Cerpen: Takut Harus Dilawan

215
ilustrasi: pixabay

Oleh: Ika Nurmaya

Minto adalah CPNS baru yang bekerja di sebuah Instalasi Pemeliharaan Sarana Prasarana sebuah rumah sakit. Ia bertugas memperbaiki dan mengalibrasi berbagai peralatan maupun sarana prasarana lainnya yang digunakan di rumah sakit. Bukan hanya alat yang harus ia lihat, tapi juga darah berceceran, muntahan pasien, sibuknya ruang Instalasi Gawat Darurat, bahkan sakaratul mautnya seorang pasien di tengah peralatan medis yang harus diperbaiki.

Namun, yang ia takutkan sebenarnya bukan itu. Ia menjadi sangat fobia jika harus bertugas sendirian di malam hari. Hal ini berhubungan dengan kisahnya di masa kecil yang mengalami peristiwa menyeramkan. Pasalnya, Minto adalah geng laki-laki yang selalu kebagian shift malam, dikarenakan enam teknisi elektromedis lainnya adalah berjenis kelamin perempuan, yang memang harus diprioritaskan masuk shift pagi dan sore demi alasan keamanan dan lain-lain.

Minto adalah anak mama yang hidupnya selama ini selalu tercukupi. Ia tidak pernah merasakan tidur sendiri, apalagi jalan sendiri. Selain kakak dan adiknya banyak, Minto selalu punya teman-teman sekolah dan bermain yang tidak pernah meninggalkan ia sendirian. Namun, ia pernah mengalami kejadian yang tidak pernah dilupakan hingga saat ini. Saat SMP, ia memilih ekstrakurikuler Paskibra, yang membuatnya menjalani jurit malam di sekolahnya, gedung yang sudah berusia ratusan tahun. Bangunannya memang didirikan sejak zaman penjajahan Belanda, sehingga kesan tua dan angkernya luar biasa terasa di malam hari.

Sebenarnya, jurit malam itu seperti estafet memberikan pesan dan menyelesaikan masalah, dan jarak antarteman tidak terlalu jauh, hanya sekitar sepuluh meter, hanya memang tersembunyi. Sayangnya, teman Minto yang memberikan sandi berupa suara burung, ternyata ditiru sama persis oleh burung betulan yang terbang dekat Minto. Burung itu bersuara mengarahkan Minto berbelok ke arah yang salah. Hingga ia harus memasuki gerbang dari jalan terusan yang di sampingnya adalah ruangan-ruangan kelas dengan pintu yang besar-besar. Seketika bayangan-bayangan mulai mengikuti di samping Minto, terlihat di dinding-dinding kelas.

Mulanya, Minto hanya diam, lalu ia curiga ketika ada bayangan yang melewati bayangan tubuhnya. Ia segera menoleh lalu berbalik, mencari siapakah yang bersama dengannya, bahkan mendahului langkahnya. Tapi di lorong itu Minto hanya sendiri. Ia lalu memutuskan untuk berteriak, tetapi teriakannya malah menimbulkan gema yang semakin membuat dirinya merinding. Ia lantas lari lintang pukang secepat kilat menuju gerbang. Semakin degup jantungnya berdenyut keras demi melihat gerbang itu sisi sebelah kanan mulai menutup sendiri. Keringat dan air kencing sudah membanjir di celananya. Selangkah lagi ia hampir sampai di gerbang itu. Ia tidak tahu sewajah apa yang akan menyambutnya. Lalu tiba-tiba loncatlah seekor kucing hitam tepat di wajahnya, yang membuat Minto sukses pingsan.

Saat menjadi CPNS, Minto tidak tahu akan bertugas di mana. Ternyata, Minto bertugas di sebuah rumah sakit yang salah satu sisinya adalah bangunan sejak zaman Belanda. Saat ia melewati lorong bangsal rumah sakit itu, kejadian traumatis di masa lalu begitu membayang. Ia tidak menyangka harus melakukan perjalanan melewati lorong berdinding tebal dengan pintu-pintu dan jendela-jendela besar di sampingnya, mirip lorong sekolahnya dulu.

Kepala instalasinya selalu heran ketika Minto selalu menolak untuk ditugaskan di ruang rawat yang melewati lorong itu. Minto ingin bercerita padanya, tapi ia takut malu ditertawai karena hal itu. Tapi malam itu, ia harus ke sana, karena alat medis yang diperbaiki ada di dekat lorong itu. Minto berusaha merayu atasannya itu dengan segala daya dan upaya, tapi hasilnya nihil.

Atasannya itu tiba-tiba berkata, “Hedeh, kamu ini kan abdi negara, masa sama setan aja takut? Harusnya takut itu sama Tuhan. Kalau pasiennya mati gara-gara kamu nggak cepat ke sana, apa kamu sudah siap dengan jawaban atas pertanyaan hisab nanti?”

“Mas kok tahu sih kalau saya takut lewat lorong itu?”

“Lah kamu kira saya ini tidak bisa membaca bahasa tubuhmu yang selalu menampilkan ketidaksukaan kalau disuruh ke sana?”

“Tanya, Mas, kalau saya pingsan bagaimana?”

“Halah, ada satpam yang selalu patroli tiap satu jam, kamu pasti ditemukan kalau pingsan, dan saya pasti langsung diberitahu. Sudah, kamu harus lawan itu rasa takutmu. Nggak tahu bagaimana caramu, kamu harus sampai di sana dalam sepuluh menit lagi. Berdoalah, kan punya Tuhan untuk dimintai pertolongan. Bayangkan yang baik-baik saja.”

“Mas, kalau setannya ngintili saya bagaimana?”

“Bilang ke setannya kalau kamu buru-buru, jadi kalau nggak kuat ngintili ya gak usah ngintili, gitu aja kok repot.” Bos satu ini ngomong dengan wolesnya sambil tetap memancing upil yang besarnya seperti pil tablet vitamin C IPI.

“BERANGKAAAT!” teriaknya. Minto terlonjak kaget

“Ya ampun Mas, kaget saya. Duh, mengapa saya gak pingsan aja, kan enak nggak jadi ke sana.” Minto setengah berlari keluar dari ruangannya.

Berjalanlah Minto dalam perasaan galau. Sepanjang jalan ia berdoa, segala zikir diucapkan, surat Al-Fatihah dan ayat kursi terus ia rapalkan saat melewati lorong itu.

Sampai akhirnya, ia dikejutkan oleh suara perempuan yang bergema di sepanjang lorong.

“Heeeei…, Mas Minto, sampean mau ke mana?”

“Ke Ruang rawat inap Mawar.”

“Lha pintunya kan di sini, kok sampean lewati aja? Ayo sini Mas, nanti sampean langsung masuk ke kamar nomor tiga ya, itu emergency trolley-nya yang bermasalah ada di situ.”

“Mbak kepala ruangannya ya? Maaf lho, Mbak, saya belum hafal.”

“Iya wis tidak apa-apa, alatnya butuh segera diperbaiki.”

“Makasih ya, Mbak.”

Minto mengucapkan terima kasih karena sudah diberitahu kepala ruangan Mawar. Sesaat ia menatap wajah sang kepala ruangan yang tersenyum aneh padanya sambil cepat-cepat pergi menjauhi Minto.

Minto segera menuju kamar nomor tiga. Ia segera memperbaiki alat-alat pertolongan darurat, lalu mengalibrasinya. Setelah selesai, Minto kembali ke meja perawat untuk laporan pada kepala ruangan.

“Mbak, kepala ruangannya mana, ya?” Minto bertanya pada salah seorang perawat.

“Itu Mas, yang pakai jilbab biru.” Perawat itu menunjuk pada perawat yang warna jilbabnya biru. Minto heran. Ia merasa yang tadi memanggilnya memakai jilbab putih. Minto segera mendekati perawat berjilbab biru.

“Malam, Mbak. Sampean kepala ruangannya?” Minto bertanya.

“Iya Mas, saya Nanik, kepala ruangan Rawat Inap Mawar,” jawab perempuan itu.

“Saya Minto, yang ditugasi Pak Salim untuk memperbaiki alat di kamar nomor tiga. Mbak tadi yang manggil saya saat di lorong tadi, kan? Apa memang ganti jilbab mbak?” tanya Minto

“Iya, Mas, makasih ya sudah diperbaiki. Walah, dari tadi ya jilbab saya biru kok, dan saya tadi tidak merasa memanggil sampean. Malah saya heran, kok sampean bisa tahu kalau alat yang rusak ada di kamar nomor tiga, padahal saya belum menunjukkan, kok tiba-tiba sudah dilaporkan kalau selesai diperbaiki,” kata perempuan itu

“Haaah? Terus yang tadi manggil dan menunjukkan saya alat yang rusak tadi siapa, Mbak? Ya Allah, sampean jangan membuat takut saya, Mbak!” seru Minto

Mbak Nanik tersenyum. Ia lalu menanyai semua perawat yang bertugas malam itu, adakah yang memanggil Minto dan menunjukkan kamar dari letak alat yang harus diperbaiki. Dan, ternyata tidak ada satu pun perawat yang memanggil Minto. Ia lemas dan terbengong-bengong. 

“Halah, tidak apa-apa, Mas. Di sini sudah biasa disapa dan berjalan bersama makhluk gaib, nanti lama-lama juga biasa. Kan dia nggak mengganggu sampean, malah menunjukkan tempat alatnya. Berani aja, Mas, ada Allah yang selalu melindungi kita.” Mbak Nanik berusaha menguatkan Minto.

Minto terenyak. Dalam pikirannya terjadilah pergulatan batin, antara kembali ke ruangannya, atau tetap di ruang Mawar hingga pagi datang.

Ika Nurmaya, dipanggil Ika atau Maya. Lahir 42 tahun lalu tepat tanggal 22 Maret 1980 di Surabaya. Arek Suroboyo. Lulusan S1 Kesehatan Masyarakat dan S2 Magister Kesehatan di Universitas Airlangga. Pernah menjadi PNS di RSUD BDH Surabaya lalu saat ini menjadi dosen di UNESA, status menikah dan menjadi Ibu  dari dua anak.  Anggota dari FLP Sidoarjo    dengan NRA: 052/D/013/016, sudah punya 31 buku antologi, tulisannya juga pernah dimuat di koran Jawa Pos dan Media Indonesia. Bisa dihubungi di gawai/wa 08819422816 atau email: ikanurmaya.skm@gmail.com.
Konten sebelumnyaFLP Tulangan, Prasasti Cinta di Bulan Mulia
Konten berikutnyaDicekam Ketakutan

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini