Kunjungan Dadakan ke FLP Bangkalan

103

Pagi menjelang siang saya chat dengan Bang Muhsin terkait rencana silaturahim ke FLP Bangkalan. Kebetulan, Minggu sore, 22 november FLP Bangkalan punya acara, tepatnya di masjid kampus Universitas Trunojoyo Madura (UTM). Kami sudah deal akan berangkat pukul 15.30 dengan sepeda motor, saya akan menjemput Bang Muhsin di Hotel Satelit, Surabaya.

Iseng, saya share rencana kunjungan ke FLP Bangkalan ini ke grup WA Pengurus FLP Jatim. Ya, barangkali ada teman-teman lain yang mau ikut. Rupanya benar, ada 2 orang yang mupeng ikut. Siapa lagi kalau bukan si Ratu Mbolang, Bu Fauziyah Rachmawati dan kembarannya, Bu Noer Rochmawati. Bahkan si Noer sudah ambil ancang-ancang meluncur dari Malang.

Tapi tiba-tiba, Bu Fauziyah mengeluh kepalanya pusing, karena kebanyakan begadang. Jadi sepertinya gak ikut. Tapi kemudian kirim pesan lagi, “Tapi pingin ikut…” Haduh, galau dia rupanya. Keputusan terakhir, pasca Noer mengultimatum lewat udara, bahwasanya jika pada pukul 12.00 tet Bu Fauziyah tidak mengubah keputusannya, maka Noer, sebagai saudara kembar lain ibu, memutuskan: juga tidak ikut! Gubraakkk!

Baiklah, it doesn’t matter (emboh, bener gak ini englishnya). Tapi tiba-tiba (ya, semua memang serba tiba-tiba) Bu Fauziyah meralat keputusannya. “Jadi ikut deh,” katanya di WA, tapi indera keenam saya menangkap ia tidak yakin dengan ucapannya itu. Mungkin, hanya kasihan sama Noer yang benar-benar mupeng tingkat akut.

Noer pun, dengan semangat 45, langsung terbang dengan kecepatan tinggi dari Malang. Mungkin juga ia sudah rindu dengan wanginya pecaren Surabaya (tolong abaikan yang ini). Sementara itu, di scene yang lain, Bang Muhsin sudah tiba di terminal Bungurasih. Layar imajinasi saya menayangkan ia sedang mondar-mandir di terminal menunggu kami.

Saya pun sudah siap dan segera berangkat, ketika tiba-tiba mendengar suara ribut di rumah tetangga sebelah. Oh, rupanya ada pertengkaran keluarga. Adzan ashar pun berkumandang saat pertengkaran itu usai. Sekalian saya shalat dan langsung meluncur. Meluncur dengan angkot. Tetapi tidak, bukan meluncur. Angkot itu berjalan bak siput. Pelan sekali. Saya bolak-balik melihat jam tangan. Kemungkinan dengan angkot yang berjalan gemulai seperti ini, saya akan terlambat. Padahal saya sudah mewanti-wanti teman-teman agar on time. Duhh… nyesek.

Yang bikin tambah nyesek itu, pas di tengah jalan naik angkot yang gak nyampek-nyampek itu, saya baru tersadar. Seolah baru bangun dari tidur, “Ngapain ya saya naik angkot. Kan naik motor lebih cepat. Motor tinggal dititip di terminal. Pulangnya bareng Bang Muhsin yang rencana mau nginep di rumah saya.” Tapi terlambat, angkot sudah hampir nyampek halte.

Nyampek Halte, saya langsung nyebrang kanan jalan dengan beringas. Semua kendaraan saya stop. Apa sebab? karena saya melihat bus trans sidoarjo yang hanya muncul sekali dalam 15 menit itu, sudah tiba di halte dan segera berangkat. Tak mau ketinggalan, saya nekat.

Eh, iya, ada yang lupa saya ceritakan. Saat saya hendak berangkat dari rumah, Bu Fauziyah japri saya: Maaf, gak jadi ikut. Sepertinya harus istirahat. Ini juga lagi nemeni teman service laptop. Indera keenam saya kembali bekerja, sepertinya ada sesuatu, ada yang janggal dari kalimatnya. Tapi, ya sudahlah, bertiga pun tak masalah.

Perjalanan dengan Ritual Nyasar (Jilid 3)

Di Bungurasih, Noer dan Bang Muhsin sudah menunggu. Rencana awal naik bus kota ke pelabuhan perak, ternyata gak jadi. Kami naik mobil rush carteran. Noer cerita, kalau Bu Fauziyah jadi ikut. Sebelumnya, dia bilang gak ikut karena takut ombak selat Madura membuat kepalanya tambah pusing. Tapi karena rencana berubah dan kita lewat Suramadu, ia pun berubah pikiran. Indera keenamku terbukti benar, ia sedang galau segalau-galaunya.

Tapi sudahlah, semuanya sudah berakhir. Dia menunggu di depan Hitech mall, dan Rush segera menelannya. Kami melanjutkan perjalanan dengan tenang, melewati Kedung Cowek, Suramadu, dan lepas landas di Bangkalan. Kini, kami mencoba jalur alternatif. Bang Muhsin sebagai pemandunya. Si Supir hanya mengikuti komando. Dan… kami melewati jalan berbatu, yang berkali-kali membuat kami seperti terombang-ambing di tengah lautan dengan ombak yang besar. Sudah bisa dipastikan, saat Bang Muhsin tak yakin untuk lanjut, kami salah jalan.

Sepertinya, kesasar sudah menjadi ritual wajib Tim Mbolang Ceria (begitu saya menyebut pasukan FLP Jatim). Ini adalah kali ketiga, setelah Solo bulan kemarin dan Lumajang pekan lalu. Dan uniknya, Noer selalu berperan besar dalam adegan nyasar itu. Di Solo karena GPS-nya, di Lumajang karena dia yang nyetir, di Bangkalan karena dia diam saja, padahal sebenarnya tahu jalan. Saya tidak hendak menyalahkan dia, tapi dia sendiri yang bilang demikian. Dan setelah saya pikir-pikir, sepertinya memang benar.

Di sisi kiri bagian tengah, Bu Fauziyah tertawa senang. Baginya, nyasar adalah petualangan yang menyenangkan. Dan ia bahagia luar biasa. Baiklah, saya pun mencoba untuk bahagia dengan menjepret pemandangan alam yang indah: langit senja Bangkalan.

senja di langit Bangkalan

Kemudian kami kembali ke jalan yang benar, Bang Muhsin mengerahkan anak buah dan temannya via telpon sebagai penunjuk arah. Perjalan pun lancar dan damai. Tapi bermasalah lagi saat tiba di perempatan setelah Pasar Labang. Apakah harus ke kiri, ke kanan, atau lurus. Kata bapak penjaga pintu perbatasan, lurus saja terus belok kiri. Ya, itu yang kita ikuti. Si supir pun memasang GPS. Baik, lanjut, dan tak berapa lama, gedung UTM pun kelihatan.

Masjid Nurur Rahman, FLP Bangkalan, dan Obrolan Singkat

Kira-kira 17.15, saat kami tiba di Masjid Nurur Rahman, masjid kampus UTM, disambut ketua harian FLP Bangkalan, Yogi Gunawan. Ngobrol sebentar sebagai permulaan, jeda untuk shalat maghrib, kemudian kami melanjutkan perbincangan.

Waktu itu, personil FLP Bangkalan yang hadir hanya 3 orang (Yogi dan 2 orang akhwat). Kata Yogi, kebetulan banyak yang ada acara dan sebagian pulang kampung. Tapi di sesi terakhir, beberapa anggota ikhwan, datang menyusul.

Kami mulai dengan perkenalan singkat. Agar semua saling mengenal. Kemudian dilanjutkan dengan sedikit “cuap-cuap” dari saya. Setidaknya, ada tiga hal yang saya sampaikan: pertama, tentang maksud silaturahim (turba) yang merupakan salah satu program dari pengurus FLP Jatim sekaligus motivasi. Kedua, sosialiasi beberapa program FLP Jatim dan FLP Pusat, termasuk NRA. Alhamdulillah ternyata NRA FLP Bangkalan beres. Yogi rupanya proaktif mencari informasi. Ketiga, jangan melupakan tiga pilar FLP: kepenulisan, keorganisasian, dan ke-FLP-an. Keempat, sepertinya ada lagi, tapi saya lupa. Maap.

Kemudian dilanjutkan dengan sharing. Ternyata anggota-anggota FLP Bangkalan cukup produktif. Setiap pekan, mereka diharuskan menyetor karya. Kalau tidak, maka dikenakan denda. Setiap bulan, salah satu dari karya mereka akan dibedah.

Sebagian besar dari mereka adalah mahasiswa UTM, kecuali ketuanya, Pak Yanuari, yang sudah alumni. Kebetulan beliau berhalangan hadir karena ada tugas pekerjaan di luar kota. Beliau pun mengatakan kepada saya, kemungkinan akhir Desember akan ada restrukturisasi atau mungkin Muscablub.

Selama ini FLP Bangkalann “tidak terdeteksi”, sehinggan saat silatwil pun gak diundang. Tapi Alhamdulillah, setelah pertemuan ini, insya Allah, komunikasi bisa lebih intens.

Demikian. Pertemuan yang singkat. Sebelum adzan isya berkumandang, kami sudah mohon diri. Ditandai dengan sesi foto bersama pengurus FLP Jatim.

Saya dan Yogi

Pulang dan Nasi Padang

Sejak maghrib, perut saya sudah kriyuk-kriyuk. Eh, kok dilalah, saat perjalanan pulang dapat tawaran makan. Kami pun blusukan mencari tempat makan yang enak. Kata Bang Muhsin di dekat kebun binatang. Kami segera menuju TKP yang ternyata… eng i eng… warungnya sotonya tutup. Yaudah, ganti di jalan ahamd yani. Tapi pak supir rupanya gelisah, apalagi setelah dapat telpon dari pelanggannya, ia harus segera kembali ke terminal bungurasih.

Akhirnya, kami pun makan malam di Bungurasih. Makan nasi padang. Nasinya kebanyakan kata Bu Fauziyah, tapi… (sensor). Saya makan sambil terkantuk-kantuk, tapi mendadak semangat dan keringatan saat tak sengaja menelan sambel yang dikira sayur.

Begitu saja. Sampai di sini saja. Intinya kami kembali ke markas masing-masing. Bang Muhsin dan saya ke Sidoarjo. Noer dan Bu Fauziyah ke Surabaya, di kampus Unesa.

Sehari pasca turba FLP Bangkalan, 23 November 2015 

Konten sebelumnyaTurba Pertama FLP Jatim: Dari Mengenal Hingga Meminang
Konten berikutnyaSebongkah Cinta Di Sepenggal Pperjalanan (Part 1)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini