Dongeng tentang Kupu-kupu

167
Flpjatim.com,- “Pakleeeeek! Pundi paklek Nardi? Buleeeek, Bulek Pardi!”[1] 
Tiba-tiba dari luar kamar terdengar suara gaduh. Tampak Mbak Mariyati tergopoh-gopoh, dengan handphone masih di genggaman. Dalam kondisi gugup dan menunjuk-nunjuk ke arah handphone yang ia pegang sambil berteriak memanggil-manggil bapak dan ibu. Sontak beberapa kerabat dekat yang sedang khusyu’ menunggu mempelai pria untuk ikut menyaksikan prosesi akad nikah yang sakral pun berhambur keluar. Ibu mendudukan Mbak Mariyati di sebuah kursi. Dan menenangkannya dengan memberikan segelas air. Mbak Mariyati hanya meminumnya sececap, kemudian terlihat berusaha mengatur nafas yang masih terdengar menderu-deru. 
Dongeng tentang Kupu-kupu
“Onok opo tho, Mar? Alon-alon yen arep crito!” [2] seperti biasa ibu bertutur pelan sambil menggosok-gosok punggung Mbak Mariyati. Sementara bapak sudah tampak khawatir dan gelisah. Aku yang semula mendengar kegaduhan itu dari dalam kamar, ikut berhambur demi memenuhi rasa penasaran yang menggunung. 
“Narti budhe, pakde, Narti!” Sejenak tangisnya pecah mengisi keheningan yang tercipta. 
“Huhuhuhuhuuuu…Narti, Budhe…Narti…..hhhuuuuuuhuuuuuuu!” isaknya memenuhi ruangan sambil memeluk erat ibu. 
“Eh dasar bocah edan!” [3] bicara yang jelas! Kenapa Narti, heh? Narti itu sudah bukan urusanku dan urusan keluarga ini lagi, ngerti kamu Mar!” semprot bapak kepada Mbak Mariyati. 
“Sssstttt, Pak! Sebaiknya kita dengarkan dulu cerita Mariyati sampai selesai ya?” seloroh ibu sambil mengatupkan bibir dan menempelkan jari telunjuknya. Kali ini bapak bergeming, meski dari rona wajahnya tak bisa dibohongi, bapak makin gelisah dan berkali-kali melihat ke arah jam dinding di dalam rumah yang terus bergerak, tapi rombongan keluarga Ilham belum juga terlihat batang hidungnya. 
*** 
Kupu-kupu putih itu datang lagi. Putihnya cantik, bukan putih biasa tapi putih memplak kata orang Jawa. Selalu saja ada hal menarik dari makhluk cantik ini. Kehadirannya di rumahku membawa filosofi tersendiri bagi penerjemahnya. Ibu suka bercerita tentang kupu-kupu yang diambil dari primbon Jawa. Kata ibu kupu-kupu yang datang ke rumah itu bisa diartikan sebagai tamu atau akan datangnya rezeki, tapi di lain waktu ibu bercerita kehadirannya bisa menjadi sebuah pertanda akan datangnya musibah. Dongeng tentang kupu-kupu itu seolah terus meresap di alam bawah sadar, aku manggut-manggut dan membayangkan rupa tamu spesial yang dimaksudkan pun ikut begidik saat ibu menceritakan perihal musibah yang dimaksudkan adalah kematian. 
Seiring berjalannya waktu, dongeng tentang kupu-kupu mulai tak kupercayai lagi. Karena sampai di usia yang kian senja tak jua kutemukan korelasi hadirnya kupu-kupu dengan tamu spesial yang dikabar-kabarkan akan bertandang. Pun musibah yang dimaksudkan. 
Dongeng kupu-kupu berdenging lagi di telinga saat mengingat Yu Narti. Kupu-kupu malam, orang-orang di desa sering kasak-kusuk menyebut Yu Narti demikian. Aku membayangkan betapa cantiknya kupu-kupu malam itu pasti berkilauan, sama cantiknya dengan Yu Narti. Kupu-kupu malam terbang ke sana-kemari diiringi serombongan kunang-kunang yang menyala-nyala. Tapi aku tak suka kunang-kunang karena kata ibu kunang-kunang itu berasal dari kukunya orang mati dan aku mempercayainya sampai kini. Sungguh bodohnya aku. Mengingat Yu Narti ada sesuatu yang kemudian luruh bersama rintik air mataku. Rindu. 
“Buk, Yu Narti apa nggak pulang riyoyo [4]ini?” 
“Mbak Yu mu mungkin belum punya ongkos untuk pulang, Nur.” 
Aku sebenarnya sudah tahu pasti jawaban itu yang akan diberikan oleh ibu setiap kali aku bertanya tentang kapan Yu Narti pulang. Tapi aku tetap saja memutuskan untuk bertanya, meski setelahnya aku pasti menemukan mata sayu ibu berkaca-kaca sambil memalingkan muka. 
Aku pun bergegas menuju dapur, menata balok-balok tempe yang usai dipotong oleh ibu sebelum shubuh tadi dan memasukkannya ke dalam tas mirip anyaman jerami berbahan plastik murahan. Setelah mandi dan berseragam rapi, sejenak menunaikan sholat shubuh, sampai teriakan ibu yang mengalahkan radio rusak itu menghantam-hantam telinga. 
“Nuuuuur, Ayo budal!”[5] 
“Iya, Buk!” Aku tergopoh dengan memungut tas ransel yang sudah kumal pemberian juragan Eni anak Pak Haji Soni yang terkenal dermawan di desa. Sampai tak sempat mengaitkan tali-temali sepatu yang terburai dan tak kalah lusuh. 
Jika melihat mata sayu ibu, aku sering merasa tak tega untuk meninggalkannya sendirian. Demi mendapatkan rupiah untuk menopang kehidupan kami sehari-hari, ibu rela tirakat. Lalu, ke mana bapak? Mungkin pagi ini bapak masih asyik dengan irama dengkurnya berselimut sarung hijau kesayangan. Sungguh, jika dia bukan lelaki yang selama ini kutakzimi sudah kusumpal mulutnya yang lebih mirip asbak itu dengan gombalan dapur. Astaghfirullah, aku cepat-cepat menyingkirkan niat jahatku kepada lelaki tua itu. Meski begitu, beliau tetap bapakku. Sekelebat nasehat Pak Yasin guru agama di sekolah membuat aku kembali tersadar. Seburuk apapun orang tua kita, tugas kita kepada mereka adalah berbakti. “Duh gusti Allah, nyuwun ngapuro!”[6] kalimat itu terus berdesakan memenuhi batin. 
Apalagi saat Yu Narti memutuskan untuk menjadi TKI ke Malaysia, itu karena dadanya sudah tak kuat ingin meledak jika masih tetap tinggal di rumah yang mirip neraka ini. Sudah hampir dua puluh tahun Yu Narti tidak pulang ke desa. Setelah dianggap mempermalukan keluarga karena menikah dengan seorang pejabat teras di bawah tangan. 
“Nyingkreh kowe teko omah iki, Nar!”[7] Bapak tidak akan mengakui kamu anak. Kamu sama saja dengan membasuh wajah bapak dengan kotoran!” 
“Narti masih lebih terhormat Pak, daripada Bapak. Selama ini bapak kemana saja? Kenopo mung ibuk sing getap nggolek upo?”[8] 
“Sudah pintar menjawab kamu sekarang!” tangan bapak hampir mendarat di pipi Yu Narti tetapi ibu segera menghardik disertai dengan tangisan yang mirip jeritan sambil menyerahkan pipi kanannya ke arah telapak tangan bapak. 
“Sudah, Pak! Cukup, Pak! Ini saja, ojo Narti sing mbok wasuh[9]!” rujuk ibu yang tak tega melihat Yu Narti akan disakiti bapak sambil kemudian bersimpuh di kaki bapak. 
“Ndang minggat kono!”[10] Jangan sampai kamu menginjakkan kakimu di rumah ini. Minggaaaat!”[11] telunjuk bapak menunjuk-menunjuk ke muka Yu Narti dengan bola mata memerah penuh amarah. Aku yang saat itu baru duduk di kelas 4 SD hanya bisa ikut-ikutan sesengguan menyaksikan adegan yang sungguh aku tak paham maksudnya sambil memeluk erat ibu yang juga tak berdaya melawan bapak. 
*** 
Dua puluh tahun sudah Yu Narti meninggalkan desa menjadi TKI di Malaysia. Hanya sesekali aku mendengar kabarnya itupun dari Mbak Maryati, putri pak RT yang merupakan sahabat Yu Narti sejak kecil. Dongeng kupu-kupu lagi-lagi menyeruak dan berdenting-denting memenuhi rongga ingatan dan menyisakan pertanyaan, 
“Kapankah tamu sepesial itu akan datang?” 
Di antara denting itu ada kerinduaan yang menyeruak, berharap keajaiban datang, Yu Narti pulang ke kampung halaman. Bukan ingin menuntut balas akan perilakunya yang tak waras. Diam-diam aku turut mengiyakan keputusan bapak mengusirnya dari rumah. Hingga aku membuat sebuah kesimpulan, karena ulahnyalah di masa lalu aku jadi tak laku-laku. Bahkan di usiaku yang sudah menginjak tiga puluh. Yu Narti harus bertanggung jawab atas semua ini. Ah, kupu-kupu malam, ternyata aku membangun imajinasi di masa lalu yang keliru. Sampai membuat getir dan menangisi takdir. 
“Lelaki seperti apa lagi yang kamu cari, Nur? Bapak dan ibu sudah semakin menua. Setiap ada laki-laki baik datang kamu selalu menolak? Mau jadi perawan tua?” 
Untuk kesekian kali bapak dengan suara melengking selalu membuat hati ngilu. Pun kalimatnya serupa bon cabe level tiga puluh, pedas hingga merasuk ke ulu hati. Makin ngilu. Untuk kesekian kalinya aku tenggelam dalam kesedihan yang mendalam sepulang rombogan keluarga Ilham bertamu. 
“Nur hanya mencari seorang imam, Pak?” seandainya ia berani mengatakan kalimat itu tetapi seperti ada yang terhenti dalam kerongkongannya yang kering. Kisah Yu Narti cukup menjadi pengalaman pahit tercerai beraikannya keluarga kami. Aku tidak ingin berkonflik secara terbuka dengan bapak, meski sejak sedekade lalu bapak sudah mulai sedikit berubah. Bapak mulai memiliki tanggung jawab mencari nafkah dengan mengelola peternakan bebek milik Haji Soni. 
Mugkin benar, dongeng tentang kupu-kupu itu dongeng di masa kanak-kanak. Tetapi kenapa masih sering berdenging di kepala? Apa karena sudah sekian lama aku mempercayainya menjadi sebuah mantra dalam kehidupan nyata? 
Seperti kemarin, sebelum keluarga Ilham bertandang ke rumah aku menjumpai kupu-kupu berwarna coklat keemasan bertengger pada rerimbunan bunga di depan teras rumah. Benakku kusut, sekusut tanda tanya besar yang memenuhi kepala yang tiba-tiba berdenyut. 
“Benarkah Ilham tamu spesial itu? Yang selama ini kutunggu-tunggu untuk menjadi penyempurna agama?” aku memekik sendiri dan kelabakan menjawab rentetan pertanyaan membabi buta ini dari ruang hati yang lain. 
*** 
Roncean bunga melati lengkap dengan kembang kantil tampak segar terpasang di atas kerudung putih yang kukenakan, tetapi sebaliknya dengan hatiku. Layu. 
Sambil menunggu keluarga mempelai pria hadir, dari dalam kamar aku mulai gelisah. Nyanyian tentang dongeng kupu-kupu itu berdenting kembali. Aku berusaha untuk tak mempercayainya lagi. Tetapi, semalam aku bermimpi bertemu seekor kupu-kupu berwarna coklat keemasaan yang terluka. Ia tergeletak di lantai kamar yang dingin, sesekali bergerak sedikit. Aku mengambilnya dan meletakkan di telapak tangan. Baru tersadar kemudian kalau sayap kupu-kupu itu patah sebelah. Hingga kedatangan Mbak Mariyati di tengah-tengah keluarga kami menciptakan duka. 
“Lanjutkan, Mar!” ibu kembali mempersilakan Mbak Mariyati bercerita. 
“Narti, Budhe…saya baru saja mendapat kabar Narti dari Malaysia. Narti pun mboten wonten umur, Budhe!” [12] 
“Innalillahi wa inna ilahi roojiuun…” serentak keluarga yang mendengar kabar itu mengucapkan kalimat istirja’. 
Pertahanan ibu jebol, terhuyung dan terjatuh dari kursi. Pingsan. Bergegas kerabat membopongnya ke dalam rumah menuju pembaringan. Sementara aku, serasa tak percaya dengan kabar ini, masih berdiri mematung di depan pintu sambil tergugu. Nyanyian dongeng tentang kupu-kupu itu datang lagi. Aku terkesima, melanjutkan kisah kupu-kupu dalam mimpi semalam. Yah, kupu-kupu coklat kekemasan itu, setelah kutahu sayapnya patah sebelah, bergegas kubuka jendela kuletakkan di bagian daunnya, tetap saja ia bergeming. Tak sampai semenit aku kemudian mendapatinya sudah tak bernyawa. Nyanyian kupu-kupu terus berdenging, tapi aku percaya bahwa ini semua adalah takdir dari sang Maha Kuasa.Dalam tengadah, saat lagit masih terlihat cerah berhambur sepasang kupu-kupu putih memplak menyembul dari balik rerimbun harum bunga melati. 
Selesai. 
[1] Paklek dan Bulek sebutan Paman dan Bibi dalam bahasa Jawa 
[2] “Ada apa, Mar? Pela-pelan kalau mau cerita.” 
[3] Anak gila 
[4] Hari Raya Idul Fitri 
[5] Ayo berangkat 
[6] “Ya Allah, mohon ampunan.” 
[7] “Pergi kamu dari rumah ini, Nar!” 
[8] “Kenapa hanya ibu yang semangat mencari sesuap nasi?” 
[9] …jangan Narti yang dianiaya 
[10] “Segera pergi sana!” 
[11] “Pergiii!” 
[12] Narti sudah meninggal dunia
Biodata Penulis:
Bunda Novi, nama pena dari wanita yang terlahir dengan nama Novi Istina ini biasa dipanggil. Lahir di Lumajang sebuah kota kecil di Jawa Timur yang  terkenal dengan sebutan kota pisang. Bunda Novi saat ini adalah Ketua Forum Lingkar Pena Wilayah Jawa Timur. 
Konten sebelumnyaPerguruan Fatamorgana
Konten berikutnya…yang Lebih Cinta dari Masa

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini