Tahun 2021
Engkau adalah sosok yang dikenal sebagai ustaz. Pula di media maya lumrah dipanggil begitu. Khalayak tiada yang tahu bahwa sering kali kaulakukan dosa besar tanpa beban. Ringan, sebelah mata, dan merasa baik-baik saja.
Bila mereka tahu salat sering kautinggal, hancur sudah citramu. Hilanglah pujian dari pengikutmu. Tiga ribuan pengikut akan serentak menghujat, bila tega kusebarkan aib ini.
Aku masih ingat. Dengan bijaknya engkau mewejangi pengikut. Agar taat beribadah setiap saat di tengah pandemi. Di dalam kotak pesan, kauketik kalimat-kalimat pemantik semangat. Kumpulan aksara pun terketik, penepis sikap pesimis penggemarmu.
Diri merekalah yang bertanggung jawab atas waktu luang, untuk apa digunakan. Mustahil orang bisa berkarya bila sisa hidupnya dibuat mubazir, katamu. Mereka sadar, tentang siapa pengambil keputusan saat salat atau tak salat. Siapa yang menentukan saat bermaksiat atau kelesa atas nama rehat.
Berkat jasamu itu, mereka bangkit. Untaian indah asli kalimat racikanmu sendiri. Menguatkan mereka untuk beribadah lima waktu tanpa bolong satu pun, saban hari. Aku tahu itu, setidaknya dari status di sosial media mereka. Pandemi memang tak menghentikan mereka untuk taat ibadah. Lalu bagaimana dengan dirimu?
“Cukup!” ucap engkau dengan nada marah. Memerah telingamu saat kubisikkan salahmu ini. Engkau hanya tak ingin waswas saja.
“Allah telah menutup aibku, terhadap salat yang tak sempat kukerjakan. Bukankah Dia Maha Pengampun?” tanyamu balik kepadaku yang kau cap meresahkan. Aku diam saja.
“Selagi tak kuceritakan aibku, apalagi bangga di depan khalayak, bukan hal yang lengkara bila dosaku terhapus tobat.”
“Lantas kapan engkau tobat?” tanyaku.
“Mulai besok. Aku akan tobat dan salat lima waktu. Tak akan bolong lagi. Mulai dari nol.”
“Tapi….”
“Diamlah! Aku berlindung kepada Allah dari waswas setan.”
Bungkamlah mulutku. Gila, susah dibisiki nasihat. Lantaran jawabanmu yang tak jauh beda dari sanggahan yang lalu-lalu. Minta perlindungan kepada Tuhan segala, ketika aku nasihati. Sial, tiba-tiba memakiku.
Semenjak engkau tak pernah menapak kaki di masjid, kualitas takwa dalam hatimu telah berubah. Berdiam diri di rumah, menjauhi keramaian, dan ceramah hanya daring. Pandemi mengubah jati dirimu. Apakah selama ini engkau ria, tapi tak disadari? Ketika orang melihatmu, engkau laksana singa. Amat rajin. Sedangkan ketika sendiri, kau bolongkan salatmu.
Niatmu mendekam, amat bagus. Lari dari takdir satu ke takdir yang lain, agar tak mati sia-sia sebagaimana zaman penyakin tha’un[1] merebak. Engkau mengganti salat jamaah dengan salat sendiri. Semua yang kauperbuat, dilandaskan dalil. Seperti yang diajarkan Umar bin Khattab ketika terjadi pandemi. Namun, realitanya, engkau kebablasan saat salat sendiri dengan tak genap lima waktu sehari.
Bahkan kini telah berhari-hari tinggal bersamaku, hanya empat waktu saja yang kaudirikan. Engkau juga tak kunjung keluar dari pagar rumah kontrakan. Semua serba daring. Engkau mendengar azan, tapi kelesa. Enggan beranjak memenuhi panggilan Tuhan. Sibuknya hanya menghabiskan stok makanan di kulkas, atau pesan makanan layan antar bila bosan masakan sendiri.
Kadang aku malah tak dapat jatah makan, saking rakusnya dirimu, meskipun engkau makan dengan nama Allah. Sampai kurus kerontang seperti ini, diriku. Aku tak keenakan tinggal di sini sebagai kawanmu.
Pekerjaanmu masih terus bergulir. Ceramah daring dari zuhur ke asar. Biasanya dilanjutkan sesi tanya-jawab bakda salat Asar.
Dari segala tindak tandukmu itu, ada satu hal yang paling ingin kuhina-hina. Salah satunya tatkala melihat status dan kiriman cerita di media sosial. Kirimanmu.
“Selama pandemi, hanya ada aku dan Tuhanku.” Begitu bunyi statusmu.
Benarkah? Engkau anggap apa diriku? Statusnya begitu, tapi tadi ketika sempat marah-marah lantaran diingatkan salat, itu siapa yang mengingatkan? Bilang aku dan Tuhanku, nyatanya bukan begitu.
Baiklah, jika itu maumu. Besok adalah pembuktiannya. Bukti bahwa engkau berhasil salat genap lima waktu. Tanpa bolong, mulai dari nol.
Siang ini, sekali lagi aku tanyakan, “Mau sampai kapan engkau menipu khalayak?”
“Besok aku tobat. Sungguh. Titik! Puas kau, wahai penebar waswas!”
***
Malam ini, beberapa jam setelah beradu argumen tadi siang, engkau mengizinkanku masuk kamar. Kita sama-sama menatap layar gawaimu. Aku pun turut membaca cuplikan berita-berita. Sempat pula dituruti apa mauku, untuk kita sama-sama membaca satu berita secara utuh.
“Wah, lihatlah, Kawan. Selama pandemi, layanan situs dewasa gratis untuk diakses. Coba baca lebih lanjut beritanya. Agar tahu benar tidaknya. Barangkali hanya bisa diakses orang-orang Itali saja.”
Engkau pun penasaran. Demi menggugu arahanku, kautekan judulnya lalu masuk situs. Lantaran banyak iklan, segera saja keluar dari situsnya dan berseluncur lagi ke dalam situs berita yang serupa. Dalam sekejap, kita sama-sama tercengang.
“Wah, mengerikan juga ya, kalau ada situs yang gratis mengakses film dewasa seperti itu.”
Aku mengangguk sebagai tanggapanku. Nama situs dewasa terang-terang terpampang di laman itu. Ada satu, digulir ke bawah ada lagi, dan total ada empat situs dewasa gratis.
“Nah, ini bisa dibuat untuk materi lusa. Menarik ini. Pasti banyak yang ikut daring kajianku,” katamu dengan pertimbangan ringan. Tak hanya lusa, tapi esok hari juga, kau akan ceramah.
Meskipun tema ceramahmu mengandung risau akan kaula muda, aku tahu betul perangaimu. Paling penting bagimu kini, semuanya bisa jadi cuan. Demikianlah menurutku. Aku tak perlu membuktikan apa pun, tapi aku rela bersaksi.
Kuterka malam ini akan seperti malam kemarin. Tatkala terangsang, usai baca informasi baru saja, engkau nekat melakukannya. Engkau ingin bercengkrama dengan situs terlarang seorang diri. Tentu seperti biasa, terkaanku tak pernah meleset.
Atas dasar tak nyaman rebahan di sisimu karena akan segera melampiaskan nafsu, kutuju kamar kosong sebelah. Kamar yang fungsi utamanya untuk ibadah. Ketimbang jarang ditempati kecuali sekitar lima menitan, biar aku saja yang rebahan di kamar kosong itu. Meninggalkanmu, sampai berahimu terpuaskan. Tak lama sesampainya di kamar sebelah, suara itu terdengar juga. Suara tangan memaksa semburan yang hina keluar.
“Bajingan kau!” ucapku dalam benak, “kau pun sama denganku. Bedanya, aku tak pernah sok suci begitu. Dasar ustaz gadungan!”
Aku girang, tertawa saat engkau mendengkur. Setidaknya, aku lebih baik daripada engkau. Aku tak munafik. Lalu seperti yang telah lalu, terkaanku tak akan meleset. Pastinya usai ereksi, terjadilah kelelahan yang sangat, membuatmu kesiangan, subuh pun melayang. Potong lidahku jikalau esok hari keliru.
Tubuhmu baru diguyur air jelang zuhur. Usai salat Zuhur, persiapan siaran langsung dan dialog intetaktif dari layar sentuhmu. Sungguh, produktif sekali terbungkus kedok agama.
***
“Kita potong dulu diskusi kita. Sesi tanya jawab berlanjut setelah azan Asar selesai,” pintamu kepada jamaah. Kulihat, banyak yang datang.
Kutaksir, sembilan puluh persen ucapanmu digugu mereka. Ya, bagaimana ya? Aku hanya bisa tertawa. Padahal kerjaku di dalam rumah tak sekadar mentertawakan borokmu. Masih banyak yang bisa kulakukan. Dan, tentu saja lidahku tak jadi terpotong karena engkau telat Subuh lagi. Engkau mandi pukul 10-an.
Saat azan Zuhur, aku terkentut-kentut. Dari luar pagar, ada suara kentut yang paling keras. Aku tahu betul itu kentut siapa. Rupanya kawan-kawanku, yang buat kegaduhan di luar pagar. Bersorak sorai di luar pagar, tak bisa masuk ke rumah kontrakan ini. Mereka ingin masuk, tapi pintu rumah dikunci.
Aku senang mereka datang, kentut mereka menghalangi suara azan. Mereka terus terkentut-kentut dan teriak saat azan. Mau tak mau aku harus menyusul mereka, supaya tak teriak-teriak seperti itu. Keluarlah aku melalui jendela tanpa sepengetahuan dan izinmu si ustaz gadungan. Maaf, Kawan, kau kawan terburuk yang pernah aku miliki.
Semringah wajah kawan-kawanku saat ditemui. Sesampainya di luar pagar, mereka dengan bangganya menggotong tubuh ini, setinggi-tingginya. Dijunjung bagai bangsawan terhormat, diantarnya ke istana paduka raja iblis.
Sepertinya ada berita gembira dari mereka, sampai-sampai raja iblis mengundangku ke istananya. Mungkin untuk selamanya, dengan kejutan berita besar ini, aku tak bisa lagi serumah denganmu, Ustaz. Akan ada yang menggantikan peran kecilku di dalam hidupmu. Akan ada rekan baru untukmu. Ya, aku tak akan kembali lagi. Selamat tinggal, Ustaz.
***
Sesampainya di dalam istana Raja Iblis yang Mahaperkasa, semua orang tampak menunduk takzim menyambutku. Paduka memandangiku yang sedang berlenggang, dengan senyuman puasnya. Langkahku terhenti, di batas akhir melangkahkan kaki seorang hamba. Bila lebih sejengkal, putuslah leher. Aku berlutut dengan lutut kiri, menghamba dan tak akan mendongak sampai ia bertitah.
“Engkau hebat, wahai hamba-Ku!” sabdanya. Menggetarkan jiwaku. Aku sangat bangga dipuji oleh-Nya.
“Dalam situasi pandemi seperti ini, ustaz itu terjebak rutinitas yang membusungkan dadanya. Kini ia telah terbungkus maksiat. Terbungkus godaanmu, wahai Dasim!”
Jadi, ini yang membuatku dipanggil oleh maha raja? Padahal, kawanku si ustaz itu otomatis bermaksiat sendiri. Tanpa banyak kubisikkan niat-niat jahat.
Lantas sempat kudongakkan kepala usai Paduka Raja Iblis Maha Perkasa bertitah. Aku melirik pelayan raja, cantik-cantik, yang berjalan membawa nampan-nampan hadiah dan pangkat.
“Engkau pantas naik pangkat, Dasim. Terimalah rahmat-Ku. Ambil emas-emas ini. Gelang dan baju zirah dari emas. Zirah untuk para Jenderal Drubiksa[2]. Nikmati istana barumu, Dasim. Bersenang-senanglah dengan para dayang.”
“Hamba merasa amat terhormat menjadi jenderalmu, Paduka.”
“HAHAHAHA…!”
Tertawanya menggelegar. Menunjukkan wibawanya ke penjuru istana. Aku sangat senang berkenalan dengan ustaz itu. Dikiranya aku yang menggodanya untuk tak salat. Berkatnya, aku naik pangkat.
“Tapi ingat! Setelah bersenang-senang dengan para dayang, laksanakanlah tugas barumu dari-Ku,” imbuh titah Paduka.
“Baik, Paduka. Saya akan mengorbankan jiwaku demi Engkau, Sang Maha Perkasa. Ke manakah gerangan hamba ditugaskan?”
“Tugas barumu adalah menebar fitnah kepada keluarga salah satu ulama. Bukan ustaz receh lagi. Berikan arahan kepada mereka, agar mudah bermegah-megahan dengan harta. Jerat satu wanita di sana, agar terjerumus riba, bahkan zina kalau bisa. Akan aku sediakan hadiah berapa pun yang engkau pinta. Engkau tahu bukan, bahwa Aku Mahakaya?”
“Baik, laksanakan. Siapakah nama ulama itu, wahai Paduka?”
“Wahai, Jenderal Dasim. Berdirilah, Jenderal Drubiksa!” titahnya.
Segera aku berdiri tegap. Sembari membusungkan dada. Menikmati kemegahan pakaian ini.
“Penasihatku langsung, yang akan mengantarmu ke rumah sang ulama. Carilah celah sendiri untuk masuk ke rumahnya. Penasihatku tidak bisa masuk. Menurut telik sandi, biasanya pembantu rumah yang teledor. Ia membiarkan pintu dan jendela terbuka waktu senja.”
“Baik, Paduka. Hamba laksanakan!”
“Santailah sejenak, bersenang-senanglah dulu dengan para dayang. Aku berikan hari liburan. Hastawara, lamanya.”
Aku beringsut pergi. Tuju ke perumahan elite para Jenderal Drubiksa. Demi bertelekan di rumah baruku, indraloka yang diciptakan Sang Maha Raja Iblis. Di atas permadani dan dilayani lima dayang, yang sekamar denganku.
Aku akan gemukkan diri dulu selama hastawara. Sesuai pengalamanku di rumah kontrakan sang ustaz yang tak sudi menikah itu, aku kurus karena ia membaca basmalah setiap makan. Pasti keluarga ulama lebih ketat lagi berdoa tatkala makan. Pasti, kurus keringlah diriku bila berada di sana. Serumit apa pun situasinya nanti, akan kuarungi dengan senang hati. Demi maha rajaku, yang memberiku pangkat ini.
Mustofa lahir 20 Mei 1990 lalu, kini bekerja sebagai guru ngaji. Aktif menulis fiksi dan nonfiksi. Sehari-hari juga sebagai "Guru Kelas" di salah satu Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Bondowoso.
Catatan
Lengkara : Mustahil ada
Kelesa : Malas gerak (mager)
Hastawara : Seminggu lebih sehari (delapan hari).
Dasim : Nama salah satu jin penebar waswas, tinggal di rumah. Tertera dalam sebuah hadis shahih.
[1] Berarti wabah, istilah tha’un digunakan pertamakali dalam catatan sejarah era Khulafaurrasyidin. Ketika puluhan ribu warga muslim meninggal di Syiria (termasuk diantaranya sahabat Nabi Muhammad saw., Abu Ubaidah Ibn Jarrah), dikarenakan wabah/tha’un di era Umar Ibn Khattab.
[2] Drubiksa diambil dari bahasa Sansekerta yang diserap dalam bahasa Jawa kuna, yang berarti setan (biasanya sering dipakai dalam bahasa pewayangan).
Keren
Mind blowing banget