Awal mula tertarik nonton film Miracle in Cell No. 7 adalah karena dulu pernah nonton versi Koreanya. Sudah lama, mungkin ketika masih SMA. Namun, alur ceritanya yang menarik—antara penuh humor, tetapi juga menguras air mata—membuat saya terus teringat dengan film itu. Sering kali kalau teman-teman ditanya rekomendasi film, mereka menyebutkan judul tersebut, meski dia bukan seorang K-Popers atau penggemar drama Korea.
Pada awal tahun 2022, saya melihat trailer film ini muncul di Youtube ketika sedang mencari tahu film-film yang akan tayang tahun ini. Waktu itu, hanya terkilas saja ‘nanti mau nonton ini, ah’. Tidak terpikir bahwa akhirnya, pada September ini, saya berkesempatan duduk di kursi bioskop untuk menonton remake dari film Korea dengan judul sama: Miracle in Cell No. 7.
Bertabur Mega Bintang
Boleh saya katakan film ini menarik dari awal selain karena alur yang nantinya akan mirip dengan versi Korea—karena ini remake—juga karena para artis yang akan membintanginya bukanlah abal-abal. Pemeran utamanya saja adalah Vino G. Bastian, tentu kita sudah sangat familiar dengan akting profesionalnya di berbagai judul film. Selain itu, ada nama-nama terkenal lainnya seperti Indro Warkop, Mawar de Jongh, Denny Sumargo, Tora Sudiro, dan Bryan Domani. Meski sebagian masih baru di dalam perfilman, tapi akting mereka patut diacungi jempol.
Film bertema drama keluarga ini mengangkat kisah tentang seorang ayah yang memiliki keterbelakangan mental, tapi sangat tulus menyayangi anaknya. Sang ayah bernama Dodo Rozak membesarkan putrinya, Kartika, sendirian sejak bayi karena sang ibu meninggal setelah melahirkan. Meski memiliki kekurangan, Dodo selalu mengajarkan Kartika untuk berbuat baik. Pekerjaan Dodo memang hanya menjadi penjual balon, tapi ia memiliki sifat jujur dan rendah hati.
Baca juga: Wedding Agreement The Series
Membantah Tuduhan untuk Sang Ayah
Di awal film, kita disuguhkan dengan adegan ketika Kartika (diperankan Mawar de Jongh) bertekad untuk menggelar sidang ulang untuk kasus yang telah lama ditutup, yang ternyata adalah kasus ayahnya sendiri, Dodo Rozak.
Bertahun-tahun yang lalu, sang ayah dijatuhi hukuman mati karena dituduh melakukan pembunuhan dan kekerasan seksual kepada anak perempuan di bawah umur—Melati Wibisono. Melati sendiri adalah anak dari seorang pengusaha kelas kakap sekaligus politikus ternama.
Sebagai anaknya, Kartika mengatakan bahwa sebenarnya Dodo tidak bersalah, dan ia adalah saksi hidup dari kejadian yang sesungguhnya. Lantas, film pun bergulir dengan alur flashback mengisahkan masa ketika sang ayah masih hidup hingga tuduhan itu dilayangkan padanya.
Siapkan Tisu, Siapkan Hati
Jangan sampai lupa bawa tisu pas nonton ini, apalagi kalau teman-teman tipe yang gampang baper dan nangis karena adegan haru. Saya sendiri nangis mewek di bagian ending, sedangkan teman di sebelah saya malah sudah nangis sejak awal-awal film. Untunglah saya menyimpan persediaan tisu di tas, kalau tidak mungkin kerudung saya yang jadi tempat tumpahan air mata, hehehe.
Tapi tenang saja, tak hanya bertabur adegan mengharukan, film ini juga menyuguhkan humor-humor yang dijamin membuat perut tergelitik dan gelak tawa menguar. Apalagi ketika menyimak tingkah geng di sel nomor tujuh. Ada lima orang di sel tersebut—selain Dodo Rozak—yang akhirnya bersahabat. Ketua gengnya adalah Bang Japra (diperankan oleh Indro Warkop).
Film Miracle in Cell No. 7 mengajarkan kita untuk menghargai kasih sayang seorang ayah. Bahkan, ayah dengan kekurangan seperti tokoh utama film pun begitu ikhlas menyayangi anaknya hingga rela melakukan apa pun asal anaknya selamat dan hidup bahagia. Menonton film ini membuat kita teringat memori-memori indah bersama ayah yang seringnya hanya sedikit, tak sebanyak dengan ibu, tapi sangat bermakna.
Saya juga mengapresiasi sutradara film yang telah bersusah payah membuat setiap latar dalam cerita begitu mirip dengan versi Korea, seperti penjaranya yang persis dengan drama-drama Korea yang saya tonton, tetapi juga tidak menghilangkan unsur lokalitas.
Baca juga: Cinta Subuh
Meski masih ada yang sedikit mengganjal, seperti bagaimana Bang Japra di awal cerita menyebut ia merupakan “muhrim” (atau lebih tepatnya mahram) dari Kartika, padahal Kartika bukanlah anak kandungnya, melainkan hanya dianggap anak. Atau sedikit kekeliruan lirik ketika disetel lagu syair “Al-I’tiraf” yang merupakan syair terkenal Abu Nawas. Di luar itu, film ini merupakan produk lokal yang patut diberi apresiasi seluas-luasnya. Ternyata Indonesia juga bisa, lho, bikin yang kayak begini, begitu kira-kira.
Rating usia untuk film ini adalah SU (semua umur), tapi saya merekomendasikan untuk ditonton usia tiga belas tahun ke atas, karena masih ada kata-kata kasar, adegan kekerasan, dan hal-hal yang tidak pantas untuk dikonsumsi anak-anak. Nah, untuk kalian yang suka nonton film bertema keluarga dengan bumbu persahabatan, sekaligus bisa bikin nangis bombay, jangan ragu untuk sama-sama ke bioskop nonton Miracle in Cell No. 7.