil ngobrol berbisik-bisik. Kemudian meminta tanda tangan imam setelah salat tarawih untuk mengisi buku Ramadan dari sekolah. Kenangan bersama almarhum Bapak lantas menyeruak bersamaan dengan teriakan anak-anak patrol. Suasana sahur ramai dengan anak-anak yang berkeliling membawa kentongan, bedug, jerigen bekas, dan drum bekas seraya berteriak untuk membangunkan sahur. Saat malam Idul Fitri, kami akan ikut berkeliling bersama patrol sambil membawa obor. Obor yang dibuat dari ranting pepaya yang diisi tali sumbu dan minyak gas.

“Ibu itu lagi sakit, Dek. TBC,” jelas Mbak Gendis berurai air mata saat aku tiba.

“Kenapa Mbak nggak cerita?” desakku.

“Ibu nggak mau bilang sama kamu karena takut ganggu kuliahmu.”

“Jaga diri baik-baik di sana, yo, Nduk. Jangan lupa salat. Semoga Allah melindungmu. Ibu pasti kangen banget sama kamu.” Pesan Ibu sebelum keberangkatanku ke Islandia berputar dalam benak.

Anjani kangen banget sama Ibu. Anjani pengen ketemu Ibu.

“Islandia itu jauh, yo, Nduk. Kalau Ibu pengen ketemu kamu gimana….”

Ya Allah! Aku menutup mulut. Maafin Anjani, Bu. Harusnya aku memenuhi janji-janjiku. Harusnya aku datang lebih awal untuk menengok Ibu.

Mbak Gendis lantas membawaku menemui Ibu. Kurasakan kaki-kakiku lemas. Jetlag setelah menempuh jarak ribuan kilometer dengan waktu penerbangan hampir 24 jam tak lagi kurasa. Dunia seolah berputar di atas kepalaku. Dadaku sesak. Aku mulai sesenggukan. Kutatap gundukan tanah bertabur bunga dengan nisan bertuliskan nama Ibu. Pandanganku pun berkabut. []

Konten sebelumnyaTernyata Tak Berat, Ini Kiat Menulis Semudah Curhat
Konten berikutnyaBerbagi Tidak Pernah Rugi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini