Flpjatim.com,- Sakit kepala ini sungguh sudah sangat mengganggu. Kepala begitu pening, cedut-cedut di atas ubun-ubun, tepatnya dua puluh senti kening ke atas, bukan main sakitnya. Ini pasti gara-gara lemburku tadi malam ngoreksi ulangan sekian ratus siswa yang nilainya sudah dikejar-kejar panitia ulangan karena tiga hari lagi rapor harus sudah dibagikan ke wali murid.
Salahku juga sih yang suka menunda pekerjaan, berleha-leha dengan pekerjaan lain yang tidak ada hubungannya dengan dunia guru. Terlalu asyik menekuni usaha baru yang aku rasa memang lebih prospek dan menjanjikan untuk mengumpulkan pundi-pundi kekayaan. Sehingga tadi malam aku harus begadang memelototi hasil ulangan para siswa yang tidak sedikit itu.
Pagi ini, aku harus tetap mengajar untuk meremidi beberapa siswa yang isi jawaban ulangan mereka asal-asalan. Ya, aku harus tetap memanggil mereka agar kembali ulangan supaya nilai mereka bisa lebih baik lagi.
Namun, apa daya sakit kepala ini tak mau kompromi, mata berkunang-kunang, sehingga tepat tiga puluh menit di hadapan para siswa yang remidi, aku ambruk, entah ambruk ke mana sebab aku sudah tak ingat apa-apa lagi, yang pasti aku bisa melihat tubuhku digotong beberapa guru ke UKS sedang aku lihat di belakang guru-guru beberapa siswa yang bersorak gembira tak tampak raut kesedihan.
“Asyiik…remidinya nggak jadi, bisa bebas bermain, deh, kita!” teriak salah satu siswa kepada teman-temannya.
“Yap, yuk kita ke kantin saja, kebetulan aku belum sarapan,” sambut temannya.
Aku hanya bisa mengelus dada, begitu membatunya hati mereka sehingga kesakitanku dianggap keberuntungan mereka. Bukankah mestinya mereka malah senang karena aku beri kesempatan memperbaiki nilainya.
Di tengah lamunanku, aku juga bingung sebenarnya aku ini di mana, kenapa aku bisa melihat mereka, melihat tubuhku diletakkan di atas kasur, aku juga bisa mendengar semua perkataan orang di sekitarku, namun aku tidak mampu menjawab mereka dan berbicara kepada mereka.
Masih termangu dengan semua kejadian, aku tersentak, tiba-tiba aku sudah terbangun, namun bukannya ruang UKS tempat aku ditidurkan tadi, melainkan di sebuah ruangan yang dominan warna biru. Di sana-sini banyak sekali senjata yang bergelantungan, disandarkan, di taruh di atas meja, ada yang masih bersarung ada yang telanjang memperlihatkan kilatan tajam mereka.
Ada tombak berbagai ukuran dengan gagang berukir, kepala naga, kepala rajawali, hingga kepala kelabang.
Ada pedang berbagai bentuk dengan sarung yang terbuat dari kulit binatang, berwarna-warni menakjubkan. Gagang pedang ada yang berukir burung garuda begitu memukau. Ada bentuk singa menganga berkilat mata merah.
Belum habis keherananku, tiba-tiba pintu terbuka dan masuklah lima pemuda yang kekar-kekar, berbaju ala pendekar zaman dulu pakai ikat kepala warna biru. Ada yang memegang nampan besar dengan mangkok yang besar pula ditutupi taplak bersulam perak. Ada yang membawa guci porselen warna merah bergambar naga terbang entah apa isinya. Yang lain membawa bakul sesek bambu, aku pastikan bakul itu berisi nasi. Sedangkan yang satu lagi membawa cobek dengan uleg-uleg di atasnya. Terakhir membawa piring keramik bertumpuk enam.
“Guru, maaf kami terlambat, ampuni kami yang tidak bisa cepat membawa sarapan ini kepadamu,” kata pemuda yang membawa nampan tadi.
“Kami tadi terlalu asyik latihan gerakan-gerakan yang baru saja engkau ajarkan pekan kemarin sebelum engkau sakit, sehingga kami tak menyadari matahari telah meninggi,” sambung pemuda yang membawa piring.
Guru? Gerakan-gerakan? Sebenarnya apa yang terjadi? Kalau guru, bolehlah aku tak kan bingung karena aku memang guru. Tapi gerakan-gerakan? Hal ini membuatku bingung sebab aku merasa tak pernah bertemu mereka, ruangan ini pun sangat asing di mataku. Keadaan seperti ini hanyalah kutemui jika menonton film kungfu Shaolin atau film silat-silat dulu yang dibintangi Barry Prima dan Advent Bangun.
Ha! Aku rasa sekarang aku sedang di zaman dunia persilatan, zaman para pendekar bela diri masih berkeliaran. Pantas saja ruangan ini penuh dengan senjata dan gambar-gambar orang yang sedang memperagakan suatu gerak silat.
“Kalian mengenal aku ini siapa?” Tetap saja hal ini aku tanyakan kepada mereka agar keadaan semakin jelas. Mereka saling berpandangan, tapi sejurus kemudian, pemuda yang membawa bakul, yang kelihatan sekali garis kedewasaannya, aku tebak dia adalah paling senior di antara ke empat temannya.
“Ampun beribu ampun guru, rupanya pukulan jurus Ajian Lampah-Lumpuh kawan guru yakni Ki Ageng Pamanahan, membuat guru menjadi hilang ingatan. Engkau adalah guru kami, pendiri sekaligus pengasuh Perguruan Silat yang terkenal di Kerajaan Madangkara, Perguruan Reco Umpak, engkau adalah guru kami yang bernama Ki Gede Sodron Kumbara, pendekar tiada banding pemilik jurus ajian yang tidak ada tandingannya yakni Jurus Ajian Serat Jiwa tingkat sepuluh.” Lama kemudian pemuda itu diam.
“Sedangkan guru sampai sakit ini karena latih tanding dengan sahabat guru Ki Ageng Pamanahan, entah karena kurang konsentrasi atau memang kurang tinggi ilmu guru sehingga guru terkena pukulan Ajian Lampah Lumpuh, alhamdulillah guru hanya pingsan, karena jika yang terkena kami pasti kami sudah tewas.”
“Hem…lalu kalian bernama siapa saja?” Semakin menarik saja kebingunganku ini. Tentu banyak hal baru yang akan ku ketahui.
“Saya, Gotawa, guru,” kata pemuda yang bercerita tadi.
“Saya, Raden Samba,” jawab yang membawa guci.
“Saya Paksi Jaladara,” ucap yang membawa piring.
“Saya Raden Wanapati,” sebut yang membawa nampan.
“Kalau saya, Raden Bentar,” cetus yang membawa cobek.
“Ha ha ha, nama-nama kalian memang tak asing bagiku, itu adalah tokoh-tokoh sandiwara Saur Sepuh yang dulu aku dengarkan lewat radio pada tahun delapan puluhan. Namun, aku tetap heran kenapa aku ada di sini. Ah…biarlah ini terjawab seiring berjalannya waktu. Yang penting ayo kita sarapan, perutku sudah keroncongan sejak tadi.” Kelima pemuda itu mengangguk gembira. Tentu mereka tak mengerti yang aku katakan.
“Tapi…sebentar, matahari sudah tinggi, apakah aku tadi sholat Shubuh?” tanyaku penasaran.
“Sholat, guru, memang biasanya guru tak pernah tidur setelah sholat Shubuh, sebab harus mengisi pengajian rutin bersama santri-santri. Namun untuk hari ini tadi guru berpamitan tidur karena merasa kepala pusing, mungkin akibat latihan tarung bersama Ki Ageng Pamanahan kemarin malam.” O…aku hanya manggut-manggut mendengarkan keterangan Gotawa.
“Terus habis ini apa yang akan aku lakukan?”
“Sebentar lagi guru akan mengimami kami sholat Dhuha, setelah itu melatih kami dengan gerakan-gerakan silat baru,” sambung Raden Bentar.
Ah…aku jadi ragu, bagaimana aku memimpin mereka, kalau jadi imam sih, aku sudah biasa karena itu memang kebiasaanku setiap hari. Namun, jadi guru silat? Jangankan bertarung, sedangkan hanya sekedar push up saja aku tak pernah melakukan lalu bagaimana aku melatih silat mereka.
Ternyata kekhawatiranku tak beralasan, entah bagaimana setelah sholat Dhuha, aku langsung menuju kamar yang secara naluri kurasakan itu kamarku, aku berganti baju seperti pendekar silat di film-film. Lebih herannya lagi, di hadapan puluhan murid, secara reflek atau bisa dikatakan otomatis, aku bisa bergerak secepat kilat, melayang, berlari, menggerakkan tangan dan kaki, berayun, tanpa canggung atau kaku mengajari mereka.
Begitulah, hampir beberapa pekan aku tinggal di dunia baru, yang ku yakini masih pada zaman kerajaan, sebab lampu masih pakai buah jarak, masak pakai kayu, dan tak sekalipun di atas aku lihat pesawat terbang melintas.
Lebih herannya lagi, para santri begitu tawadluknya kepadaku, apapun perintah yang aku ucapkan seketika mereka berebutan mengerjakan. Bahkan jika bukan aku yang menentukan siapa yang mengerjakan, mereka bisa adu hantam-pukul untuk bisa menunaikan perintahku.
Pernah suatu ketika hal ini ku tanyakan pada mereka.
“Hai para santri, mengapa kalian tak pernah membantah apa yang aku katakan, dan tak pernah malas mengerjakan apa yang aku perintahkan?”
Paksi Jaladara mengacungkan tangan. “Yak, silakan kau Paksi menjawabnya?”
“Ampun, guru, jawaban ini mungkin bukan hanya saya saja yang meyakini, tapi kami semua juga sependapat, bahwa setiap kata guru adalah sabda yang harus ditaati, karena jika kami menyalahi maka doa besar telah menanti. Sedangkan setiap perintah harus kami kerjakan karena kami menganggap perintah guru adalah titah yang harus kami usahakan untuk memenuhi, karena memang hal itu adalah kewajiban kami sebagai murid atau santri yang siap digembleng guru. Bukan begitu kawan-kawan?”
“Ya…memang demikianlah seharusnya.” Jawab semua santri hampir serempak. Aku hanya manggut-manggut heran bercampur bangga. Namun di sudut hati kecil miris tak terkira mengingat beberapa waktu yang lalu ketika aku di sekolah tempat aku mengajar, hal demikian jarang sekali aku temukan. Yang ada para murid begitu berani pada guru, tak ada sopan santun, apalagi tawadluk.
Seperti pada hari kesekian aku di tempat baru ini, bakda mengajari mereka jurus-jurus baru, secara iseng aku berkata, “Hari ini aku kepingin sekali buka puasa nanti maghrib makan daging kijang, siapa di atara kalian yang mampu menyediakan?”
Secepat kilat aku dengar jawaban, “Saya guru,” semua santri mengacungkan tangan. Aku hanya tersenyum bangga.
“Baiklah, ini akan aku jadikan sayembara, semuanya saja segera berangkat, siapa yang lebih dulu mendapatkan secepatnya antar ke pasebanku, jangan khawatir, jika ada salah satu dari kalian sudah mengantar daging kijang itu, maka setiap dari kalian akan mendengar pemberitahuanku, bukankah kalian tahu aku punya ajian yang belum aku ajarkan pada kalian yakni Ajian Budeg Salaksa, setiap kalian akan mendengar suaraku, dimanapun kalian berada, dan segeralah kembali jika sudah aku suruh pulang.”
“Baik, guru.” jawaban serempak aku dengarkan.
“Tidakkah kalian bertanya, jika hal ini aku jadikan sayembara, hadiah apa yang aku berikan?”
Raden Samba mengacungkan jari, “Bagi kami, sangat tidak pantas kalau mengerjakan perintah guru, ada pamrihnya. Sebab bagi kami adalah suatu kemuliaan jika kami mampu menunaikan perintah guru. Mengenai hadiah kami tak akan mempertanyakan.”
Aku tersentak kaget, betapa ketawadlukan mereka sudah begitu tingginya sehingga mereka sudah tidak lagi memikirkan imbalan. Lagi-lagi aku teringat muridku di sekolah, betapa mereka selalu minta balasan jika aku minta tolong bahkan hanya sekedar mengambilkan buku di kantor. Sedih kembali menyelusup dada jika aku mengingat demikian.
“Hemm, baiklah, hadiah aku rahasiakan, sekarang juga silakan kalian berangkat!”
Detik itu juga, santri yang puluhan itu tak tersisa di depanku karena semuanya langsung melesat menggunakan kesaktian mereka masing-masing. Ada yang berlari secepat kilat, melayang secepat angin, ada yang melompat sejauh mata memandang, bahkan ada yang menghilang entah ke mana.
Sembari menunggu para santri mendapatkan daging kijang, aku juga langsung melesat ke musholla dan langsung ambil air wudhu. Sepertinya waktu yang sepi ini lebih baik aku gunakan untuk membaca Al-Qur’an sekaligus berdzikir.
Detik demi detik, berganti menjadi jam, para santri belum juga ada yang kembali, aku maklum saja karena di daerah ini aku rasa kijang sulit ditemui, tentu mereka telah bepergian begitu jauh. Kesunyian menyergap, dzikirku semakin khusyuk, beberapa juz sudah aku selesaikan dari tadi. Puluhan rakaat sholat sunnah mutlak telah aku lakukan, kini tinggal dzikir saja yang aku kerjakan.
Keheningan membawaku kedalam ekstase sehingga aku sudah tidak tahu lagi berada di mana. Suara-suara gemerisik hewan liar yang biasa lewat depan pondok tak juga terdengar. Aku semakin syahdu bercengkarama dengan Sang Kholiq.
Hingga pada suatu ketika secercah cahaya terang menerpaku, aku perlahan membuka mata, anehnya, kini bukan musholla yang aku saksikan, melainkan plafon putih bersih yang terlihat, aku menengok ke samping botol infus menggantung selangnya kutelusuri ternyata ke tangan kiriku. Ku tengok ke bawah, selimut garis-garis biru menutupi tubuhku. Sekujur tubuh terasa sakit semua.
Bagaimana ini, beberapa waktu yang lalu aku masih segar bugar, bercengkrama dengan Allah SWT, tapi kini aku lemah lunglai.
Pintu terbuka, masuklah seseorang yang sangat ku kenal, Pak Paiman, bersama serombongan anak-anak yang ketawa ketiwi begitu riuh.
“Anak-anak, diam dulu ya, kita sedang di rumah sakit jadi jangan membuat keributan,” bisik Pak Paiman pada mereka.
“Ah…Bapak, ngomong aja tidak boleh, lagian kenapa sih kita ke rumah sakit bukannya ke Mall, kan lebih asyik!” seru salah satu anak.
“Lho, gimana sih, kamu ini, Jo, tentu kita ke sini menengok Pak Sodron yang sudah sebulan ini tidak bangun-bangun dari komanya.” Jawab Pak Paiman penuh kesabaran.
“Ya biarin lho Pak, Pak Sodron nggak bangun, kita-kita yang mestinya di sekolah saja meneruskan pelajaran,” jawab anak yang lain.
Hatiku tertusuk mendengar jawaban itu, inilah yang tidak aku temui lagi di zaman sekarang, murid-murid yang kurang ajar, tak punya sopan santun, ngomong tak beraturan. Tak terasa cairan hangat meleleh di sudut mataku.
Sedangkan Pak Paiman, diam seribu basa, mungkin dia merasakan apa yang aku rasakan saat ini. Tanpa menghiraukan lagi Pak Paiman menghampiriku.
“Pak Sodron, syukurlah Pak, rupanya Bapak bisa bangun juga, kami guru-guru setiap hari istighosah mendoakan kesembuhan Bapak. Rupanya setelah hampir satu bulan, doa kami didengarkan Allah SWT. Selamat datang kembali Pak, semoga badannya cepat pulih, dan segera bisa mengajar anak-anak kembali.”
Aku mencoba membuka mulut mengucapkan terima kasih, entah mengapa aku hanya diam tak mampu berkata-kata. Sementara anak-anak setelah menyalami aku langsung berlalu, masih ribut sendiri dengan topik pembicaraan yang beragam.
“Maaf Pak saya sebentar saja, nggak enak dengan pasien lain, maklum anak-anak susah diatur,” pamit Pak Paiman. Aku hanya tersenyum menggangguk.
Setelah kepergian Pak Paiman, kembali ingatanku melayang, rupanya aku koma kurang lebih satu bulan, tapi mengapa di kejadian tadi aku tinggal bersama para santri begitu lama hampir enam bulan. Ya Allah begitu relatifnya waktu.
Kejadian itu begitu nyata, entah itu memang aku dibawa Allah ke dimensi lain, ataukah hanya sekedar mimpi, tapi aku meyakini itu adalah salah satu kehendak Allah untuk menunjukkan kekuasaannya. Mengingat kejadian tersebut aku jadi bertekad, bagaimana aku bisa menjadikan murid-murid sekarang menjadi begitu tawadluk dan punya sopan santun yang tinggi. Aku tahu hal ini hampir musykil, tapi aku yakin jika aku bertekad pasti hal demikian akan terjadi. Semoga.
Mojokerto, 20 Juni 2018
Profil Penulis:
A. Haris ar-Raci Anggota FLP Mojokerto, (blog pribadi: www.catatansangguru.blogspot.com)