Ditulis oleh: Sri Wahyuni*
Aku rela di penjara asalkan bersama buku,
karena dengan buku aku bebas
-Mohammad Hatta
Betapa cintanya Bung Hatta terhadap buku (membaca), hingga di penjara pun rasanya bebas. Banyak tokoh berkaliber nasional bahkan internasional lainnya yang sangat cinta membaca seperti Bapak Proklamator kita. Mereka berhasil menjadi orang-orang besar karena membaca menjadi salah satu kebutuhannya.
Akan menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi bangsa Indonesia, andaikan seluruh warganya, terutama generasi muda cinta membaca sebagaimana Bung Hatta tadi. Membaca merupakan bagian dari literasi yang menjadi salah satu pondasi pendidikan abad 21. Berawal dari membaca inilah, seorang siswa belajar berpikir kritis, apakah informasi yang dibacanya benar atau tidak (hoax). (Ary Yulistiani, 2020). Sebagaimana yang Alberta, mengatakan bahwa literasi merupakan kemampuan dalam membaca dan menulis, serta menambah pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan yang membuat seseorang berpikir kritis. Termasuk mampu memecahkan masalah dalam berbagai konteks dan berkomunikasi secara efektif
Mary Leonhardt (2002) mengatakan bahwa anak-anak yang biasa membaca akan mudah memahami suatu sastra yang sulit dan rumit. Mereka juga akan memperoleh rasa kebahasaan yang akan mengalir ke dalam tulisan mereka. Para saya yang baik bisa menghasilkan karya yang segar dan tidak membosankan karena mereka juga pembaca yang baik. Dengan membaca pula seolah kita diajak jalan-jalan dengan ongkos termurah ke berbagai tempat (Esty Dyah Imaniar, 2020). Mohammad Fauzil Adhim (2025) ketika menceritakan kisah Jennifer menyimpulkan,” Membaca, tepatnya membacakan buku (reading aloud) kepada bayi, tidak saja menumbuhkan minat baca yang tinggi, namun meningkatkan kecerdasan anak dan bahkan dapat dipakai sebagai terapi untuk balita bermasalah”.
Namun, sangat disayangkan bahwa menurut survei yang dilakukan PISA (Program for International Student Assessment yang dirilis 3 Desember 2019 bahwa Indonesia menempati ranking ke-72 dari 77 negara berkaitan dengan membaca bahasa Indonesia (https://m.liputan6.com). Kepala Balitbang dan Perbukuan Kemendikbud Totok Suprayitno mengatakan bahwa di tahun 2018, 70 persen anak-anak kita berada di bawah level kompetensi membaca. “Jadi, anak-anak kita belum mampu berpikir tingkat tinggi. Masih di level 2”. https://www.tribunnews.com
Saya mengakui, bahwa rendahnya kemampuan membaca tersebut juga terjadi pada siswa kelas V SDN Singkil saat pandemi Covid-19 melanda. Tiga dari dua puluh satu siswa mengakui, mereka menanyakan jawaban tugasnya pada google. Mereka pun mengatakan malas membaca untuk menemukan jawaban. Terkait pemahaman soal, hampir dua puluh persen siswa kurang memahaminya, sehingga menuliskan jawaban yang menyimpang. Selain itu, perbendaharaan kosakata mereka minim sekali. Misalnya, saat saya menanyakan apa padanan kata loyal, hanya satu siswa yang mengetahuinya. Itu pun sesudah saya memberikan contoh dalam sebuah kalimat.
Salah satu rendahnya minat baca siswa tersebut antara lain karena pengaruh pembelajaran online selama pandemi covid’19 ini. Selain itu, barangkali Gerakan Literasi Sekolah berupa membaca lima belas menit sebelum pembelajaran nampaknya kurang mendapatkan respon yang kontinyu dari pihak sekolah. Sangat menyedihkan sekali jika hal tersebut antara lain juga disebabkan karena gurunya sendiri tidak suka membaca, apalagi menulis.
Menyadari begitu pentingnya literasi, terutama membaca pada siswa esde, maka saya mencoba membuat suatu cara untuk menumbuhkan cinta mereka terhadap literasi bahasa melalui Reading Challenge (tantangan membaca).
Saya mengenal dan mengikuti tantangan ini pertama kali saat mengikuti Sekolah Menulis On Line tahun 2020 tepat saat pandemi covid-19 melanda. Rafif Amir, saya buku dan ketua Forum Lingkar pena Jawa Timur tahun 2019-2020 selaku coach dan pendiri sekolah ini, mewajibkan tiap pesertanya untuk membaca setiap hari. Jumlah halaman yang dibaca pada pekan pertama minimal lima halaman, kemudian, naik kelipatan lima halaman setiap pekannya. Bagi peserta yang membaca dengan jumlah halaman terbanyak tiap pekan mendapatkan hadiah sebuah buku.
Saya merasa kegiatan yang menantang ini sangat asyik. Dengan adanya tantangan tersebut, membaca yang berawal karena suatu aturan, akhirnya berubah menjadi suatu kebiasaan yang menyenangkan. Bahkan, menjelang akhir pembelajaran memasuki tahap keranjingan membaca. Sehingga Reading Challenge saya anggap merupakan salah satu cara yang efektif untuk menumbuhkan rasa cinta siswa terhadap literasi bahasa.
Pada saat pandemi, karena anak-anak tidak bisa meminjam buku ke sekolah, saya memberikan sebuah majalah Zaidan kepada seluruh siswa. Kemudian juga share link yang menyediakan e-book atau e-magazine anak. Tiap hari mereka melaporkan melalui WA grup. Laporan siswa memuat hari dan tanggal, nama, judul buku atau majalah yang dibaca, jumlah halaman yang dibaca tiap hari, dan total baca. Saya juga memberikan hadiah buku bacaan bagi lima siswa yang terbanyak jumlah membacanya.
Melihat keberhasilan dari tantangan tersebut, akhirnya saya berkomitmen untuk mengadakan tantangan membaca di tahun berikutnya. Untuk mengurangi interaksi dengan hp, tahun ini Saya mengadakan Reading Challenge of 100 Books (tantangan membaca seratus judul buku). Waktunya mulai bulan Desember 2021 hingga 30 Mei 2022. Laporan dilakukan secara tertulis berisi nomor, judul buku dan tanggal selesai membaca. Saya menandatangani laporan biasanya tiap akhir pekan. Pada saat ini juga kemajuan kegiatan juga saya sampaikan agar seluruh siswa makin tertantang.
Agar lebih menarik, sejak awal tantangan, saya meminta anak-anak untuk menggambar sebuah pohon yang bercabang banyak. Namanya Pohon Literasi. Gambar pohon ini lalu ditempel di papan pajangan. Setelah menamatkan satu buku atau majalah, siswa menuliskannya pada sebuah kertas sampul berwarna yang telah disediakan. Mereka mengguntingnya dalam bentuk daun. Semakin banyak buku yang dibaca, semakin rimbun daun di pohon tersebut. Selain memotivasi siswa, ruang kelas juga nampak hidup. Mereka kelihatan asyik berkreasi. Gairah siswa untuk belajar pun bertambah.
Untuk menumbuhkan gemar menulis, Saya meminta mereka untuk mereview materi yang dibacanya ke dalam buku Diary Literasi. Tidak harus banyak, bahkan kadang cukup satu sampai tiga kalimat yang mereka anggap paling menarik.
Bagi siswa yang berhasil menyelesaikan tantangan lomba, saya berikan voucher buku seharga seratus ribu rupiah. Sedangkan yang gagal, tetap diberi reward voucher sampai siswa terbanyak keenam. Agar makin senang, tiap kelipatan sepuluh judul buku yang mereka baca, mendapat satu poin prestasi. Akumulasi poin prestasi ini bisa ditempelkan sendiri pada Pohon Prestasi.
Hasil dari Reading Challenge tersebut, dari dua puluh satu siswa, satu anak berhasil menyelesaikan 100 judul buku, dua siswa 90 judul, dua siswa menyelesaikan 60 judul, dan lainnya minimal sepuluh judul.
Bermula dari seringnya berinteraksi dengan buku, membaca akhirnya menjadi suatu kegiatan yang menyenangkan. Cinta membaca pun tumbuh. Kali ini filsafat Jawa Witing tresna jalaran saka kulina terbukti. Bisa disimpulkan, Richa merupakan salah satu cara yang efektif untuk menumbuhkan cinta para siswa terhadap membaca.
Namun, hal ini bisa saja pudar manakala tidak dilaksanakan secara terus menerus. Maka perlu adanya kolaborasi di antara para pendidik di masing-masing lembaga untuk bisa sepakat mengadakan kegiatan ini. Bisa juga, Dinas Pendidikan atau PGRI sebagai organisasi guru memelopori tantangan membaca ini. Tidak hanya untuk siswa, bahkan untuk guru atau keluarga siswa juga sangat baik. Karena hal serupa pernah dan akan dilaksanakan oleh Gubernur Provinsi DKI Jakarta. (https://bacajakarta.jakarta.go.id)
Bagi rekan-rekan pendidik, Reading Challenge bisa dimulai dari yang sederhana sesuai jenjang kelas. Tidak harus jumlah judul buku, namun bisa berupa jumlah halaman. Hal yang paling urgen adalah adanya apresiasi dan tantangan membaca secara berkesinambungan. Keluarga siswa kelas rendah pun bisa dilibatkan. Jika seluruh siswa tinggi minat bacanya, Indonesia makin berdaya. Yuk, kita mulai dari sekarang. Jika tidak segera, kapan lagi?
*Penulis adalah anggota FLP Ponorogo.