Patah Hati Kedua

648
patah hati kedua
ilustrasi (pinterest)

Idulfitri mestinya menjadi hari paling membahagiakan bagiku. Namun, tidak dengan idulfitri kali ini. Aku merasa kehilangan yang sangat berat. Kehilangan Ramadan? Ya, ada, tetapi aku tidak bisa membohongi diri sendiri. Ada kehilangan lain yang perih.

Tengah malam aku terbangun. Sayup-sayup takbir terdengar dari masjid. Kulihat jam dinding yang jarumnya bergerak lambat. Hari baru saja berganti. Berarti belum dua jam mata ini terpejam. Anehnya, mata ini tak bisa terpejam lagi. Gelisah menyergap dalam hati. Kuambil wudu, mencoba menenangkan diri lalu melangkahkan kaki ke masjid, bergabung dengan mereka yang masih terjaga dalam takbiran. Hingga pagi, lisanku mengumandangkan takbir kemenangan tetapi hatiku diterpa rasa kehilangan. Teman yang melihat mataku berkaca-kaca mungkin menganggap itu air mata bahagia di hari raya. Tidak, itu adalah uap luka jiwa yang mengembun di celah-celah mata.

“Maaf jika selama ini komunikasi kita terlalu nyaman dan memunculkan perasaan yang tak seharusnya ada. Aku tak ingin jadi sumber fitnah,” ucapnya mengakhiri percakapan di aplikasi perpesanan kemarin siang. Bagiku, pesan itu adalah kata-kata perpisahan.

“Baiklah, Ra. Maafkan aku.” Aku kehilangan kata-kata. Entahlah, urusan perasaan memang rumit. Dan apa yang Raisa katakan mungkin benar. Kedekatanku dengannya telah menumbuhkan sebuah rasa. Aku berusaha menyembunyikannya. Hingga sebuah kata rindu terucapkan dan membuatnya tidak nyaman.

Dua tahun lalu, kali pertama aku bertemu Raisa. Di sebuah acara di kota pendidikan. Meskipun berbincang dan bertatap muka, aku tidak terlalu memperhatikan wajahnya. Hanya sekilas saling pandang dan tak ada perasaan apa-apa. Biasa saja. Sejak bertahun sebelumnya aku berusaha menjaga pandangan. Mungkin itu yang membuat hatiku terjaga.

Beberapa kali kami juga berkomunikasi. Seperlunya. Hanya ada pertanyaan dan jawaban yang semuanya bernada formal. Selama ini aku berhasil menjaga jarak dengan gadis mana pun. Meskipun itu rekan sekantor, sesama alumni, maupun teman seorganisasi.

Hingga kemudian, sebuah proyek kembali mempertemukan kami. Aku dan Ra masuk dalam tim yang sama. Entah bagaimana mulainya, kami tak hanya bicara urusan kantor, tetapi juga berbagi pandangan soal sebuah tema. Esok atau lusa, berganti tema menyesuaikan bahasan kerja. Banyak kecocokan antara aku dan Ra. Mungkin dari situlah bibit rasa itu bersemi. Lalu ia tumbuh saat mendapati kebaikan demi kebaikannya. Ah, benar kata pujangga. Jika sudah berteman lama, rasa suka itu muncul pelan-pelan, bahkan engkau sendiri tidak menyadarinya. Bukan karena melihat fisiknya, tetapi karena kebaikan-kebaikannya. Bukan dari mata turun ke hati tetapi dari kecocokan dan kenyamanan komunikasi.

Aku tak tahu rasa suka yang mendatangkan kepercayaan atau rasa percaya yang mendatangkan suka. Tak hanya berbagi pandangan soal tema yang masih terkait dengan urusan kantor, kami juga berbagi cerita pribadi. Termasuk pengalaman patah hati.

“Aku juga pernah patah hati, Ka,” Ra mengawali ceritanya setelah aku menceritakan kisah patah hati yang bahkan belum pernah kuceritakan kepada kakakku sekalipun.

Waktu terus berjalan dan aku semakin menyadari bahwa rasa ini adalah cinta. Aku terus memendamnya. Hingga siang itu, entah kenapa tiba-tiba aku mengatakan rindu.

Aku sudah tahu risiko jatuh cinta adalah patah hati. Sebagaimana setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Aku pernah mengatakan padanya, setelah dahulu pernah patah hati, sepertinya semua akan baik-baik saja ketika suatu saat nanti aku patah hati lagi. Seakan hati ini demikian kokoh menjalani ujian perasaan. Nyatanya tidak. Kali ini lukanya lebih lama.

Dahulu lukaku lebih cepat sembuh karena paradigmaku tentang wanita berubah. Harus menutup aurat, minimalnya. Dan karena itu tak ada padanya, aku begitu cepat pulih saat ia memilih berteman saja. Tapi Ra? Dia sosok ideal dalam paradigmaku yang baru.

Hari demi hari berjalan lambat. Ketika semua orang berbahagia dalam suasana hari raya, gelisah di jiwa kian mendera. Tiba-tiba melamun di siang hari. Tiba-tiba terbangun di malam hari dan sulit untuk tidur lagi.

“Tidak tidur lagi, Ka?” Arini, kakak perempuanku satu-satunya, sudah berada di belakangku. Mengenakan mukena putih, dia mulai menghamparkan sajadahnya.
“Enggak, Mbak.” Aku menjawab pelan lalu melanjutkan zikir. Meskipun tak serta merta galau itu hilang seluruhnya, aku percaya salat dan zikir adalah healing terbaik yang membawa ketenangan. Ada perasaan lega bersamaan dengan keluarnya air mata saat munajat kepada-Nya.

“Beberapa malam ini kulihat kamu bangun tengah malam. Sesenggukan saat salat. Ada apa?”
“Enggak ada apa-apa, Mbak.”
“Ka, aku tahu kamu sedang menyembunyikan sesuatu. Biasanya kamu ceria, suka cerita saat makan bersama. Belakangan ini jadi pendiam dan wajahmu tampak sangat lelah.” Sampai sebegitunya kah? Aku berusaha tersenyum dan menutupi luka, tetapi mungkin tidak bisa menyembunyikan sakitnya. Agaknya Mbak Arini bisa membacanya.

“Aku … aku patah hati, Mbak.”
“Hah? Kapan jatuh cintanya?” Aku langsung meletakkan jari telunjuk ke bibirku. Volume suara Mbak Arini meninggi, khawatir ayah dan ibu terbangun.
“Entahlah. Mungkin tiga bulan yang lalu. Aku sudah berusaha melawan rasa itu, tapi tidak bisa.”
“Terus?” kali ini Mbak Arini mengecilkan suaranya.
Akhirnya aku cerita pada Mbak Arini. “Dua hal yang membuatku patah hati. Pertama, aku tidak tahu apakah dia juga memiliki rasa yang sama. Kedua, aku tidak yakin apakah bisa menikahinya.”

Mbak Arini menghela napas panjang.
“Aku tahu poin kedua ini tidak mudah. Setidaknya untuk saat ini. Mbak minta maaf, ya.” Kulihat matanya ikut berkaca-kaca. Tidak mudah mendapatkan izin menikah dari orang tua kami. Dua tahun yang lalu seorang laki-laki melamar Mbak Airini. Ayah tidak menerima dengan alasan pekerjaan laki-laki itu belum mapan. Padahal Mbak Arini siap menikah dengannya. Lalu aku? Dalam tradisi keluarga kami, seorang adik tidak boleh menikah jika kakak perempuannya belum menikah.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Mbak.” Aku mulai terisak. Kuputar tubuhku kembali menghadap kiblat. Melanjutkan zikir dan munajat. Sekaligus memberi kesempatan Mbak Arini untuk salat.

Ternyata butuh 15 hari untuk kembali ke kehidupan normal. Selera makan kembali normal, bisa kembali fokus bekerja, dan tak lagi terbangun di tengah malam. Jauh lebih lama dari penyembuhan patah hati pertama. Itu pun setelah Ra mengizinkan aku kembali menghubunginya.

“Yang penting tidak mengobrol yang aneh-aneh, biar tidak kepikiran,” pesan dari Ra membuat hatiku kembali berbunga-bunga. Namun, aku harus belajar dari kesalahan sebelumnya. Aku harus memendam rasa ini, sampai Allah menakdirkan aku bisa melamarnya. Atau justru orang lain yang terlebih dahulu melamarnya.

Baca juga: Kutipan Novel Rasa Tere Liye

“Jadi, kamu akan merelakan jika ada orang lain yang melamarnya?” Mbak Arini bertanya dengan mimik serius. Sepertinya ia ingin menegaskan keputusanku.
“Ya. Bukankah Mbak Arini pernah mengatakan, cinta itu tidak meminta menunggu. Jika kita tidak siap, kita tak boleh menghalangi siapa yang datang terlebih dahulu.”
“Kamu yakin tidak akan patah hati lagi jika itu terjadi?”
Aku terdiam. Bayangan wajah Ra kembali muncul. Bayangan yang sama di hampir setiap malam dalam mimpiku. Segera kulirihkan istigfar, seperti pesan Ra waktu itu.
“Apa yang terjadi, aku yakin itu takdir terbaik, Mbak. Pada akhirnya, kita harus mendekap setiap takdir dengan penerimaan.” []

Konten sebelumnyaIslam dan Kebudayaan Nusantara
Konten berikutnya“Wedding Agreement The Series”: Belajar Makna Cinta dari Pernak-Pernik Pernikahan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini