Puisi dan Keunikannya

1475
ilustrasi puisi: pinterest

Oleh: Aris Rahman Yusuf

“Menulis puisi itu tidak sulit, tetapi menjadi penyair itu tidak gampang.” (Imam Budhi Santosa)

Pada setiap forum diskusi atau acara sastra sering saya temui pertanyaan tentang apa sih puisi itu, bagaimana sih bentuk puisi yang benar itu, mengapa ada penyair yang menulis puisi dengan taat kepada tata bahasa dan ada yang menulis puisi pakai huruf kecil semua? Akhirnya, ada banyak jawaban. Jawaban itu antara lain; puisi adalah ungkapan hati, puisi adalah ungkapan perasaan secara spontan, sebuah tulisan adalah puisi jika Anda menyebutnya itu puisi.

Untuk pertanyaan mengapa ada penyair menulis puisi yang taat kepada tata bahasa dan ada juga yang tidak taat bahasa, jawabannya karena puisi memiliki keunikan, yaitu adanya licentia poetica. Licentia poetica adalah penyimpangan bahasa dalam puisi yang disebabkan bahasa puisi khususnya dan bahasa sastra umumnya bersifat tidak stabil. Setiap angkatan dalam sastra mengubah konvensi sastra sambil memakai dan menentangnya (Teeuw, 1983:4).

Saya jadi teringat salah satu  acara sastra yang dulu rutin diadakan di Perpustakaan Mojokerto. Acara itu bernama Terminal Sastra dan dulu biasanya diadakan sebulan sekali. Pada acara tersebut pernah ada peserta yang bertanya kepada Dadang Ari Murtono mengapa saat menulis puisi dia menulis pakai huruf kecil semua kecuali kata Tuhan. Selain itu, ada pertanyaan tentang tidak adanya titimangsa dalam puisi salah satu narasumber yang ketika itu puisinya dibedah. Jawabannya masih saya ingat dan saya suka dengan filosofinya.

“Mengapa saya menulis puisi dengan huruf kecil semua? Karena saya memperlakukan huruf seperti alam semesta. Semua yang ada di alam ini kecil kecuali Tuhan Yang Mahabesar.”

Untuk pertanyaan tentang tidak adanya titimangsa, saya lupa apa jawaban narasumber, tetapi hal ini mengingatkan saya saat masih bekerja di Surabaya sekira tahun 2012. Saya teringat pada suatu malam ada kenalan seorang penulis di kota itu yang mengajak ngopi. Dia menyarankan kepada saya agar setiap selesai menulis tidak lupa menuliskan titimangsa untuk mengingat kapan tulisan itu saya buat dan pada peristiwa apa tulisan itu muncul. Saat itu saya juga tidak pernah menuliskan titimangsa setiap selesai membuat puisi. Di buku pelajaran sekolah saat saya SMA juga tidak semua penyair menuliskan titimangsa. Saya mengenal titimangsa dari teman kenalan saya tadi dan saat awal-awal suka mengikuti lomba-lomba menulis puisi dari grup-grup menulis.

Puisi berbeda dengan berita yang sering kita jumpai di koran. Berita harus disusun dengan tanda baca yang benar agar berita atau laporan bisa dibaca dengan mudah. Sebaliknya, penyair bisa saja mengatur tanda bacanya sendiri meskipun tidak sesuai dengan tata cara berbahasa secara umum. Hal ini dilakukan agar menimbulkan perasaan tertentu bagi yang membacanya. Berita tidak disusun dalam larik-larik, tetapi dalam bentuk kalimat. Sementara itu, kata-kata dalam puisi bukan membangun kalimat, melainkan membangun larik-larik.

Penyair sering alpa menggunakan huruf besar untuk permulaan kalimatnya dan tanda titik untuk mengakhiri kalimat itu. Sering pula kita sulit mencari kesatuan manakah yang dapat kita sebut satu kalimat dalam puisi. Baris-baris puisi tidak harus membangun kalimat karena makna yang dikemukakan mungkin jauh lebih luas dari satu kalimat tersebut (penyimpangan sintaksis).

Saat awal menulis puisi, saya juga memiliki pertanyaan yang sama dengan yang saya tulis pada bagian pembuka. Saat pertama menulis puisi, saya juga selalu memakai huruf besar pada awal baris sehingga sempat bingung ketika menemukan bentuk bervariasi dalam puisi. Sebenarnya penulisan puisi yang benar itu bagaimana, sih? Dengan mendapatkan ilmu tentang licentia poetica ini saya mulai paham dan berani membuat perwajahan puisi yang bervariasi untuk tiap-tiap judul dengan alasan yang berbeda-beda.

Licentia Poetica dalam puisi bisa diterapkan asalkan penyair punya alasan yang kuat dan tidak sekadar ikut-ikutan. Ibarat kita pergi ke suatu tempat, jika lewat jalan A sebenarnya lebih cepat tetapi jalan macet panjang. Jika lewat jalan B, jalannya sepi meskipun sedikit jauh. Saat kita memperkirakan waktu tempuh yang ternyata sama saja sebab jalan A macet, kita pasti memilih jalan B karena lebih tenang saat perjalanan. Seperti itulah saat kita memutuskan untuk menulis memakai penyimpangan bahasa dalam puisi.

Sebelum memutuskan untuk banyak menulis puisi, agar kita lebih memahami dan mencintai puisi, ada baiknya kita sering membaca banyak puisi dari banyak penyair yang sudah menulis puisi terlebih dahulu. Hal ini diperlukan agar kita lebih mencintai puisi. Dari banyak membaca akan membuat kita berani berkreasi saat menulis puisi. Tanpa membaca terlebih dahulu akan menyebabkan kita bingung dan takut menuliskannya karena sudah benar atau masih salah.

“Tak kenal maka tak sayang.” (Sebuah pepatah lama)

Aris Rahman Yusuf (Kordiv Karya FLP Mojokerto) adalah seorang penulis pemelajar. Saat ini dia beraktivitas menjual buku secara daring. Dia suka belajar tentang bahasa Indonesia, tentang tata bahasa, dan perkembangan kata-kata sehingga kadang-kadang membantu teman-teman yang membutuhkan jasanya untuk melakukan editing tulisan. Jika ingin mengenalnya, Anda dapat menambahkan pertemanan di FB Aris Rahman Yusuf (Aryus) atau IG @Aryus04.
Konten sebelumnyaCerpen: Terbungkus Godaan Dasim
Konten berikutnyaInsaf Menulis

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini